Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Bahasa Indonesia dan Kompasianival 2018

10 Desember 2018   12:06 Diperbarui: 10 Desember 2018   17:19 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Menaker, M. Hanif Dhakiri, di Zona Kompasiana | Foto: Arif Rahman

Mengapa tulisanmu dipajang di Kompasiana? Bukankah bisa dikirim ke koran atau majalah atau medar (media daring) yang menyediakan honor? Buat apa menulis kalau tidak dibayar?

Sebelum bercerita tentang keseruan Kompasianival 2018, saya ingin curhat sejenak. Anggap saja pelepasan unek-unek supaya dada berasa lega. 

Tiga pertanyaan, pada mukadimah tulisan ini, kerap dijejalkan ke telinga saya oleh rekan penulis. Bahkan, gencar sekali saya dengar pada bulan-bulan awal saya rutin menulis di Kompasiana. 

Saya punya banyak jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut, tetapi biasanya saya memilih diam dan tersenyum ketika ditanya. Saya tahu bahwa diam adalah emas walau diam bukan jenis emas yang bisa dibawa ke pegadaian. Saya tahu bahwa tersenyum itu ibadah meski senyum saya lebih cocok disebut cengengesan.

Hitung-hitung menetralisasi semburan tanya, berikut saya suguhkan tiga jawaban.

Pertama, menyasar lebih banyak pembaca. Kompasiana adalah blog platform dengan ratusan ribu anggota. Itu alasan mengapa saya memilih Kompasiana. Pembaca di Kompasiana sudah jelas dan banyak. 

Salah satu tujuan saya menulis adalah mengampanyekan bahasa Indonesia. Makin terbaca makin bagus. Lagi pula, kita tidak bisa memungkiri bahwa generasi zaman kiwari lebih senang memelototi gawai daripada membelalaki koran.

Kedua, bayaran tidak mesti berbentuk uang. Tulisan yang dibayar dalam uang tentu menyenangkan, tetapi itu bukan segala-galanya. Ketika tulisan kita dibaca dan berguna bagi orang lain, itu bayaran yang luar biasa. Manakala tulisan saya menggugah dan mengubah kebiasaan keliru berbahasa Indonesia, itu bayaran yang tidak tepermanai.

Ketiga, biar tulisan lebih awet. Karena bersifat daring, artikel bahasa Indonesia yang saya pajang di Kompasiana setiap waktu dapat dilongok dan dibaca, beda nasib jikalau tulisan itu dimuat di koran. Bagaimanapun, seawet-awetnya seseorang menyimpan koran ada masanya berpindah ke tangan tukang loak.

Itulah tiga alasan mengapa saya memilih Kompasiana. Sederhana, kan?

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, membuka hajat akbar Kompasianival 2018 | Dokpri
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, membuka hajat akbar Kompasianival 2018 | Dokpri

Apakah hasrat saya terpenuhi selama menulis di Kompasiana?

Ya. Rata-rata tulisan saya tentang bahasa Indonesia dikunyah oleh 1500-2000 pembaca. Gila, kan? Ingat, bahasa Indonesia tidak sememikat bahasa asing. Kalau tidak percaya, silakan cari tempat kursus bahasa Indonesia. Lebih bahagia lagi, tulisan yang tayang pada kisaran Oktober 2016 pun masih sesekali ditengok pembaca.

Soal bayaran, ini juga menyenangkan. Tulisan-tulisan saya sudah mampu membiayai dirinya sendiri yang, dalam hal ini, membutuhkan kuota agar bisa "naik tayang". 

Maka, hadirlah saya di tengah keriuhan Kompasianival 2018. Hajat blog keroyokan itu digelar di Mal Lippo Kemang, Jakarta, pada Sabtu (08/18/2018). 

Saya tiba di lokasi acara kira-kira pukul dua siang dan langsung menempati meja kosong di pojok kiri belakang. Pantat belum rapat di kursi sudah ditawari kopi oleh pramusaji. Jadilah es kopi americano tanpa gula sebagai teman nongkrong.

Gelar wicara tentang merancang perjalanan haji sedang berlangsung di panggung. Saya menyimak takzim sembari menghubungi Si Cinta, Amel Widya, yang tidak bisa hadir karena harus mengikuti kegiatan di kantornya. Sekadar informasi saja, kami--saya dan Amel Widya--sama-sama Kompasianer.

Ketiga es kopi americano mulai susut hingga separuh, ketika kulacino (air di permukaan meja yang terbentuk dari gelas atau wadah air yang dingin atau terisi sesuatu yang dingin) berkali-kali saya seka, Kompasianival 2018 segera dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Pidato beliau cukup ringkas dan amat bernas. Saya suka isi pidato mantan Mendikbud tersebut, terutama pada bagian "Kompasiana merupakan wadah curah gagasan yang dapat digunakan sebagai landasan aksi".

Bagi saya, itu wujud menerima Kompasiana yang kadang-kadang dilepeh atau dicibir oleh segelintir orang--karena tulisan di Kompasiana dituding tidak memenuhi kaidah jurnalistik. 

Saya sependapat dengan Pepih Nugraha, Soekarno-nya Kompasiana, bahwa sebenarnya itu tudingan lucu, sekadar menghindari kata "keliru", sebab tidak semua umat Kompasiana itu jurnalis. Penghuni Kompasiana kebanyakan netizen atau narablog.

Setelah Pak Anies, giliran Menteri Ketenagakerjaan yang naik ke panggung--bukan "naik ke atas panggung" seperti celoteh pewara karena "naik pasti ke atas". Menjelang akhir cuap-cuap Pak Hanif Dhakiri yang menarik dan menggugah, saya menyingkir ke Zona Kompasiana.

Di situlah saya bertemu dengan Bugi Sumirat dan Arif Rahman (Kompasianer dari Makassar), Babeh Helmi (Bekasi), Pringadi Abdi (Depok). Ada pula Nursini Rais (Jambi), serta Yon Bayu dan Yayat. Kemudian, muncul Nurullah (COO Kompasiana) yang sempat berbisik supaya saya tetap di lokasi hingga malam. Bisikan yang membuat saya sedikit tercengung.

Tidak lama berselang, Pak Hanif bergabung di Zona Kompasiana. Seingat saya, putra mantan TKW yang kini menjabat Menteri Ketenagakerjaan itu memang tergolong "juru isap" (saya kurang suka istilah "ahli isap" sebab merokok bukan keahlian). 

Suasana obrolan sungguh hangat dan bersahabat. Segala rupa kami bincangkan. Dari yang bebas ditulis hingga yang "hanya untuk kita saja". Namun yang paling lekat dalam ingatan saya adalah "kolaborasi atau mati", slogan sederhana yang juga beliau ucapkan di panggung saat berceramah. O ya,  tulisan tentang beliau dan obrolan seru kami akan saya tulis terpisah.

Lalu, saya bertemu penggawa Kompasiana yang paling sering saya recoki: Harry dan Kevin. Ada seorang lagi yang kerap saya cecar pertanyaan, Christo, tetapi kami tidak sempat bertemu. Akhirnya kongkow di Zona Kompasiana bubar menjelang Magrib.

Saya dan Pringadi pindah ke depan panggung. Di sanalah saya bertemu Kompasianer yang sangat rajin mengunggah puisi, Mas Mim. Beberapa jenak kemudian, Yon Bayu bergabung dengan kami. Obrolan pun meluncur kian kemari, tak tentu arah, dan tidak jelas juntrungannya.

Kami terus mengobrol hingga tiga pewara meminta penghadir untuk merapat ke depan panggung karena peraih Anugerah Kompasiana 2018 akan segera diumumkan. 

Sebagai junior di Kompasiana yang baru bergabung tahun 2006, eh maaf, 2016, saya santai-santai saja dan tahu diri. Tulisan saja baru 193. Itu pun 43 di antaranya tentang bahasa Indonesia. Jadi, tidak ngarep banget. Akan tetapi, tidak akan menolak kalau terpilih. Malahan bersyukur.

Menerima Anugerah Kompasiana 2018 selaku Penulis Opini Terbaik | Foto: Pringadi Abdi Surya
Menerima Anugerah Kompasiana 2018 selaku Penulis Opini Terbaik | Foto: Pringadi Abdi Surya
Setelah dua tahun menulis tentang bahasa Indonesia di Kompasiana, setelah mencoba banyak gaya penulisan dan inovasi isi, setelah rajin mengabarkan via media sosial tentang tulisan itu, pada pukul delapan malam (mungkin lewat sedikit) saya diundang ke panggung untuk menerima Anugerah Kompasiana 2018 selaku Penulis Opini Terbaik.

Kusala tersebut merupakan kemenangan bahasa Indonesia. 

Mengapa demikian? Saya menerima penghargaan gara-gara artikel tentang bahasa Indonesia. Sungguhpun pengelola Kompasiana mendaulat saya selaku penulis politik bergaya satire (bukan satir, kurang 'e' berbeda makna), saya tetap pada niat semula saat masuk ke Kompasiana.

Saya meyakini bahwa Kompasianer yang memilih saya adalah mereka yang peduli dan cinta pada bahasa Indonesia. Biar bagaimanapun, harus ada yang meneruskan upaya Purwadarminta, Badudu, Keraf, Moeliono, dan munsyi lainnya dalam merawat bahasa Indonesia.

Maka, saya berterima kasih kepada seluruh Kompasianer yang rajin membaca tulisan saya, yang suka melongok meski belum membaca, yang sudah membaca walau belum menerapkan kaidah menulis yang tepat, serta yang membaca dan memanfaatkan isi artikel saya.

Terima kasih juga kepada Kompasiana yang telah memberikan ruang berbagi kepada saya. Semenjak nimbrung di Kompasiana, saya tinggal unggah tulisan. Pendek kata, tidak repot. Kalaupun repot, paling banter saat log masuk akun Kompasiana. Ai, sering benar saya mendongkol gara-gara susah log masuk. Untung sekarang sudah moncer lagi.

Pada akhirnya, saya berharap moga-moga pengelola Kompasiana, tahun depan, lebih peduli pada bahasa Indonesia.

Setidaknya menggunakan istilah Indonesia pada kusala yang diberikan. Misalnya, Penulis Opini Terbaik diikuti tulisan berapit tanda kurung: (Best in Opinion). Atau, Anugerah Kompasiana 2019 yang disusul dengan Kompasiana Award 2019. Jadi, bahasa Indonesia tidak disingkirkan oleh bahasa Inggris.

Siapa lagi yang akan peduli pada bahasa pemersatu bangsa kalau bukan kita?

Puncaknya, terima kasih paling spesial saya persembahkan kepada Amel Widya, penjaga semangat dan pendorong imajinasi saya, yang tiada henti mendukung saya. Terima kasih, Cinta. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun