Kebudayaan tanah persekutuan Halehebing menunjukkan corak yang sangat bersifat adikodrati, seperti ritus adat pare tanah, yang bercorak ret-ret agung yang dilaksanakan sekali dalam 4 tahun.Â
Dalam ritus ini, semua warga hanya beritirahat di rumah. Tabu untuk keluar rumah. Mereka menyiapkan semua kebutuhan selama seminggu. Ada yang membangun pondok di luar rumah sampai ritus selesai.
Menurut kepercayaan masyarakat, dalam ritus pare tanah manusia memberikan kesempatan kepada sesuatu Yang Agung untuk bekerja dan memulihkan segala sesuatu dan memberkati dan menjamah manusia.
Pada puncak acara adat ini warga berkumpul di depan Mahe (altar adat) untuk doa syukur lalu berpesta syukur atas keselamatan hidup dan berkat dari Yang Maha Kuasa. Manusia memperoleh rasa kenyamanan melalui rasa takut terhadap kekuatan adat yang dapat membawa petaka, namun dapat membawa berkat pula.Â
Kampung Hebing merupakan kampung tua dan merupakan pusat pemerintaham tanah persekutuan. Di kampung ini terdapat berbagai makam tua dari kalangan pemimpin dan keluarganya dari warga subsuku Halehebing yakni dari kalangan 3 kekuasaan tiga batu tungku.Â
Di kampung Hale ditemukan adanya peninggalan artefak zaman prasejarah yang disebut: Artefak Bahar Amapu Waen Telu.
 Artefak ini ditemukan oleh Dinas Kepurbakalaan Propinsi NTT dan merujuk kepada adanya konsep Tuhan berwajah tiga, adanya pengaruh Hinduisme.Â
Delaon itu  artefak yang terbuat dari perunggu tersebut dari segi budaya spritual merujuk adanya hierarki pemerintahan 3 Amapu atau 3 Laki Puu di pusat pemerintahan adat. Tiga Laki puu atau 3 Ama Pu adalah struktur sosial tertinggi dalam tata pemerintahan adat agraris di Halehebing.
 (Sumber: Hasil racikan dari berbagai wawancara dengan para tokoh masyarakat Halehebing)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI