Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Kata Sambung yang Tertukar

30 Oktober 2018   12:44 Diperbarui: 30 Oktober 2018   23:11 1663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay)

Jika semua permintaan kita dipenuhi oleh Tuhan, kita tidak akan paham hakikat bersabar. Jika semua harapan kita menjadi kenyataan, kita tidak akan tahu esensi tabah.

Sabda menemukan potongan kalimat itu ketika duduk di beranda, setelah meninggalkan sunyi di kamar tidurnya yang tanpa televisi, dan membuka halaman-halaman novel yang, semula, hendak ia baca sebelum tidur. 

Ia sadar bahwa kekuatan cintalah yang membujuk Kana untuk menyelipkan kertas berisi potongan sajak di sela halaman Mantra Pejinak Ular. Namun, bagi Sabda, cinta bukan perasaan yang mudah diungkapkan atau dinyatakan.

Tidak, oh, tidak. Teriaknya di dalam hati.

Aku tidak mau gegabah. Apalagi asal bicara. Bisa saja kukatakan kepada Kana bahwa aku juga mencintainya. Aku juga pasti sanggup mengucapkan "aku sayang kepadamu". Namun, aku tidak ingin memberikan harapan semu kepadanya. 

Bisa juga kunyatakan kepadanya bahwa aku tidak mencintainya dan aku yakin mampu berkata seperti itu, tetapi aku tidak akan mengatakan hal seperti itu karena, sebenarnya, aku memang tidak ingin mengatakan "aku tidak mencintaimu".

Cinta memang bagai kopi: sepahit apa pun selalu disukai, bahkan hingga teguk terakhir.

Ia mengusap wajah dan mendesah.

Ia masih termangu dengan novel di pangkuan ketika Sam dan Willy muncul di beranda dan tersenyum-senyum. Keduanya duduk tepat di hadapan Sabda. 

Sabda jengkel. Ia merasa seperti tontonan, tetapi ia acuh tak acuh, tidak peduli pada ledekan lewat tatapan mereka, masuk ke rumah dan melemparkan novel ke atas kasur, lalu mengambil novel itu lagi dan kembali ke beranda sambil menggenggam Mantra Pejinak Ular, duduk di depan mereka dengan bibir terkatup, dan segera melarutkan pikiran ke dalam imajinasi Kuntowijoyo.

Jangkrik di halaman mempertegas kesunyian.

Tiba-tiba Sam tersenyum lebar setelah menepuk lengan Sabda. "Ceritakan kepada kami kisah perjalananmu bersama Si Gadis Bermata Jelita!"

Dengan mata memancarkan rasa penasaran, Sam merupakan gabungan sempurna dari Pria Dewasa yang Selalu Ingin Tahu Isi Dapur Orang dengan Remaja Ingusan yang Merasa Sok Berkuasa Memerintah Orang Lain Sekehendak Hati. Menggelikan. Sekaligus, menyebalkan.

"Biasa saja," kata Sabda, "tidak ada yang layak kuceritakan kepadamu!"

"Sombong!"

Sabda tersenyum seriang penyerang yang kegirangan merayakan gol pertama ke gawang musuh bebuyutan.

"Kau belum memenuhi permintaan Sam, Sabda," tegur Willy.

Sabda menjawab sambil cengar-cengir. "Tidak semua permintaan harus dipenuhi!"

Sam mendesak. "Ini berbeda!"

"Sama saja," ujar Sabda. "Jika semua permintaan kita dipenuhi oleh Tuhan, kita tidak akan paham hakikat bersabar. Jika semua harapan kita menjadi kenyataan, kita tak akan tahu esensi tabah."

Sam mendesah pertanda menyerah. "Terserah!"

Sam dan Willy masuk ke rumah. Sabda dan sunyi bertahan di beranda.

***

Apa perbedaan antara November dan Nopember? Silakan baca di sini.

Tatkala Sabda sedang asyik membaca, Sam kembali ke beranda dan langsung duduk di kursi dan memelotot kepadanya.

Merasa aneh, Sabda bertanya. "Ada apa?"

"Apa yang terjadi antara kamu dan Kana?"

Sabda tidak paham kenapa tiba-tiba Sam menanyakan apa yang terjadi antara dirinya dan Kana dan mengapa ia begitu penasaran. Padahal, itu adalah urusannya. Bukan urusan siapa pun--termasuk Sam. Persahabatan bukan alasan baginya untuk memasuki wilayah rasa yang sangat pribadi. Tetapi, Sabda berusaha menahan diri.

"Baik-baik saja," jawab Sabda. "Kenapa?"

Sam mengedikkan bahu. "Maaf, aku sedang malas bicara denganmu!"

Lelaki bertubuh tegap dan berkulit putih susu itu meninggalkan Sabda. Ia datang mendadak dan pergi begitu saja sesuka hatinya. Sabda menggeleng-geleng. Merasa aneh karena tingkah temannya yang janggal.

Pemberitahuan sebuah pesan muncul di layar ponsel Sabda.

Barusan Kana curhat lewat WA. Katanya kamu terlalu datar, dingin, dan hambar. Katanya kamu cuma romantis di dalam kata-kata. Bagaimana pun juga, kalian sahabat terdekatku. Aku tak mau hubungan kalian retak.

Sabda menepuk jidat. Sungguh, ia sama sekali tidak menduga Kana akan menceritakan isi hati kepada Sam. Memang Sam merupakan sahabat terdekatnya, juga sahabat Kana, tetapi mestinya Kana curhat kepadanya. Bukan kepada lelaki lain, sedekat apa pun Kana dengan lelaki itu. Namun, bukan itu saja yang mengacaukan pikiran Sabda.

Aku memang datar, dingin, dan hambar sejak lahir. Kamu tahu itu. Tetapi, kamu punya tiga kesalahan yang harus kamu perbaiki. Pertama, penulisan bagaimana dan pun digabung. Tidak dipisah. Kedua, kalau sudah memakai bagaimanapun, tidak usah ditambah juga. Kata pun semakna dengan juga. Ketiga, sebaiknya hindari penggunaan kata barusan. Kata yang tepat adalah baru saja.

Tidak ada balasan dari Sam, padahal ia masih aktif di WA.

Alih-alih membahas sikapnya yang dingin, hambar, dan datar, Sabda mengulas penulisan bagaimanapun dan kesalahan menyertakan kata 'juga' setelah kata bagaimanapun, dan barusan. Ia yakin, Sam pasti menggerunyam. Lelaki dari pesisir Bunaken itu pasti dongkol membaca jawabannya. Sambil tersenyum-senyum ia masuk ke rumah dan melongok ke kamar Sam. Tetapi kamar temannya kosong. Ruang tamu juga kosong. Ternyata Sam sedang di dapur menyeduh kopi.

Begitu melihat Sabda, Sam bersungut-sungut. "Jawaban berengsek!"

"Maafkan aku, Sam," tutur Sabda dengan suara direndahkan supaya Sam tidak merasa tersinggung atau marah. "Aku tidak boleh membiarkan perkara semacam ini kembali terjadi. Di masa remaja, sewaktu masih di kampung halaman, ayahku sering mengajariku soal tata cara mengelola perselisihan batin antara dua orang yang mengaku saling cinta. Kata ayah, jangan sekali-kali bertengkar dengan orang yang kamu cintai di ruang yang dapat didengar atau dilihat oleh orang lain."

Sabda berhenti sejenak, menghela napas, dan kembali berkata, "Kana harus tahu, Sam, tidak semua rahasia hati harus diketahui lidah. Ada yang harus tetap dirahasiakan, disimpan rapat-rapat di dalam hati. Kadang-kadang kita harus bisa menelan kekecawaan, menanggung getirnya sendiri, dan mengubur gundah hati dalam-dalam. Bukan mengumbarnya. Tiap orang punya kesedihan dan kepedihan. Kamu juga punya beban batin sendiri, ketidakjelasan hubunganmu dengan Riva, jadi alangkah naif jika ditambah-tambah dengan suasana hati Kana."

"Bagaimanapun," kata Sam, "kamu dan Kana temanku."

"Dalam percakapan, alias bahasa lisan, aku sulit membedakan apakah bagaimana dan pun itu kamu gabung atau pisahkan."

"Seriuslah, Kawan."

"Aku selalu serius dalam hal bahasa Indonesia!"

"Tetapi tidak dalan perkara perasaan."

Sabda tertawa lirih. "Ini pilihan, Kawan!"

Sam mencibir sambil berlalu dengan gelas kopinya.

***

Mana yang tepat antara dimungkiri atau dipungkiri? Silakan baca di sini.

Sabda tahu bahwa saran ayahnya amat sangat benar, tetapi tidak mudah mempraktikkan nasihat itu. Ketika sebuah perkara mulai membelit perasaan, kita selalu butuh penjelasan. Jika tidak, perkara itu akan menumpuk di dada dan sewaktu-waktu bisa meledak. Masalah memang bukan sesuatu yang baik untuk disimpan. 

Apalagi dihindari. Menyimpan atau menghindari masalah justru akan membuat masalah makin menumpuk. Dan pekerjaan seperti itu laksana menumpuk daun dan kayu kering, letik api akan melalapnya dalam seketika.

Tidak perlu jauh-jauh berguru. Kata sudah menunjukkan kepada kita mengapa sesuatu butuh penjelasan dan bagaimana sesuatu harus dijelaskan. Itulah gunanya konjungsi alias kata penghubung alias kata sambung. Yang terputus, sambunglah. Yang terpisah, hubungkanlah. Sesederhana itu filosofinya.

Jika ingin menjelaskan sesuatu yang, selama ini, kita peram di sanubari, kita bisa memulainya dengan kata bahwa. Misalnya: Bahwa aku akan menyayangi dan mengasihimu sepanjang hayatku, itu niscaya. Hanya saja, sengaja atau tidak, kita sering menukar bahwa dengan kalau. Sekadar contoh: Kamu mengatakan kalau dia sudah tidak mencintaimu. Jelas-jelas kalau pada contoh itu tidak bisa menggantikan posisi bahwa. Coba bandingkan dengan kalimat ini: Kalau kamu masih marah, bagaimana mungkin kita berangkat bersama?

Tetapi, saat ini Sabda sedang ingin menghirup pahit kopi.

Jadi ia tolak hasrat buat memperkenalkan Si Bahwa dan Si Kalau. Ia bosan mengurus kata sambung yang tertukar. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun