Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Jalan Ninja Seorang Pengarang

14 Maret 2021   22:44 Diperbarui: 14 Maret 2021   23:42 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menulis. Terus menulis (Gambar: thewritelife.com)

Ketika usia saya beranjak remaja, ketika jakun mulai tumbuh, ketika suara mulai berubah, saya yakin manakala dewasa akan menjadi seorang pengarang. Keyakinan itu kian membuncah saat memasuki sekolah menengah atas. Menjadi pengarang, itu cita-cita saya.

Namun, perjalanan menuju dunia kepengarangan tidaklah mudah. Panjang dan berliku. Antologi puisi sudah siaga semenjak kelas tiga SMA, tahun 1993, tetapi tidak satu pun penerbit bersedia mencetaknya. Sabar. Itulah kata yang kujadikan bunga pemanis harapan.

Guru Bahasa Indonesia saya, Asia Ramli Prapanca, menjadi pembaca pertama antologi puisi itu. Beliau dengan tegas berkata, "Kirim ke penerbit, Nak." Saya mengangguk. Saya menahan diri agar tidak keceplosan mengatakan "sudah ditolak berkali-kali".

Memasuki pertengahan tahun 1997, saya menyeberang ke Pulau Jawa. Saya tinggalkan Makassar. Tempat pertama yang saya datangi adalah Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya mengincar beberapa orang. Sebut saja Rendra, Seno, Sutardji, dan Remy Silado. Saya ingin bertemu mereka.

Sebulan menggelandang di TIM akibat dompet dilumat maling di kapal laut saat menuju Jakarta, saya bertemu empat pendekar sastra itu. Saya bertahan hidup di Jakarta dengan menjadi kenek metromini. Jika menarik sewa, saya membaca puisi. Indah sekali.

Ketika uang terkumpul, saya mulai mendatangi beberapa penerbit di Jakarta. Dari yang besar, sedang, hingga kecil. Semuanya saya jabani. Delapan penerbit. Semuanya menolak. Sebagian tanpa alasan, sebagian atas dalih "belum punya nama".

Patah arang. Jakarta memang tidak mudah ditaklukkan. Bang Remy mengarahkan saya untuk menemui seorang temannya di Bandung. Hernowo. Saya belajar banyak dari beliau. Saya mulai menapaki jalan kepengarangan dengan menjadi pemeriksa aksara (proof reader).

Kumpulan cerpen kedua, Gadis Pakarena, diketik dari novel cicilan (Gambar: Dokpri)
Kumpulan cerpen kedua, Gadis Pakarena, diketik dari novel cicilan (Gambar: Dokpri)

Mengetik naskah buku di rental komputer

Sekalipun sempat berpaling dari puisi, saya tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Bagi saya, puisi sudah mengakar di hati. Hanya saja, saya harus realistis. Jika ingin menjadi penulis atau pengarang, saya mesti berpaling sejenak dari puisi.

Tahun 2007, buku pertama saya terbit. 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang. Seorang penulis tenar, Bambang Trim, bersedia menerbitkan buku anggitan saya. Buku tentang neurologi. Buku tentang mengembangkan kapasitas kemampuan otak.

Buku pertama itu, buku penanda jejak itu, buku pembuka gerbang kepenulisan itu rampung juga. Setiap hari saya naik angkot dari Parung ke Bogor untuk menyewa komputer. Rata-rata 10 jam per hari. Begitu setiap hari. Begitu selama sepekan.

Tahun ketika buku pertama naik cetak, saya rampungkan tiga buku lagi. Semuanya terbit pada tahun 2007. Semuanya tentang otak. Nanti tahun 2009 barulah saya beralih ke buku sastra. Dua sahabat mengompori saya untuk kembali ke habitat. Pringadi Abdi Surya dan Bamby Cahyadi.

Tahun itu, puisi saya bertebaran di media nasional dan daerah. Panen honor. Sekalipun belum mampu membeli laptop. Tatkala menulis Rahasia Melatih Daya Ingat, penerbit menawari saya buat mencicil laptop. Saya mengangguk saking gembiranya.

Laptop itu hanya bertahan sebulan setelah angsuran setahun kelar. Laptop masuk pegadaian. Biasa. Mengandalkan upah dari menulis sungguh menggetirkan dan menggetarkan. Namun, saya pantang patah arang. Jalan terus. Saya nebeng di rentalan teman. Menjaga warnet. Bukan untuk mencari upah bulanan belaka, melainkan agar bisa menulis dengan lancar.

Dari royalti novel "Sepatu Dahlan" saya bisa membeli laptop idaman (Gambar: Dokpri)
Dari royalti novel "Sepatu Dahlan" saya bisa membeli laptop idaman (Gambar: Dokpri)

Akhirnya bisa membeli laptop keren

Ketika royalti novel Sepatu Dahlan mengisi rekening, akhirnya saya bisa membeli laptop idaman. 17 Agustus 2012. Harganya lumayan, Rp33 juta lengkap dengan segala pernak-perniknya. Itulah laptop saya yang paling canggih sekaligus paling mahal yang pernah saya miliki.

Laptop itu bertahan selama dua tahun. Pada tahun 2014, laptop itu terpaksa saya jual. Banting harga. Kala itu, saya butuh uang untuk membiayai peluncuran buku antologi puisi saya. Pohon Duka Tumbuh di Matamu. Judulnya pohon duka, hasilnya laptop kesayangan melayang.

Seusai menangguk banyak uang, kemarau kembali datang. Hanya sesekali hujan lebat. Itu pun tak cukup untuk menutup utang yang mesti dibayar per enam bulan. Royalti memang tidak bisa ditebak. Kadang banyak, kadang seadanya.

Memasuki November 2019, sebuah novel kembali kelar. Lakuna. Itu judulnya. Ruang kosong di dada, begitu arti sederhana dari kata lakuna. Saya menjuduli novel itu lakuna, sebab setelahnya harus mengikhlaskan laptop masuk pesantren pegadaian lagi.

Harapan saya, dua-tiga bulan bisalah ditebus. Cukup dengan mengumpulkan honor mengedit atau mengisi pelatihan. Ndilalah, korona datang. Seorang teman dari Makassar beriba hati. Beliau membantu saya menebus laptop. Sebulan kemudian masuk sekolah lagi demi mempertahankan kepul asap di dapur.

Nasib baik kembali menghampiri. Kali ini datang dari seorang sahabat yang lama hidup di Arab Saudi. Beliau hibahkan laptop miliknya. Beliau kasihan karena tahu saya mengetik dari gawai. Laptop itulah yang membuat saya mampu merampungkan buku ke-39.

Terima kasih kepada dua sahabat yang telah menyelamatkan nasib kepengarangan saya. Jasa kalian tidak akan pernah saya lupakan. Kurru sumangak.

Novel "Lakuna" dari laptop yang dihibahkan teman (Gambar: Dokpri)
Novel "Lakuna" dari laptop yang dihibahkan teman (Gambar: Dokpri)

Semua akan indah pada waktunya

Tidak mengeluh, Diari. Itulah jimat yang saya pegang. Saya percaya, Tuhan tidak pernah tidur. Ada saja jalan sehingga saya bisa tetap menulis. Hari ini buku saya yang ke-40 telah selesai cetak. Novel Lakuna siap dilempar ke pangkuan khalayak pembaca.

Seorang sahabat semasa remaja mengirim pesan. Kawan, kasihlah satu bukumu. 

Saya jawab, "Saya ingin sekali menghadiahkan satu untukmu, tetapi buat membeli beras pun takada." Ya, itu nasib pengarang. Setengah mampus merampungkan novel, begitu terbit selalu ada yang minta buku gratisan. Gretong. Gretong. Gretong!

Anehnya, Diari, seberat apa pun jalan yang saya tempuh tiada pernah hati terberati. Selalu bersetia, selalu bersemangat. Menulis, itulah jalan ninja saya. Namun, ada yang lebih aneh. Perempuan yang mencintai saya. Sudah tahu saya miskin, masih pula ia setia. Perempuan bodoh.

Ah, Diari, untung dia bodoh. Kalau dia pintar, dia pasti sudah lama meninggalkan saya! [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun