Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Kilah Keluh Tulang yang Paling Sering Kita Lupakan

7 Juli 2020   19:47 Diperbarui: 7 Juli 2020   19:57 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alissa Eckert, Dan Higgins/Kompas.com

(Ketika puisi mulai menari di kepalaku, kita sedang diterungku kecemasan. Virus korona gara-garanya. Aku terpaksa berpaling dari kamus yang makin gemuk, kamu terpaksa berpisah dengan riuh rendah urusan kantor. Di kepalaku, Puisi meneriakkan satu kata: Tulang.)

Kota kita menunggu mati muda. Orang-orang kehilangan keriangan. Berpasang-pasang mata seakan-akan kehabisan semangat hidup. Sekolah-sekolah tutup. Kafe-kafe mati kutu. Kantor-kantor kehilangan tamu. Mal-mal kekurangan pelanggan. Rumah-rumah ibadah senyap. Hanya Puisi di kepalaku yang dengan tenang merapal satu kata: Air.

Semalam, menjelang pukul sepuluh, kita tidak lagi berbagi kabar tentang apa yang kamu lemburkan di kantormu atau lema baru apa yang hari ini kusemat ke dalam kamus rinduku. Semalam kita berbagi ngeri. Istri Perdana Menteri Kanada dikarantina. Lima penggawa Juventus diisolasi. Wakil Walikota Bandung memeluk lara. Di depan kita, Puisi  membisikkan kata ketiga: Mata.

Kemarilah, Cahaya Mataku. Puisi memberiku tiga kata benda. Tulang, air, dan mata. Lihatlah. Aku biarkan Puisi menggerutu, sebab kepalaku sedang berat membagi tempat bagi rima atau metafora. 

Kamu tahu, kepalaku dipenuhi tanda tanya. Betapa tidak. Para pengidap korona dan orang dalam pengawasan dirahasiakan identitasnya. Kita bertanya-tanya. Hati kita kebat-kebit. Boleh jadi kita pernah menjalin kontak dengan mereka. Tetapi Puisi tidak mau tahu apa isi kepalaku. "Tulang air mata," kata Puisi.

Kamu membagi pelukan seolah-olah tahu aku sedang butuh pelukanmu. Aku terkesiap. Matamu kubang cemas, kubang air mata. Puisi terkekeh menatap kita. Ia berkata, "Ada satu tulang pada tubuh yang kerap diabaikan oleh manusia. Termasuk kalian. Namanya tulang air mata." 

Puisi kadang-kadang menyebalkan. Ia tidak tahu kita sedang linglung mencari masker dan pembersih tangan. Ia tidak mau tahu kita tengah limbung menatap angka-angka penderita korona yang terus bertambah.

Aku ingin menampar Puisi. Aku kesal sekali. Puisi mestinya peka pada luka. Tetapi, Puisi sudah membisu. Hanya gema tawanya yang merambat ke gendang telinga. Kamu mengusap wajahku, "Lupakan puisi!" 

Aku mendesah. Kepalaku telanjur diganyang tiga kata. Aku tahu apa itu tulang air mata. Tulang rapuh tempat bersandar bagi kelenjar air mata. Tulang rawan yang menyangga saluran air mata. Aku meradang, "Tanpa tulang air mata, kornea seperti kebun dirisak kemarau!"

"Puisi sudah pergi," katamu. Aku menggeleng. Aku tahu. Puisi tidak pernah benar-benar pergi, seperti ngeri yang kini memenuhi sepertiga ruang di hatiku. Puisi punya seribu cara untuk menemukan tempat bersembunyi dalam empat rongga di tengkorak otakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun