Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menanyakan dan Mempertanyakan Nasib Bahasa Daerah

11 November 2018   22:24 Diperbarui: 12 November 2018   08:10 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monolog berbahasa Batak disajikan dengan penuh pikat oleh Nancy Simanungkalit. [Sumber Foto: Saut Poltak Tambunan]

Setiap zaman melahirkan generasinya sendiri dan setiap generasi memiliki zamannya sendiri.

Rumah sebagai sekolah awal bagi anak-anak mulai jarang menggemakan bahasa daerah, kecuali di kampung-kampung atau di pelosok-pelosok. Di kota kabupaten, bahkan kecamatan, makin banyak yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. 

Sekolah dasar dan menengah bahkan sudah enggan memakai bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Malah ada sekolah yang melarang pemakaian bahasa daerah di kawasannya. Jangankan bahasa daerah, bahasa Indonesia saja mulai tersingkir di beberapa sekolah di kota besar. 

Lingkungan sebagai sekolah nonformal juga makin bergeser jauh memunggungi bahasa daerah. Kala memasuki dunia pekerjaan, misalnya, bahasa daerah makin dilepehkan. Jangankan bahasa daerah, bahasa Indonesia saja direcehkan.

Paparan Dr. Free Harty itu membuat saya terjelengar. Ingatan saya sontak mengelana ke masa kanak. 

Dulu, saya dididik dalam suasana yang menyenangkan. Risakan atau pukulan guru justru menguatkan alih-alih melemahkan. Murid yang dihukum pukulan atau cubitan tidak pernah melapor kepada orangtuanya, sebab titah guru adalah petuah yang sakral dan ditakzimi.

Sekarang beda. Anak-anak "dididik" oleh permainan digital. Begitu pendapat Kepala Perpusnas RI.  Mereka belum masuk sekolah dasar, tetapi sudah mahir memaki atau menghujat. Kata-kata seperti tendang, pukul, atau serang lumrah terdengar saat mereka larut dalam permainan daring. Jika level permainan mereka meningkat, mereka akan mengakrabi seruan "bunuh atau habisi". 

Tidak heran bila permainan digital menumbuhkan keakraban pada teknologi, tetapi membunuh rasa empati. Tak ayal, anak SD sudah ada yang berani merisak, menyakiti, malah memukul teman sekolahnya.

Pergeseran cara mendidik mengawali pergeseran cara berpikir. Tiada lagi ibu yang menyanyikan lagu ninabobo hingga anaknya tertidur. Tiada lagi ayah yang menceritakan dongeng inspiratif hingga anaknya dibuai mimpi. Tiada lagi kakek-nenek yang mengusap kepala cucunya hingga tertidur seraya menembangkan syair-syair petuah. 

Kalaupun ada, jumlahnya tidak seberapa.

Anak-anak dimanjakan dengan gawai termutakhir, disuplai pulsa dan kuota berlimpah, diberi waktu seluang-luangnya dan selonggar-longgarnya untuk berselancar di ponsel, sementara orangtua sibuk dengan dunianya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun