Mohon tunggu...
Ingan Pusuh Malem
Ingan Pusuh Malem Mohon Tunggu... Freelancer - Universitas Sumatera Utara

Alumni Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Kajian Politik Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ancaman Kedaulatan Negara Indonesia di Laut Natuna dan Implementasi Kebijakan Luar Negeri yang Diambil Pemerintah Indonesia

25 Januari 2022   15:01 Diperbarui: 25 Januari 2022   15:07 1505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar China Coast Guard di Laut Natuna Indonesia 

   Laut China Selatan merupakan laut perairan dengan berbagai potensi yang sangat besar, karena di dalamnya banyak terkandung minyak bumi dan gas alam. Peranannya juga sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan dan pelayaran internasional. Laut China Selatan menjadi wilayah  perairan dan kawasan yang banyak diperebutkan karena memiliki nilai strategis sebagai Sea Lines of  Trades (SLOT) dan Sea Lines of Communication (SLOC) yang menghubungkan  antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sehingga membuat jalur Laut China Selatan sebagai jalur tersibuk di dunia. Nilai- nilai strategis tersebut membuat banyak negara yang berupaya mengklaim kawasan tersebut, untuk kepentingan nasionalnya masing masing.  Bukan hanya itu, klaim tersebut pun akhirnya memunculkan sengketa wilayah. Sengketa ini disebabkan  karena Beijing yang mengklaim di Lautan yang terletak disebelah selatan negaranya seluas 3.500.000 KM  . Konflik tersebut juga semakin meluas karena  Laut  China Selatan dikelilingi oleh 5 kawasan Negara di Asia  Tenggara, yaitu Malaysia, Vietnam,Taiwan, Brunei Darusalam, dan Filipina yang biasa dikenal dengan claimant states.  Posisi Indonesia bukanlah menjadi salah satu negara yang ikut menuntut klaim atas kepemilikan wilayah di Laut China Selatan. Indonesia berperan dalam menyikapi konflik yang terjadi di Laut China selatan dan menjadi negara penengah negara-negara yang berkonflik di Laut China Selatan.

            Namun, klaim China/ Beijing atas Laut Natuna Utara, kini menimbulkan  persoalan yang akan mengancam keadaulatan  Negara Republik Indonesia. Laut Natuna Utara merupakan wilayah kedaulatan Indonesia yang terletak di sebelah selatan Laut China selatan. Wilayah ini membagi laut Natuna menjadi 2 bagian cekungan, yaitu cekungan Natuna Barat yang membentang sampai ke wilayah cekungan Melayu di kawasan Malaysia barat dan Cekungan Natuna Timur yang membentang sampai Cekungan Serawak di  Malaysia Timur. Laut  Natuna sangat kaya akan gas alam, potensi minyak bumi, dengan berbagai kekayaan tersebut, China melirik Laut Natuna Utara dan berusaha untuk mengkalim kawasan ini.  Atas beberapa persoalan ini, tulisan ini akhirnya akan mencoba menjelaskan bagaimana bentuk ancaman kedaulatan Negara Indonesia atas tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah  China/Beijing. Serta, juga akan menjelaskan   bagaimana implementasi kebijakan luar negeri yang diambil oleh Indonesia dalam meresponi tidakan Beijing, juga akan menggunakan beberapa teori yang menguatkan argumentasi penulis, beberapa konsep dasar serta aradigm yang dipakai dalam tulisan ini.

            Dalam Teori realisme  sering disebut dengan nama "Power politics", merupakan salah satu pendekatan yang dominan dalam hubungan internasional baik dalam pemikiran akademik, maupun dalam pemikiran para pembuat keputusan dan diplomat.  Munculnya realism dalam hubungan internasional tidaklah terlepas dari kegagalan idealisme. Perkembangan dari serangkaian pernyataan-pernyataan tentang perilaku rasional senantiasa berdasarkan pada motivasi dominative dengan membawa ciri pemanfaatan  power. Hans Morgenthau sebagai salah seorang penteori politik realism degan sangat jelas dikemukakannya suatu deskripsi rasionalitas politik seperti itu.

            Teori realisme mengasumsikan bahwa lokasi atau wilayah geografis suatu bangsa, akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan nasionalnya serta orientasi kebijaksaan politik luar negerinya. Oleh karena itu, kondisi geografis bagi suatu bangsa/ negara dianggap sebagai suatu yang  esensial  khusunya dalam kerangka implementasi kebijaksanaan politik luar negeri. Dalam hubungan ini, di beberapa negara yang sangat strategis dibandingkan dengan komposisi negara lainnya. Oleh sebab itu, bagi pandangan kelompok realisme, cukup dengan hanya mensiasati melalui manajemen power. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan perimbangan kekuatan (balance of power) sebagai alat pengatur. Pada saat ini power dikeseimbangkan diantara  negara-negara, maka dengan itu sekaligus. Tidak satupun negara yang mengambil posisi hegemoni dalam sistem internasional. Maka dalam kondisi politik internasional seperti ini  maka  powerlah  yang menjadi determinan dalam perilaku internasional

            Dalam teorinya, Hans Morgenthau mengatakan bahwa power merupakan alat (instrument) yang dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan. Ia merupakan penganut aliran pemikiran politik realisme dan hubungan internasional yang paling fanatic, dalam buku klasiknya  politics among nations : the Strunggle for Power and Peace,  bahwa perjuangan kekuasaan dijaidkan sebagai pemberian makna atas politik internasional seperti juga politik politik lainnya. Sebagi tujuan akhir dari politik internasional adalah power. Power diletakkan sebabgai sentral bagi sebuah perjuangan dan ini dicirikan oleh penggunaan dan manipulasi sumber-sumber militernya.

             Terkait pembasahan mengenai Laut Cina Selatan, tidak lengkap rasanya jika tak  membahas tentang kedaulatan negara. Kedaulatan negara merupakan kekuasaan mutlak suatu  negara yang tidak dapat diganggu gugat oleh negara lain, hal tersebut meliputi wilayah, penduduk beserta isi sumber daya alam dan kekayaan sumber daya alam yang merupakan hak untuk dilindungi sebagai aset negara. Setiap negara memiliki kedaulatan untuk menjalankan  pemerintahannya dan untuk membatasi dirinya dari ancaman yang berasal dari dalam negeri maupun ancaman yang berasal dari luar. Dalam kedaulatan wilayah, terdapat persetujuan dan pengakuan dari negara lain yang bersangkutan dengan negara tersebut, seperti negara tetangganya. Sehingga dapat memungkinkan  terbentuknya hukum yang disetujui dan berlaku  antar negara tersebut, dalam perbatasan wilayah kedaulatannya.

            Adanya kedaulatan negara, memungkinkan suatu negara untuk menjalankan proses politik dalam negeri dan  politik  luar negerinya terhadap negara lainnya, dalam batasan wilayahnya yang telah diakui oleh negara lain. Namun, adanya kedaulatan negara juga dapat menjadi awal sebuah konflik antar negara, yang terjadi karena permasalahan akibat bertabrakannya kepentigan, seperti dalam konteks wilayah. Teritorial disputes, merupakan perselisihan atas kepemilikan atau kekuasaan  suatu wilayah yang dapat berbentuk tanah maupun laut antara dua negara atau lebih. Indonesia sebagai negara yang berdaulat memiliki kedaulatan atas kekuasaanya yang telah diakui oleh negara lain. Kedaulatan yang dimaksud adalah kepemilikan dan  kebebasan untuk menggunakan dan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di wilayahnya, lautnya beserta Zona Ekonomi Ekslusif milik Indonesia. kedatagan kapal China ke perairan laut  Indonesia tentunya dapat menjadi ancaman bagi kedaulatan negara Indonesia.

            Mempelajari kebijakan luar negeri tentunya juga sangat penting dalam isu  di Laut Cina Selatan dan bentuk implementasi kebijakan yang sudah coba diambil oleh pemerintah Indonesia. Pada  dasarnya  kebijakan luar negeri  adalah akumulasi dari pengambilan keputusan secara politis melalui berbagai pertimbangan. Pertimbangan dalam rangka merumuskan kebijakan luar negeri di dasarkan pada kepentingan nasional suatu  negara. Kepentingan  nasional tersebut senantiasa berkaitan dengan keamanan, kesejahteraan, dan kekuasaan (Kusumohamidjojo 1987). Dalam kebijakan luar negeri, terdapat instrument penting, yakni politik luar negeri. Politik luar negeri secara umum merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran yang bertujuan untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional suatu negara di kancah global.

            Terdapat tiga landasan politik luar negeri Indoensia. Pertama, landasan ideal, yakni pancasila. Kedua, landasan konstitusional yaitu pembukaan undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Alinea 1 dan 4. Ketiga, Landasan operasional yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Secara lebih lanjut, dalam landasan iperasional tersebut menjelaskan bahwa Indoensia memiliki karakter politik luar negeri yang bebas dan aktif yang pertama kali diperkenalkan oleh Moh. Hatta pada 21 November 1948. Karakter ini yang mampu menjadikan Indonesia mampu menentukan arah kebijakan politiknya secara mandiri dan senantiasa dapat berperan aktif di kancah global untuk memperjuangkan politik luar negerinya. Dalam tulisan ini, akan diejalskan bagaimana implementasi kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam meresponi permasalahan yang terjadi di Laut Natuna Utara.

            Penangkapan ikan secara illegal yang terjadi berulang kali serta dengan dibarenginya intervensi dari China menjadi alasan bagi Indonesia untuk menegaskan kembali  kedaulatan wilayah dan posisi ZEE Indonesia di Laut Natuna. Dapat dikatakan  tindakan  China atau Beijing yang datang ke peraiaran Laut Indonesia, dengan tujuan untuk mengambil potensi sumber daya alam, seperti ikan di Laut Natuna, tentunya akan  menjadi faktor ancaman bagi Indonesia. Tindakan China dengan membawa kapal militernya, kapal penjaga pantai untuk menemani para nelayan China yang mengambil ikan di perairan Laut natuna, dapat dikatakan sebagai Ilegal Fishing.

            Illegal, Unreported, and Undregulated (IUU) Fishing merupakan praktik  memancing yang dilakukan berlawanan dengan hukum terkait konservasi dan pembatasan dalam memancing. Illegal fishing disini adalah aktivitas memancing yang dilakukan oleh kapal nasional atau asing di perairan yang terdapat dalam yuridksi suatu negara, tanpa izin atau melanggar hukum dan regulasi negara tersebut. Unreported Fishing disini dapat diartikan sebagai aktivitas memancing yang tidak dilaporkan atau memakai laporan palsu dalam beraktivitas di perairan negara yang bersangkutan. Sedangkan unregulated Fishing adalah aktivitas memancing yang dalam wilayah suatu organisasi pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh kapal  tanpa kewarganegaraan atau kapal negara yang tidak termasuk dalam organisasi perikanan tersebut, yang telah berlawanan dengan hukum dan regulasi yang ditentukan  oleh organisasi perikanan yang bersangkutan.

            Lalu, bagaimana perpektif realisme dapat menganalisis  pelanggran Illegal, Unreported, and Unregulated  (IUU) yang dilakukan oleh negara China? Kedatangan  kapal kapal asing yang tidak diizinkan secara legal, seperti kapal kapal China untuk memasuki peraiaran Laut Natuna. Kapal-kapal tersebut bukan  hanya memasuki kawasan perairan Indonesia, tapi  turut juga megambil potensi alam berupa ikan yang ada di perairan  tersebut.  China di dalam kasus tersebut tidak  mau  hengkang dari perairan  Laut Natuna dan juga turut serta mengajukan klaim atas sebagai kawasan perairan Laut natuna. Tentu saja, dari sudut pandang realisme,  yang seperti sudah dijelaskan penulis seperti diatas, bahwa teori realisme mengasumsikan bahwa lokasi/ wilayah geografis suatu bangsa, akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan  nasionalnya serta orientasi kebijaksanaan politik luar negerinya. Karena di dalam pendekatan tersebut faktor geografis dan wilayah menjadi  penentu bagi para pengambil kebijakan luar negeri dalam mengimlementasi kebijakan luar negeri yang akan diambil nanti.

            Menurut pandangan penulis , kedatangan kapal China tersebut, tentunya dapan berpotensi menjadi ancaman kedaulatan bagi Indonesia. Sebab para nelayan yang mengambil ikan di perairan Laut Natuna tersebut Juga ditemani atau dikawal oleh kapal militer dan kapal penjaga pantai milik China. Dengan menggunakan pendekatan realisme, seperti  dalam pandangan filosofis (Thucydides, Thomas Hobbes, dan Niccolo Marviavelli) memberikan landasan berpikir  Hubungan Internasional- khususnya perspektif realime untuk mengkaji hubungan Internasional dari sudut pandangan  bahwa hakikatnya manusia yang agresif dan egoistic,Kecendrungan untuk bersaing dalam memperjuangkan kekuasan, dan penggunaan perang sebagai instrument untuk memperjuangkan  kekuasaaan, dan penggunaan perang sebagai instrument untuk menguasai  atau mengontrol pihak lain. Dari pendekatan ini penulis  berpendapat bahwa tujuan China untuk datang ke Laut natuna adalah untuk kepentingan nasionalnya yakni, untuk mengambil ikan yang berada  di perairan tersebut . Kedatangan para nelayan  ini yang di temani  oleh kapal militer dan penjaga  pantai milik  China menunjukkan bahwa tindakan para nelayan  tersebut, memanglah didukung oleh pemerintah negaranya. Kemudian, China yang datang ke perairan Laut Natuna juga bertujuan untuk menunjukkan kekuatan militer dan hegemoni kekuasaan negaranya. Padahal dengan jelas jelas bahwa China juga merupakan salah satu negara yang turut serta menandatangani UNCLOS (United Nations Convention on the lau of Sea), yang sering disebut konvensi PBB tentang Hukum Laut. Hingga saat ini, tak kurang bahwa ada 158 negara yang tergabung dalam konvensi ini. Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi ini melalui UU No. 17 tahun 1982. Undang-Undang atau konvensi ini tentunya memiliki makna penting bagi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan resmi dari masyarakat Internasional, serta undang-undang tersbeut juga mempunyai peran bagi Indoensia dalam mengambil tindakan tegas terhadap  kapal-kapal asing yang secara illegal telah datang ke perairan Laut Natuna.

            Lalu bagaimana bentuk kebijakan  luar negeri yang diilakukan Indonesia dalam meresponi masalah tersebut? Seperti  yang telah dijelaskan di dalam tulisan  saya tersebut, bahwa kebijakan luar negeri  adalah akumulasi dari pengambilan keputusan secara politis melalui berbagai macam pertimbangan. Menurut pandangan penulis, bahwa pemerintah Indonesia dalam mengambil setiap kebijakan luar negeri tentunya akan selalu mempertimbangkan kepentingan nasional Indonesia dan juga aspek keamanan dan kedaulatan negara. Pertama, Klaim China atas sebagian kawasan laut natuna. Oleh pemerintah Indonesia sendiri, menganggapi klaim  itu tidak beralasan, Menteri Luar negeri Retno Marsudi menjelaskan bahwa Perairan Laut Natuna adalah wilayah  kedaulatan Indonesia yang sah berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982 oleh PBB). Kemudian, ketika kedatangan kembali puluhan kapal nelayan China ke perairan tersebut pada tanggal 24 Oktober 2019. Indonesia dengan  tegas mengambil kebijakan yakni, pemantauan TNI yang berjaga-jaga yang ditambah kapal ,perang dan pemerintah Indonesia dan masih tetap juga mengutamakan diplomasi perdamaian untuk menghindari konflik yang semakin memanas yang  dapat memicu perang.

            Implementasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia adalah dengan berfokus pada pengelolaan  sumber daya kelautan secara optimal dan berkelanjutan. Indonesia juga berusaha berfokus melakukan diplomasi maritime melalui kerja sama dnegan negara-negara lain dalam bidang kemaritiman dan upaya menangani konflik seperti IUU Fishing, pelanggaran kedaulatan,sengeketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Diplomasi maritim yang diambil oleh pemerintah ini merupakan pelaksaan yang bukan hanya sebatas untuk aspek kelautan, tetapi juga pada tingkat bilateral, regional, dan global. Diplomasi ini juga menggunakan aset kelauatan, baik sipil maupun militer unutk memenuhi kepentingan nasional Indoneisa sesuai dengan hukum nasional dan Internasional. Tentunya usaha ini akan  banyak melibatkan lembaga eksekutif yang mengekskusi setiap pertimbangan keputusan yang diambil oleh negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun