Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Jalan Ninja Seorang Pengarang

14 Maret 2021   22:44 Diperbarui: 14 Maret 2021   23:42 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menulis. Terus menulis (Gambar: thewritelife.com)

Tahun ketika buku pertama naik cetak, saya rampungkan tiga buku lagi. Semuanya terbit pada tahun 2007. Semuanya tentang otak. Nanti tahun 2009 barulah saya beralih ke buku sastra. Dua sahabat mengompori saya untuk kembali ke habitat. Pringadi Abdi Surya dan Bamby Cahyadi.

Tahun itu, puisi saya bertebaran di media nasional dan daerah. Panen honor. Sekalipun belum mampu membeli laptop. Tatkala menulis Rahasia Melatih Daya Ingat, penerbit menawari saya buat mencicil laptop. Saya mengangguk saking gembiranya.

Laptop itu hanya bertahan sebulan setelah angsuran setahun kelar. Laptop masuk pegadaian. Biasa. Mengandalkan upah dari menulis sungguh menggetirkan dan menggetarkan. Namun, saya pantang patah arang. Jalan terus. Saya nebeng di rentalan teman. Menjaga warnet. Bukan untuk mencari upah bulanan belaka, melainkan agar bisa menulis dengan lancar.

Dari royalti novel "Sepatu Dahlan" saya bisa membeli laptop idaman (Gambar: Dokpri)
Dari royalti novel "Sepatu Dahlan" saya bisa membeli laptop idaman (Gambar: Dokpri)

Akhirnya bisa membeli laptop keren

Ketika royalti novel Sepatu Dahlan mengisi rekening, akhirnya saya bisa membeli laptop idaman. 17 Agustus 2012. Harganya lumayan, Rp33 juta lengkap dengan segala pernak-perniknya. Itulah laptop saya yang paling canggih sekaligus paling mahal yang pernah saya miliki.

Laptop itu bertahan selama dua tahun. Pada tahun 2014, laptop itu terpaksa saya jual. Banting harga. Kala itu, saya butuh uang untuk membiayai peluncuran buku antologi puisi saya. Pohon Duka Tumbuh di Matamu. Judulnya pohon duka, hasilnya laptop kesayangan melayang.

Seusai menangguk banyak uang, kemarau kembali datang. Hanya sesekali hujan lebat. Itu pun tak cukup untuk menutup utang yang mesti dibayar per enam bulan. Royalti memang tidak bisa ditebak. Kadang banyak, kadang seadanya.

Memasuki November 2019, sebuah novel kembali kelar. Lakuna. Itu judulnya. Ruang kosong di dada, begitu arti sederhana dari kata lakuna. Saya menjuduli novel itu lakuna, sebab setelahnya harus mengikhlaskan laptop masuk pesantren pegadaian lagi.

Harapan saya, dua-tiga bulan bisalah ditebus. Cukup dengan mengumpulkan honor mengedit atau mengisi pelatihan. Ndilalah, korona datang. Seorang teman dari Makassar beriba hati. Beliau membantu saya menebus laptop. Sebulan kemudian masuk sekolah lagi demi mempertahankan kepul asap di dapur.

Nasib baik kembali menghampiri. Kali ini datang dari seorang sahabat yang lama hidup di Arab Saudi. Beliau hibahkan laptop miliknya. Beliau kasihan karena tahu saya mengetik dari gawai. Laptop itulah yang membuat saya mampu merampungkan buku ke-39.

Terima kasih kepada dua sahabat yang telah menyelamatkan nasib kepengarangan saya. Jasa kalian tidak akan pernah saya lupakan. Kurru sumangak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun