Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gagal Paham Razia Buku

10 Januari 2019   14:27 Diperbarui: 10 Januari 2019   15:49 1511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Sebagai penulis yang awam hukum, kendatipun tidak buta hukum banget, saya mendadak diserang virus gagal paham. Serangannya sangat akut hingga mencapai level kritis. Razia buku gara-garanya.

Razia itu punya banyak cela dan celah. Itulah yang membuat saya gagal paham. Cela dan celah itu amat rentan bagi imunitas demokrasi kita. Tidak percaya? Silakan simak butir-butir kegagalpahaman saya.

1. Pertanyaan pertama yang bikin gerah. Apakah sekarang TNI AD mengemban fungsi baru untuk merazia buku? Jika benar demikian, demokrasi kita berjalan mundur.

2. Pertanyaan kedua juga bikin gerah. Apakah buku yang dirazia itu sudah "dilahap" isinya? Jika belum, nahas sekali nasib buku. Cuma gara-gara judul dan sinopsis di sampul bisa langsung dicap buku kiri. Ada cacat nalar di sini.

3. Pertanyaan ketiga tambah bikin gerah. Apakah buku yang dirazia sudah melewati proses peradilan? Jika belum, razia sedemikian dapat disebut ilegal, cacat hukum, atau tidak sah.

4. Pertanyaan keempat sudah membingungkan dan menyedihkan. Apakah alat negara, dalam hal ini TNI AD, sudah mendalami hukum yang mengatur tentang penarikan buku? Jika belum, sungguh sangat disayangkan. Melakukan sesuatu tanpa mendalami aturan main bakal menyesatkan.

Mungkin kalian bertanya-tanya mengapa saya memilih kata membingungkan dan menyedihkan. Alasannya sederhana. Razia buku di Jatim dan Sumbar melibatkan aparat negara. 

Supaya lebih terang benderang, mari kita teruskan. 

5. Kebingungan pertama. Pada 2010, melalui Putusan No. 20/PUU-VIII/2010, MK sudah membatalkan UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-barang Cetak yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Mengapa TNI AD masih merazia buku di Jatim dan Sumbar?

Landasan hukumnya sudah dicabut. Artinya, tidak boleh main sita buku apa pun kalau tidak sesuai dengan aturan hukum. Bila tetap dilakukan berarti main hakim sendiri. Lantas apa gunanya kita punya hukum jika aparat negara saja main hakim sendiri? Apa jadinya apabila rakyat ikut-ikutan merazia buku akibat terkompori aksi konyol aparat negara? 

Oke, kita simpan dulu kegelisahan itu. Mari kita lanjutan ke butir berikutnya.

6. Kebingungan kedua. MK memutuskan bahwa penyidikan, penggeledahan, atau penyitaan buku harus dilakukan sesuai ketentuan hukum, yakni melalui perintah pengadilan dan tidak dilakukan dengan sewenang-wenang. 

Semoga butir keenam di atas cukup jelas dan tercerap maknanya. Pertanyaan baru sontak menyembul di benak saya: Apakah petugas TNI AD yang merazia buku membawa surat perintah, sebut saja Surat Perintah Penyitaan, dari lembaga peradilan?

Tentu bukan kita yang bisa menjawabnya. 

7. Kebingungan ketiga. Andaipun razia buku dan penyitaan itu dilakukan atas perintah dari Ketua Pengadilan setempat, apakah Surat Perintah Penyitaan sudah melalui proses pengadilan? Kalau belum, penyitaan itu tindakan konyol. Mengapa konyol? Karena tindakan sedemikian tidak menghargai negara kita sebaga negara hukum.

8. Kebingungan keempat. Bahkan andaikan TNI AD membawa Surat Perintah Penyitaan, tindakan merazia buku tersebut tetap merupakan penyitaan yang tidak sah. Mengapa? Karena TNI AD, juga TNI AU dan TNI AL, tidak memiliki kewenangan untuk menggeledah, menyidik, atau menyita buku.

Kecuali petugas Pengadilan meminta bantuan tentara dan polisi, barulah tentara atau polisi boleh turun tangan. Namun, rasanya agak berlebihan jikalau tentara harus turut campur. Kendatipun buku di sita, karyawan atau pemilik toko buku tidak akan melakukan aksi perlawanan yang brutal. 

Tidak heran bila saya bersedih.

9. Kesedihan pertama. Alasan penyitaan karena "dugaan pelanggaran" terhadap TAP MPR No. XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI. Ini alasan yang bias. Sangat sumir. Kalau begini caranya, tentara dan polisi bisa seenak udel menyita buku. Cukup dengan praduga mengancam ketertiban umum, sebuah buku sudah bisa disita. Kesannya jadi norak dan cemen.

Bawa buku yang diduga "dapat mengancam ketertiban" itu ke pengadilan. Singkap segalanya di situ. Biarkan penulisnya membela diri dan gagasannya. Pendek kata, uji dugaan itu. Kalau memang terbukti melanggar barulah disita. 

Ini langsung main sita. Alat negara kok melawan hukum. Ajaib!

10. Kesedihan kedua. Sungguhpun satu buku terbukti melanggar dan mesti disita, eksekusi penyitaan tetap wewenang petugas pengadilan. Bukan kerjaan tentara. Mestinya TNI AD bersikap hati-hati dan tidak gegabah, apalagi sampai main razia buku secara sembrono atau tidak sah.

11. Kesedihan ketiga. Kita hidup di orde reformasi, tetapi alat negara mengancam kebebasan berdemokrasi. Ini bukan soal buku kiri atau kanan, melainkan cara kita memperlakukan hasil kerja intelektual. Sedihnya, razia buku yang dilakukan oleh TNI AD tiada berbeda dengan "perampokan kebebasan berpendapat".

12. Kesedihan keempat. Apa pun isi bukunya, entah kiri entah kanan, tidak bisa disita karena asal duga. Buktikan pelanggarannya di pengadilan. Pihak yang rugi bukan cuma penulis, penerbit, dan toko buku, melainkan bangsa kita. Bagaimana kita akan mencerdaskan bangsa kalau tradisi merazia buku kita kembang suburkan?

Sebagai penulis, saya sedih melihat kebiasaan merazia buku yang dilakukan begitu saja tanpa melalui proses pengadilan. Apalagi bila dilakukan oleh alat negara. Sudah pajak buku besar, pajak kertas tinggi, buku perasan pikiran disita pula. Bingung dan sedih. Membingungkan sekaligus menyedihkan.

Akan tetapi, biarlah saya saja yang bingung dan sedih. Sudahlah, sungguhpun sempat terbetik di benak saya untuk menyerukan "Bersatulah Penulis dan Pegiat Perbukuan di Indonesia", sia-sia saja selama tabiat preman melekat di aparat negara. 

Doakan saja supaya razia buku yang tidak sah tidak terjadi lagi. Doakan pula supaya pihak TNI AD berkenan mengklarifikasi aksi razia buku tersebut.

Tabik. Dari warga negara yang sedang bingung dan sedih. Khrisna Pabichara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun