Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Ketidakadilan Gender dalam KBBI

6 Juli 2020   18:55 Diperbarui: 4 Juni 2021   17:15 6917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V (Foto: badanbahasa.kemendikbud.go.id)

(2)

Banyak lema dalam KBBI V yang berpasangan secara gender. Laki-laki dan perempuan atau gadis dan jejaka, misalnya. Bolehlah kita sebut sebagai oposisi gender. Oke? Sip, kita lanjut. Ada kata yang hanya memiliki satu bentuk makna (netral), ada yang dua bentuk (maskulin dan feminin), ada juga yang tiga bentuk (netral, maskulin, dan feminin).

Pada sisi lain, patut kita camkan bahwa kamus umum merupakan rumah besar tempat penampungan kosakata yang beredar di kalangan penutur. Jadi, KBBI adalah rumah bagi kosakata dalam bahasa Indonesia yang menampung konsep budaya penuturnya.

Berpijak pada pemahaman tersebut, tidaklah wajar apabila KBBI menyejajarkan definisi gender dengan jenis kelamin. Kenapa? Karena sengaja atau tidak sengaja dapat memicu bias gender. Dampak yang paling krusial adalah ketimpangan atau ketidakadilan pada salah satu pihak. Entah bagi laki-laki, entah bagi perempuan.

Tidak percaya? Mari kita sisir beberapa contoh saja. Dalam KBBI, terjadi ketimpangan pada pemaknaan beberapamedan makna. Definisi untuk kosakata feminin rata-rata terang dan tegas, sementara untuk lema maskulin kebanyakan kurang terang dan kurang tegas.

Baca juga : Pengaruh Stereotipe Gender pada Ruang Kebebasan Perempuan

Rata-rata definisi kelas feminin dimulai dengan 'orang perempuan yang...' atau 'orang perempuan (ibu) yang...' atau 'wanita yang ...'. Sementara itu, markah makna kata yang berkelas maskulin lebih banyak ditaruh di belakang seperti '..., (biasanya laki-laki)'. Sudah di belakang, disimpan di dalam kurung pula.

Pada lema babu tertera makna 'perempuan yang bekerja sebagai pembantu', sedangkan pada kata kacung tercantum makna 'pesuruh, pelayan, jongos (biasanya laki-laki)'. Jelas sekali adanya ketidakadilan gender. Kata babu dibuka maknanya dengan kata perempuan dan ditaruh di awal makna, sedangkan lema kacung diperikan makna dengan posisi laki-laki di bagian akhir markah makna.

Silakan tilik definisi laki-laki dalam KBBI. Anda akan menemukan makna 'orang yang mempunyai keberanian atau pemberani'. Lagi-lagi tidak adil. Apakah keberanian mutlak milik laki-laki? Bagaimana nasib Tjuk Nyak Dien dan pahlawan lain yang berani mati berjuang demi kemerdekaan dan pemerdekaan bangsa Indonesia? Timpang, Bray!

Simak pula makna kata pelacur, yakni 'perempuan yang melacur; wanita tunasusila; sundal'. Apakah hanya perempuan yang melacurkan diri? Laki-laki juga ada yang "jual diri", baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sudah setarakah? Belum!

Kembali tercium aroma ketidakadilan gender. Markah makna seperti itu, langsung atau tidak langsung, berpotensi mengidentikkan pelacur dan perempuan. Artinya, tiap-tiap pelacur pasti perempuan. Padahal, tidak demikian adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun