Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Acuhkan Bulan Bahasa

18 Oktober 2018   10:36 Diperbarui: 18 Oktober 2018   14:27 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiada lagi ruang kosong di dadaku. Setelah perpisahan denganmu, seluruh rongga dadaku dipenuhi ingatan tentangmu.

Matahari muncul di atas kepala Sabda dan menciptakan bayang-bayang panjang ke barat di permukaan tanah. Kini ia bersama kedua temannya, Sam dan Willy, tengah merambah hutan kopi. Pohon-pohon kopi tumbuh teratur. Di sini teduh sekali. Hawa sejuk mengalir tunak di sela-sela dedaunan. Kersik ranting-ranting yang bergesekan menciptakan simfoni. Sungguh musik alami. Mereka terus mendaki dan menyanyi.

Hutan kopi ini terletak di lereng Gunung Lompobattang, Sulawesi Selatan. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan dedaunan hijau. Hutan kopi ini digagas oleh para petani kopi. Letaknya di Desa Jenetallasa, Kec. Rumbia, Kab. Jeneponto. 

Hutan ini dirawat oleh warga desa. Butuh dua jam berkendara dari Bontosunggu, Ibu Kota Kabupaten Jeneponto, untuk tiba di Kampung Kopi. Memang jaraknya tiada seberapa, cuma 47 kilometer, tetapi jalan beraspal mulus menuju Kampung Kopi tidaklah lurus. Selain mendaki dan curam, jalanan berkelok-kelok persis ular melingkar.

Sam sesekali melirik dan mengawasi Sabda. Kupingnya tidak mendengar napas megap-megapan. Memang ada butir-butir keringat menitik di jidat Sabda, tetapi mata lelaki itu laksana elang yang tidak kenal lelah. Ia merasa iri mengawasi gerak-gerik sahabatnya itu. Setengah jam mendaki bukit tidak menguras tenaga Sabda.

"Aku iri kepadamu." Sam menggumam dengan napas ngap-ngapan. "Kamu tidak letih?"

Sabda tersenyum. "Aku menikmati perjalanan. Mata menyapa pohon-pohon kopi, telinga menyimak kicau burung, kulitku meresapi desah angin, dan hidungku menciumi aroma kopi."

Willy mencongak. "Masih jauh?"

"Itu dangau yang kita tuju," sahut Sabda seraya menunjuk sebuah dangau. "Sebenarnya hutan ini adalah perkebunan kopi. Sejak enam puluh tahun silam dikelola oleh warga Desa Jenetallasa. Mulai tahun lalu, para petani kopi mengganti nama areal ini menjadi Kampung Kopi. Luasnya kira-kira lima puluh hektare." Ia berbalik dan menunjuk hamparan pepohonan. "Semuanya dikelola oleh Kelompok Tani Aroma."

"Nama kelompok taninya keren," seru Sam.

Sabda mengangguk. "Betul."

Willy manggut-manggut. Mulutnya mencelangap. "Kopi-kopi ini dirawat secara tradisional?"

"Semula begitu." Sabda menarik napas, mengembuskannya pelan-pelan, dan tersenyum. "Sejak mengikuti banyak pelatihan, termasuk Pelatihan Mengenal Kopi di Kanada, petani-petani kopi di sini sudah tahu cara merawat kopi yang sesuai teknologi."

Sam tercengung. "Belajar hingga Kanada?"

Sabda mengangguk. "Ya, Kelompok Tani Aroma sudah melanglang buana."

"Jenis kopi apa yang mereka tanama?" tanya Willy.

"Arabika," ujar Sabda.

Sam dan Willy serentak berseru, "Wah, favoritku."

"Kalian pernah dengar pepatah 'kerbau punya susu, sapi punya nama'?"

Sam dan Willy serempak menyahut, "Ya."

Mata Sabda meripit karena cahaya matahari menyemburat di balik dedaunan. "Kopi-kopi di sini dinamai Kopi Rumbia, berarti asalnya dari Jeneponto. Di Bulukumba ada Kopi Kahaya, sementara di Enrekang ada Kopi Kalosi. Mereka punya kopi, tetapi orang-orang di luar lebih sering menyebutnya Kopi Toraja."

Willy penasaran. "Sampai sekarang?"

"Tidak lagi," tukas Sabda. "Kita ke dangau. Gelas-gelas kopi sudah menanti kita di situ. Di sini kopi cepat dingin."

"Betul," desis Sam. Uap menyembur dari mulutnya. "Dingin sekali."

Mereka kembali berjalan di atas rerumputan.

Setiba di dangau, Sam dan Willy tumbang. Mereka berbaring di lantai dangau. Bilah-bilah bambu yang terpasang tengkurap dan berjajar rapi langsung berkeriut menyambut tubuh mereka. Hanya Sabda yang berbeda. Ia berbaring di atas rumput. Kepalanya berbantal tangan.

Seruan Willy mengejutkan Sabda. "Ada sinyal!"

Sabda mencebik. "Kamu pikir karena kita di kampung terpencil lantas nirsinyal?"

Willy mengangguk. "Tadi tidak ada sinyal."

"Apakah kamu akan sekarat kalau bercerai dengan gawai dalam sehari?" tanya Sabda.

Mata Willy mendelik, bibirnya mencebik. "Bukan begitu. Aku harus menyapa kekasihku. Menanyakan pagi ini dia sedang apa, mengingatkan agar dia tidak lupa sarapan, dan meminta supaya dia tetap cinta kepadaku."

Sabda bangkit dan duduk memeluk lutut. "Sam mendengkur." Ia tertawa melihat Sam terlelap dan dengkurnya meningkahi cericit burung. "Kamu tidak main medsos lagi?"

"Bete!"

"Kenapa?"

"Twitter penuh bahasa benci."

"Tergantung siapa yang kamu ikuti."

"Kampanye membuat Twitter kehilangan bahasa cinta."

Sabda terkekeh-kekeh. "Dulu kamu rajin mentwit apa saja."

"Dulu, sekarang agak jarang."

"Kalau ada temanmu yang gencar mengumbar kebencian, tinggalkan saja. Setelah Pilpres baru kamu ikuti lagi. Jangan susah-susah."

"Aku sudah melakukannya." Willy masam-mesem. "Cuma masih agak malas. Paling sesekali menengok linikala. Nanti saja setelah pilpres. Banyak hoaks pula." 

"Nikmati saja!"

"Sabda, aku mau menanyakan sesuatu."

"Apa?"

"Mana yang baku antara nekat dan nekad?"

"Tidak bisa dimungkiri, kebiasaan pelafalan memantik kekeliruan penulisan," ujar Sabda menanggapi pertanyaan Willy. Ia berhenti sejenak, lalu berkata, "Kita lafalkan nekat dengan nekad. Maksudku, huruf 't' pada akhir kata itu kita ganti dengan konsonan 'd'. Begitu terus setiap saat. Lambat laun, kata nekad-lah yang lekat di dalam ingatan kita, merajak di alam bawah sadar, lantas kita mengira itulah kata yang baku."

Willy sudah duduk mencangkung di samping Sam yang mengorok.

"Akibat salah eja," kata Sabda, "kesalahan juga terjadi saat kita menulis bejat. Sebagian di antara kita menggunakan huruf 'd' di akhir kata alih-alih konsonan 't'. Alhasil, kita menyangka yang baku adalah bejad. Padahal bejat." 

Ia menarik napas. "Kita juga bisa mengasah kepekaan gramatikal kita pada kata skuat. Di media daring, terutama media penyampai berita olahraga, kata tersebut acapkali dikira skuad. Sekali lagi, konsonan 'd' kita biarkan merambah lahan rezeki huruf 't'. Dan, kesalahan itu kita biarkan terus terjadi. Itu sebabnya disebut salah kaprah. Artinya 'kesalahan yang dilazimkan atau dilumrahkan'."

Willy menjawil lengan Sam. "Kasih tahu Riva, Sam, yang betul itu nekat!"

Sam sontak bangun dan memberengut. "Apaan sih!"

Willy terkakak-kakak. Gema tawanya membahana di sela batang-batang kopi.

Sabda sedang asyik memacari gawai. Jemarinya menari lincah. Sesekali ia mendongak, sesekali menunduk. Kadang mencelangap, kadang menganga. Willy tersenyum-senyum melihat sahabatnya. Lelaki kelahiran Jeneponto itu pasti sedang sibuk menulis puisi. Ia turun dari dangau dan duduk di sebelah Sabda. Ia terperangah membaca untaian kalimat.

Pada November, aku selalu ingin merayakan hari kelahiran bersama buku yang tiap-tiap halamannya selalu ingin dibaca. Bagiku, kamulah buku yang rahasianya tak pernah rampung kubaca.

Willy menggumam. "Sebentar lagi Nopember!"

"Aku tidak suka Nopember!"

"Kenapa?"

Sabda tercenung. "Aku selalu suka November, tetapi aku tidak suka Nopember. Kamu pasti bingung." Ia melirik dan mencibir melihat Willy melongo. "Tenang saja. Tidak usah menganga. Ini alasanku. Aku suka bulan November karena aku lahir pada bulan itu. Singkat kata, pada bulan itulah kurenungkan hari kelahiranku. Tolong jangan kalian sebut hari ulang tahun."

"Hubungannya dengan Nopember?"

"Tidak ada hubungan apa-apa."

"Maksudku," sergah Willy seraya menggeretakkan gigi, "mengapa kamu tidak suka bulan Nopember?"

"Karena Nopember bentuk takbaku dari November."

"Oh!"

"Lidah kita terbiasa melafalkan 'v' dengan 'f' atau 'p'. Tak ayal, aktivis berubah menjadi aktifis atau aktipis. Konveksi disangka konpeksi atau konfeksi. Ndilalah, November juga dieja Nopember. Kekeliruan pelafalan terbawa-bawa ke dalam tulisan."

"Jadi tidak ada Nopember?"

"Yang ada," seru Sabda tegas, "November."

"Februari atau Pebruari?"

"Februari!"

"Bagaimana dengan Pebrianov?"

"Itu nama, Kawan. Tidak apa-apa. Nanti kamu letih kalau berhasrat memperbaiki nama-nama orang dalam akta kelahiran, ijazah, KTP, SIM, atau paspor."

Willy terkekeh. "Soalnya, banyak di antara kita yang abai pada bulan bahasa."

"Tidak ada hubungannya." Sabda tersenyum-senyum. "Nama tidak usah dianggap kesalahan berbahasa Indonesia, Kawan. Kasihan penduduk Grogol karena yang tepat adalah gerogol. Kasihan warga Glodok karena yang benar adalah gelodok. Kasihan Ramdhani karena penulisan yang pas menurut kaidah bahasa kita sebenarnya Ramadani. Jangan lebay, Willy!"

"Kalau begitu," tukas Willy, "aku akan mengacuhkan saja bulan bahasa!"

"Itu bagus. Mengacuhkan berarti memedulikan atau mengindahkan."

"Oh!"

"Jangan menganga, nanti lalat masuk ke mulutmu."

Willy mencibir. "Bukan gara-gara kamu, Bro."

"Lantas?"

Willy menunjuk Sijaya, sahabat sepermainan Sabda semasa remaja, yang datang bersama cerek dan gelas. "Kopi Rumbia sudah datang."

Sabda berdiri dan tertawa. "Akhirnya datang juga!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun