Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menanyakan dan Mempertanyakan Nasib Bahasa Daerah

11 November 2018   22:24 Diperbarui: 12 November 2018   08:10 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monolog berbahasa Batak disajikan dengan penuh pikat oleh Nancy Simanungkalit. [Sumber Foto: Saut Poltak Tambunan]

Dulu, anak-anak seusia saya di masa kecil sangat susah diajak pulang ke rumah. Ada saja alasan supaya tetap berada di jalanan atau lapangan. Ada saja ulah agar tetap sibuk bermain dengan teman-teman. Waktu makan pun mesti diteriaki baru mau pulang ke rumah. Waktu magrib pun mesti ditakut-takuti soaal hantu baru ingat pulang.

Kini terbalik. Mengajak anak keluar rumah sungguh perkara pelik. Ada saja alasan untuk menampik atau mengelak. Kalaupun akhirnya menurut diajak keluar rumah, pasti akan terdengar desah keluh sepanjang jalan.

Di sekolah, guru-guru makin asing dengan isi benak murid-muridnya. Anak-anak menguap sepanjang waktu belajar karena mereka melihat guru-guru sebagai penghuni bumi yang terpana melihat kedatangan para alien. 

Pola ajar segelintir guru masih seperti yang mereka warisi dari guru-guru mereka, sedangkan anak-anak didik mereka sudah dicekoki biner dan algoritma.

Monolog berbahasa Batak disajikan dengan penuh pikat oleh Nancy Simanungkalit. [Sumber Foto: Saut Poltak Tambunan]
Monolog berbahasa Batak disajikan dengan penuh pikat oleh Nancy Simanungkalit. [Sumber Foto: Saut Poltak Tambunan]
Di Mana Posisi Bahasa Daerah Sekarang?

Setiba di rumah, bilamana anak-anak bosan mengulik gawai, mereka akan mencongak di depan televisi. Mereka menonton orang-orang di berita politik yang sibuk bertukar caci maki. Kalaupun mereka menggeser saluran, teve menyuguhkan sinetron penuh azab yang tidak masuk akal.

Bahasa daerah? Entah sedang berada di mana. 

Orang timur disuguhi logat atau dialek Betawi sepanjang hari sampai mereka berpikir bahwa logat atau dialek lokal mereka lekang dan pupus. Sungguhpun bukan logat Betawi, pasti logat Jawa atau Sunda. Biarpun bukan logat Jawa atau Sunda, pasti adonan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.

Sementara itu, tidak ada orang cerdas nan akrab dengan teknologi informasi dan tahu bahasa daerah yang sudi meluangkan waktu merancang permainan menarik. Padahal, permainan dengan konten positif yang disusupi kosakata bahasa daerah pasti menakjubkan. Apalagi kalau dilesapi nilai-nilai kearifan lokal.

Penghargaan kepada sastrawan yang setia berkarya dengan berbahasa daerah pun hampir senyap. Untunglah ada Yayasan Rancage. Jikalau tidak, sunyi sekali dunia sastra daerah kita. Benarlah ujaran Rahmat Taufiq Hidayat, dari Yayasan Rancage, tentang kurangnya perhatian kita dan negara pada sastra daerah. 

Beruntunglah karena kita punya tokoh sekelas Ajip Rosjidi, dan koleganya di Rancage, yang bernyali gila-gilaan membela, mendokumentasikan, dan merawat karya sastra daerah. Bahkan, menyiapkan anugerah bagi pelaku sastra daerah selama puluhan tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun