"Buat dirimu di rumah dengan ongkos paling murah. Jalin hubungan bisnis dengan kemiskinan."
Di era modern, kita didorong untuk selalu berpikir positif. Buku-buku motivasi menasihati kita untuk menghindari kata "kemiskinan" seperti wabah. Salah satu contohnya datang dari The Science of Getting Rich karya Wallace Wattles, yang menjadi inspirasi utama buku The Secret oleh Rhonda Byrne.
Wattles menulis dengan tegas, "Jangan bicara tentang kemiskinan; jangan menyelidikinya, atau menyibukkan diri dengannya. Jangan habiskan waktu Anda dalam pekerjaan amal... Berikan perhatian Anda sepenuhnya pada kekayaan; mengabaikan kemiskinan."
Pikirannya sederhana: apa yang kita fokuskan akan bertambah. Maka, fokuslah pada kekayaan, dan kekayaan akan datang. Ajaran ini terasa membebaskan, bahkan memberi harapan. Tapi apakah benar hidup bisa sesederhana itu?
Kenyataan hidup tidak selalu sejalan dengan imajinasi. Ekonomi bisa ambruk, pekerjaan bisa hilang, dan penyakit bisa datang tanpa permisi. Lalu apa yang terjadi ketika seseorang yang hanya belajar mencintai kekayaan tiba-tiba dihadapkan pada kehilangan? Ketika satu-satunya hal yang dianggap penting lenyap, apa yang tersisa?
Inilah titik rapuh dari pandangan Wattles. Ia tidak mempersiapkan kita menghadapi kenyataan yang tidak bisa dikendalikan.
Dia berkata kita harus melakukan apa yang dia lakukan secara rutin: mempraktikkan kemiskinan.
Mari kita mundur jauh ke masa Romawi, ke sosok filsuf bernama Seneca. Ia bukan orang miskin. Justru sebaliknya, Seneca adalah salah satu orang terkaya di Roma. Tapi kekayaan baginya bukan segalanya. Dalam surat-suratnya kepada Lucilius, kata "kemiskinan" muncul hampir seratus kali. Ia merenungi, menantangnya, dan bahkan secara sukarela menjalaninya.
Menurut Seneca, kemiskinan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Ia menulis, "Bukan orang yang memiliki sedikit yang miskin, melainkan orang yang menginginkan lebih." Sebab orang yang terus merasa kurang, meski memiliki segalanya, akan selalu gelisah. Ia tak pernah puas.