Mohon tunggu...
Edi Abdullah
Edi Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Bekerja Sebagai Widyaiswara Pada Lembaga Administrasi Negara RI

RIWAYAT PEKERJAAN.\r\n1. DOSEN PADA UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR TAHUN 2008-2011.\r\n2.DOSEN PADA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR. TAHUN 2008.\r\n3. DOSEN PADA STIH COKROAMINOTO TAHUN 2009-2012.\r\n4. DOSEN PADA STMIK DIPANEGARA TAHUN 2009-2012.DENGAN NOMOR INDUK DOSEN NASIONA(.NIDN ) 09101182O1. \r\n6.BEKERJA SEBAGAI ADVOKAT PADA TAHUN 2008-2011.\r\n7. BEKERJA SEBAGAI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI PKP2A II LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA RI. SEJAK TAHUN 2011-SEKARANG\r\n.\r\nPENGAMAT KEBIJAKAN PUBLIK,HUKUM, POLITIK LAN MAKASSAR, WIDYAISWARA BIDAnG HUKUM LAN MAKASSAR\r\n\r\nKARYA ILMIAH ;BUKU PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA,merobek demokrasi\r\nFROM PINRANG TO MAKASSAR\r\n\r\

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Strategi Pencegahan Korupsi melalui Instrumen Anti Korupsi Kabinet Jokowi-JK

25 Oktober 2014   21:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:45 9157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

C = M + D - A

C = Corruption / Korupsi

M = Monopoly / Monopoli

D = Discretion / Diskresi / Keleluasaan

A = Accountability / Akuntabilitas

Persamaan di atas menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan dalam menggunakan kekuasaan sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun lemah dalam pertanggung jawaban kepada publik (akuntabilitas). Pengertian di atas menyoroti korupsi sebagai perilaku merugikan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa pihak dan tidak secara eksplisit disebutkan apakah dari unsur birokrasi, swasta, maupun masyarakat. Karena pada dasarnya tindakan korupsi bukan saja terjadi di sektor pemerintahan tetapi juga dalam dunia bisnis dan bahkan dalam masyarakat.

Ciri-ciri korupsi adalah sebagai berikut:

1. dilakukan lebih dari satu orang

2.merahasiakan motif; ada keuntungan yang ingin diraih

3. berhubungan dengan kekuasaan/kewenangan tertentu

4. berlindung di balik pembenaran hukum

5. melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum

6. mengkhianati kepercayaan

Kiat memahami korupsi adalah dengan memahami pencurian dan penggelapan. Pencurian (berdasarkan pemahaman pasal 362 KUHP) adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/hak yang berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.

Rumus:

Pencurian=secara melawan hukum + mengambil sebagian atau seluruhnya barang atau hak orang lain + tujuannya memiliki atau memperoleh keuntungan.

Penggelapan (berdasarkan pemahaman pasal 372 KUHP) adalah pencurian barang/hak yang dipercayakan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku.

Rumus:

Penggelapan=pencurian barang/hak yang dipercayakan atau berada dalam kekuasaan si pelaku + penyalahgunaan kewenangan/kepercayaan.

Korupsi sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pencurian dan penggelapan, hanya saja unsur-unsur pembentuknya lebih lengkap.

Rumus:

Korupsi=(secara melawan hukum + mengambil hak orang lain + tujuan memiliki atau mendapat keuntungan) + ada penyalahgunaan kewenangan/ kepercayaan + menimbulkan kerugian negara

=(pencurian + penyalahgunaan kewenangan/ kepercayaan) + kerugian negara

=penggelapan + kerugian negara

Jadi korupsi bisa kita pahami juga sebagai penggelapan yang mengakibatkan kerugian negara.

Berikut adalah faktor-faktor penyebab korupsi:

1.Penegakan hukum tidak konsisten: penegakan hukum hanya sebagai make-up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.

2.Penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.

3.Langkanya lingkungan yang antikorup: sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.

4.Rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

5.Kemiskinan, keserakahan: masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.

6.Budaya memberi upeti, imbalan jasa, dan hadiah.

7.Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi: saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.

Rumus:

Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap

8.Budaya permisif/serba membolehkan; tidak mau tahu: menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.

9.Gagalnya pendidikan agama dan etika: ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya. Sebab, agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk (indopos.co.id, 27 Sept 2005).

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia mengidentifikasi beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu: aspek individu pelaku korupsi, aspek organisasi, aspek masyarakat tempat individu, dan korupsi yang disebabkan oleh sistem yang buruk.

1.Aspek Individu Pelaku Korupsi

Korupsi yang disebabkan oleh individu, yaitu sifat tamak, moral kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi untuk kebutuhan yang wajar, kebutuhan yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar.

Aspek-aspek individu tersebut perlu mendapatkan perhatian bersama. Sangatlah ironis, bangsa kita yang mengakui dan memberikan ruang yang leluasa untuk menjalankan ibadat menurut agamanya masing-masing, ternyata tidak banyak membawa implikasi positif terhadap upaya pemberantasan korupsi. Demikian pula dengan hidup konsumtif dan sikap malas.Perilaku konsumtif tidak saja mendorong untuk melakukan tindakan kurupsi, tetapi menggambarkan rendahnya sikap solidaritas sosial, karena terdapat pemandangan yang kontradiktif antara gaya hidup mewah di satu sisi dan kondisi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi masyarakat miskin pada sisi lainnya.

2.Aspek Organisasi

Pada aspek organisasi, korupsi terjadi karena kurang adanya keteladanan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas di pemerintah kurang memadai, kelemahan sistem pengendalian manajemen, serta manajemen yang lebih mengutamakan hirarki kekuasaan dan jabatan cenderung akan menutupi korupsi yang terjadi di dalam organisasi. Hal ini ditandai dengan adanya resistensi atau penolakan secara kelembagaan terhadap setiap upaya pemberantasan korupsi. Manajemen yang demikian, menutup rapat bagi siapa pun untuk membuka praktek korkupsi kepada publik.

3.Aspek Masyarakat Tempat Individu dan Organisasi Berada

Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada juga turut menentukan, yaitu nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat yang kondusif untuk melakukan korupsi.Masyarakat seringkali tidak menyadari bahwa akibat tindakannya atau kebiasaan dalam organisasinya secara langsung maupun tidak langsung telah menanamkan dan menumbuhkan perilaku koruptif pada dirinya, organisasi bahkan orang lain.Secara sistematis lambat laun perilaku sosial yang koruptif akan berkembang menjadi budaya korupsi sehingga masyarakat terbiasa hidup dalam kondisi ketidaknyamanan dan kurang berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi.

4.Korupsi yang Disebabkan oleh Sistem yang Buruk

Sebab-sebab terjadinya korupsi menggambarkan bahwa perbuatan korupsi tidak saja ditentukan oleh perilaku dan sebab-sebab yang sifatnya individu atau perilaku pribadi yang koruptif, tetapi disebabkan pula oleh sistem yang koruptif, yang kondusif bagi setiap individu untuk melakukan tindakan korupsi.Sedangkan perilaku korupsi, sebagaimana yang umum telah diketahui adalah korupsi banyak dilakukan oleh pegawai negeri dalam bentuk penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan. Tetapi korupsi dalam artian memberi suap, juga banyak dilakukan oleh pengusaha dan kaum profesional bahkan termasuk Advokat.

Lemahnya tata-kelola birokrasi di Indonesia dan maraknya tindak korupsi baik ilegal maupun yang ”dilegalkan” dengan aturan-aturan yang dibuat oleh penyelenggara negara, merupakan tantangan besar yang masih harus dihadapi negara ini. Kualitas tata kelola yang buruk ini tidak saja telah menurunkan kualitas kehidkupan bangsa dan bernegara, tetapi juga telah banyak memakan korban jiwa dan bahkan ancaman akan terjadinya lost generation bagi Indonesia.Efek dari buruknya tata kelola di negara ini mulai terlihat seperti persistensi tingkat kemiskinan yang relatif masih tinggi, pengangguran, gizi buruk, rendahnya kualitas pelayanan publik, rendahnya penerapan standar keselamatan moda transportasi serta ketimpangan antara kalangan masyarakat yang semakin nyata dipertontonkan.

Dalam kaitannya dengan korupsi oleh lembaga birokrasi pemerintah, beberapa faktor yang perlu mendapatkan perhatian adalah menyangkut manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) dan penggajian pegawai yang ditandai dengan kurangnya penghasilan, sistem penilaian prestasi kerja yang tidak dievaluasi, serta tidak terkaitnya antara prestasi kerja dengan penghasilan.

Pelanggaran aturan main dan kaidah hukum yang mestinya dijunjung tinggi ini menggambarkan gagalnya tata kelola untuk dijalankan dengan baik sebagaimana mestinya.Korupsi yang disebabkan oleh sistem yang koruptif inilah yang pada akhirnya akan menghambat tercapainya clean and good governance. Jika kita ingin mencapai pada tujuan clean and good governance, maka perlu dilakukan reformasi birokrasi yang terkait dengan pembenahan sistem birokrasi tersebut. Birokrasi sebagai organisasi formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang terkait dengan peraturan, memiliki kompetensi sesuai jabatan dan pekerjaan, memiliki semangat pelayanan publik, pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu, serta sumber daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal.

Jika awalnya kepentingan bertahan hidup menjadi motif seseorang atau sejumlah orang melakukan tindak pidana korupsi, pada tahap berikutnya korupsi dimotivasi oleh bangunan sistem, yang hanya bisa terjadi karena dukungan kerjasama antar sejumlah pelaku korkupsi, pada berbagai birokrasi sebagai bentuk korupsi berjamaah.

Tindak pidana korupsi dapat disebabkan oleh banyak hal. Singh (1974) dalam penelitiannya menemukan penyebab terjadinya korupsi di India adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2 %), dan hambatan struktur sosial (7,08 %).Sedangkan menurut Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut:

a.Peninggalan pemerintahan kolonial.

b.Kemiskinan dan ketidaksamaan.

c.Gaji yang rendah.

d.Persepsi yang populer.

e.Pengaturan yang bertele-tele.

f.Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.

Lebih lanjut Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi yaitu:

a.Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.

b.Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.

c.Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.Di mana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggapbertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan. Menurut kebudayaannya, orang Nigeria tidak dapat menolak suapan dan korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.

d.Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.

Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab mendasarterjadinya korupsi adalah sebagai berikut:

a.Landasan iman yang rapuh

b.Perilaku dan sifat serakah yang ingin mengusasai

c.Perilaku yang koruptif yang terbentuk sejak dini dan tumbuh secara perlahan seperti: tidak disiplin, tidak tepat waktu, dan berpikir pendek

d.Gaji yang lebih rendah dibandingkan dengan biaya hidup minimal

e.Kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan yang memberi peluang terjadinya korupsi

f.Kurangnya transparan sistem pengelolaan sumberdaya dan adminstrasi pemerintahan, perusahaan, dan organisasi

g.Terbatasnya pelayanan informasi dan lambatnya proses perijinan

h.Kurang transparan dan kurang keadilan dalam jenjang karir pegawai

Motivasi korupsi menurut Abdullah Hehamahua (2005):

1. Korupsi karena kebutuhan

2. Korupsi karena ada peluang

3. Korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri

4. Korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah

5.Korupsi karena ingin menguasai suatu negara

BAB III

DAN PROSES PENYELESAIANNYA


Indikator Keberhasilan :

Setelah mengikuti pembelajaran pada bab ini, peserta diklat diharapkan dapat menjelaskan pengertian tindak pidanan korupsi dan penaganannya

Korupsi itu seperti bola salju, sekali saja menggelinding,maka akan bertambah besar. (Charles Caleb 1780-1832, penulis Inggris)

A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA

Pembentuk undang-undang di Indonesia menerjemahkan “straafbaarfeit” (Belanda) sebagai

tindak pidana, akan tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai straafbaarfeit itu sendiri.

Straafbaarfeit dalam bahasa Belanda sebenarnya terdiri dari dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Feit dalam bahasa Belanda mempunyai arti “sebagian dari kenyataan”, sedangkan straafbaar mempunyai arti “dapat dihukum”. Sehingga kalau diterjemahkan secara harafiah maka straafbaarfeit mempunyai arti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum”, padahal yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi, bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Menurut jalan pikiran penulis, sebagian kenyataan, perbuatan atau

tindakan yang dapat dihukum itu pasti dilakukan oleh manusia sebagai pribadi.

Pendapat beberapa pakar hukum mengenai pengertian tindakan pidana:

1. Prof Muljatno.

Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang

yang menimbulkan kejahatan. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsurunsur:

a. Perbuatan manusia;

b. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)

c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Syarat formil harus ada karena asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP. (Tindak Pidana Korupsi, Evi Hartanti,Hal 7))

2. E. Utrecht

Menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu sebagai perbuatan handelen ataudoen-positif atau suatu melalaikan negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan peristiwa hukum (rechtfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. (Tindak Pidana Korupsi, Evi Hartanti, hal 6).

3. Simon

“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum” (TindakPidana, Evi Hartanti hal 5).

B. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Unsur Subjektif

1. Setiap orang Orang perorangan atau termasuk korporasi.

( Pasal 1 angka 3 UUPTPK)

2. Penyelenggara Negara

Pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau jufdikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 1 UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN) Penyelenggara Negara

a. Pejabat Negara dalam Lembaga Negara,

b. Menteri,

c. Gubernur atau wakil pemerintah pusat di Daerah

d. Hakim, di semua tingkat pengadilan

e. Pejabat Negara yang lain : Dubes, Wk Gubenur, dan Bupati/Walikota, dan

f.Pejabat yang memiliki fungsi strategis

g. ( yang rawan praktek KKN) ; Direktur/Komisaris, dan pejabat struktural lainnya di BUMN/BUMD, Pimpinan BI, Pimpinan Perguruan Tinggi, Pejabat Eselon I, Jaksa, Panitera Pengadilan, dan Pimpinan, Bendaharawan Proyek (Pasal 2 UU No 28 Tahun 1999)

3. Pegawai Negeri

Meliputi :

a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU Tentang Kepegawaian. Pasal 1 angka 1 UU No 8 Tahun 1974 jo UU No 43 Tahun 1999 : Setiap WNI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan , diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan

negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) UU No 8 Tahun 1974 jo UU No 43 Tahun 1999 : Pegawai Negeri terdiri dari :

1). PNS Pusat dan PNS Daerah

2). Anggota TNI, dan

3). Anggota POLRI

b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU

Hukum Pidana;

c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan

negara atau daerah;

d. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi

yang menerima bantuan dari keuangan negara atau

daerah ; atau

e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi

lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari

negara atau masyarakat.

(Pasal 1 angka 2 UUPTPK)

4. Korporasi

1. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi

baik yang berbentuk badan hukum ;

2. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi

yang bukan berbentuk badan hukum;

3. kumpulan orang yang terorganisasi yang

berbentuk badan hukum

4. kumpulan orang yang terorganisasi yang bukan

berbentuk badan hukum

5. kumpulan kekayaan yang terorganisasi yang

berbentuk badan hukum

6. kumpulan kekayaan yang terorganisasi yang bukan

berbentuk badan hukum

2. Unsur Objektif

a. Janji

b. Kesempatan

c. Kemudahan

d. Kekayaan Milik Negara

-. Uang

-. Daftar

-. Surat, Akta

-. Barang

C. PENGERTIAN KORUPSI

1. Menurut Fockema Andreae kata korupsi dari bahasa Latin corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary, 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal corrumpere, yaitu suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa latin inilah diserap kedalam banyak bahasa dinegara-negara Eropa, seperti Inggris yaitu Corruption, corrupt, Perancis yaitu Corruption, dan Belanda Corruptie (korruptie). Dari bahasa Belanda inilah kita menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia “korupsi”.

2. Secara harafiah korupsi mempunyai arti kebusukan,keburukan, kebejatan, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina dan memfitnah.

3. The Lexicon Webster Dictionary “Corruption (L. Corruption (n-)): The act of corrupting, or the state of being corrupt; putrefactive decomposition, putrid matter; moral perversion; depravity, pervesion of integrity, corrupt or dishonest proceedings, bribery, pervesion from a state of purity, debasement, as of language; a debased from a word”.

4. Kamus umum Bahasa Indonesia (W.J.S. Poerwodarminto): Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.

5.Kamus Lengkap Inggris – Indonesia, Indonesia – Inggris, S. Wojowasito – W.J.S. Poerwodarminto: Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran.

6. Economic Development Institute of the World Bank, “National Integrity System Country Studies” mengatakan: “an abuse of entrused power by politicians of civil servant for personal gain”. Malaysia mempunyai aturan tentang anti korupsi, mereka tidak memakai kata korupsi melainkan memakai istilah rusuah yang diambil dari bahasa Arab yaitu riswah. Di Indonesia, jika orang membicarakan korupsi pasti yang dipikirkan dan yang dikatakan, hanya mengenai perbuatan yang buruk, jelek, rusak, dengan macam-macam artinya menurut waktu, tempat, dan suku, demikian juga dengan bangsa-bangsa lain.

Langkah-langkah pembentukan peraturan tentang pemberantasan korupsi di Indonesia telah dimulai beberapa tahun perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak meraih kemerdekaannya, sebagai upaya memberantas tindak pidana korupsi. Dan istilah korupsi sebagai istilah yuridis diawali pada tahun 1957 pada saat dikeluarkannya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angkatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Peraturan pemberantasan Korupsi mengalami empat masa sejak tahun 1957 sampai saat ini sebagai berikut:

1. Masa Peraturan Militer

a. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 yang dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Konsiderans peraturan ini mengatakan: “Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu cara kerja untuk dapat menerobos

kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi … dst”

b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 Tentang Penilikan Harta Benda, tanggal 27 Mei 1957 yang merubah dan menyempurnakan Peraturan Penguasa Militer No PRT/PM/06/1957.

c. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957 Tentang Wewenang Penguasa Militer dalam Menyita Barang-Barang, tanggal 1 Juli 1957.

f. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/013/1958 tanggal 16 April 1958. Peraturan ini dikeluarkan pada

waktu seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang berdasar Undang- Undang No 74 Tahun 1957 jo. Undang-Undang No 79 Tahun 1957, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut. Dalam konsideran peraturan ini, khususnya pada butir

a dikatakan: “Bahwa perkara-perkara pidana yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf dan lainlain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatanperbuatan yang disebut korupsi”

g. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No PRT/Z/I/7/1958 Tanggal 17 April 1958.

2. Masa Undang-Undang No 24/Prp/Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini melalui Undang-Undang No 1 Tahun

1961 menjadi Undang-Undang No 20 Prp Tahun 1960. Undang-undang ini dibuat mengingat peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut hanya berlaku untuk sementara (temporer), maka Pemerintah Republik Indonesia menganggap bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat

yang dimaksud perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk Undang-Undang. Konsiderans Undang-Undang ini mengatakan: “bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau kelonggarankelonggaran lainnya dari negara atau masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana,

perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi”

3. Masa Undang-Undang No 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LNRI 1971-19; TLNRI 2958). Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai upaya penyempurnaan terhadap undang-undang yang ada sebagaimana dimuat secara tegas dalam diktumnya

sebagai berikut: “Bahwa Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubung dengan perkembangan masyarakat

kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan oleh karenanya undang-undang itu perlu diganti” Setelah lebih dari dua dasawarsa berlaku ternyata Undang-Undang ini tidak lagi sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, apalagi dengan terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara

negara dengan para pengusaha.

4. Masa Undang-Undang no 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam konsideransnya mengatakan: “Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi” yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang no 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang konsiderans butir a dan b nya berbunyi:

“Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa” “Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum menghindari keragaman penafsiran hukum, dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi perlu diadakan perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” Dari berbagai konsiderans sebagaimana tersebut, tercermin suatu proses pembuatan peraturan perundangundangan

yang ditujukan agar hukum pidana khusus lebih efektif untuk menangkal korupsi. Lebih dari itu,

merupakan komitmen positif dari penyelenggara negara untuk aktif berusaha memberantas korupsi. Komitmen ini diwujudkan dengan cara mengganti peraturan perundangundangan

yang dianggap kurang akomodatif terhadap permasalahan penanganan tindak pidana korupsi (Yudi Kristian hal 15) Undang-Undang ini diikuti dengan Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan peraturan pelaksanaan lainnya seperti misalnya Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Inpres No 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan korupsi adalah sebagai berikut:

1.Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1);

2.Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

3.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/ MPR/ 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;

4.UU no. 28 Th. 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);

5.UU no. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874); sebagaimana telah diubah dengan UU no. 20 Th. 2001;

6.UU no. 30 Th. 2002;

7.PP no. 71 Th. 2000;

8.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

9.Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

10.Keputusan Pimpinan KPK no. KEP–06/ P.KPK/ 02/ 2004;

11.Keputusan Pimpinan KPK no. KEP–07/ P.KPK/ 02/ 2004;

12.dan berbagai ketentuan hukum lainnya.

Hukum internasional yang berhubungan langsung dengan penanganan korupsi, termasuk yang berlaku untuk wilayah Asia Pasifik dan Asia Tenggara adalah:

1.Anti Corruption Action Plan for Asia and The Pacific Action Plan (Konferensi Tokyo 2001).

2.MoU on Cooperation for Preventing and Combating Corruption 2004 (Singapura, Indonesia, Brunei, Malaysia).

3.The United Nations Convention against Corruption (UNCAC), yang terbentuk pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida (Mexico).

4.The United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC).

Berdasarkan pemahaman pasal 2 UU no. 31 Th. 1999 sebagaimana yang diubah dengan UU no. 20 Th. 2001, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/ orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/ perekonomian negara.

Seperti yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya (penjelasan tentang korupsi dan penyebabnya), pasal 362 KUHP mengemukakan bahwa pencurian adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/ hak yang berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.

Rumus:

Pencurian=secara melawan hukum + mengambil sebagian atau seluruhnya barang atau hak orang lain + tujuannya memiliki atau memperoleh keuntungan.

Sedangkan pasal 372 KUHP mengemukakan bahwa penggelapan adalah pencurian barang/ hak yang dipercayakan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku.

Rumus:

Penggelapan=pencurian barang/ hak yang dipercayakan atau berada dalam kekuasaan si pelaku + penyalahgunaan kewenangan/ kepercayaan.

B.Pengertian Tindak Pidana Korupsi

tindak pidana korupsi merupakan sebuah kejahatan yang laur biasa yang memerlukan penaganan khusus dalam menangananinya karena itu masalah korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa di indonesia dan hal tersebut diatur berdasarkan UU No. 31 Th. 1999 jo UU 20 Th. 2001 tentang tindak pidana Korupsi daidalam undang –undang tersebut tindak pidana korupsidijelaskan dalam 3o pasal namun secara umum dibagi menjadi 7 perbuatan sebagai tindak pidana korupsi dan berikut penjelasan mengenai pengertian tindak pidana korupsi tersebut:

Korupsi Terkait Kerugian keuangan Negara :

Pasal 2

Subjek Pelaku: Perseorangan/korporasi

Unsur Objektif: Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara seumur hidup; penjara min. 4 th max. 20 th; denda min. Rp. 200 juta max. Rp. 1 milyar

Pasal 3

Subjek Pelaku: Perseorangan/korporasi

Unsur Objektif: Menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/Sarana yang ada padanya karena jabatan/kedudukan, Untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain, yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara seumur hidup; penjara min 1 th max. 20 th; denda min. Rp. 50 juta max. Rp. 1 milyar

Korupsi Terkait Suap Menyuap :

Pasal 5 ayat 1:

Subjek Pelaku:Pegawai negeri/penyelenggara negara yang menerima pemberian/janji juga dipidana, dianggap menerima suap

Unsur Objektif: Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri/penyelenggara negara supaya mau berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dalam jabatannya atau tidak dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara min. 1 th max. 5 th; denda min. Rp. 50 juta max. Rp. 250 juta

Pasal 6 ayat 1:

Unsur Subjek Pelaku:Hakim atau advokat yang menerima pemberian/janji juga dipidana, dianggap menerima suap.

Unsur Objektif: Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim untuk mempengaruhi putusan perkara

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara min. 3 th max. 15 th; denda min. Rp. 150 juta max. Rp. 750 juta

Pasal 11 ayat 1:

Unsur Subjek Pelaku: Pegawai negeri/penyelenggara negara;

Unsur Objektif: Menerima hadiah atau janji karena kewenangan/kekuasaan jabatannya

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara min. 2 th max. 7 th; denda min Rp. 100 juta max. Rp. 250 juta

Pasal 12 a:

Unsur Subjek Pelaku: Pegawai negeri/penyelenggara negara;

Unsur Objektif: Menerima hadiah atau janji, supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara seumur hidup; penjara min. 4 th max. 20 th; denda min. Rp. 200 juta max. Rp. 1 milyar .

Pasal 12 b:

Unsur Subjek Pelaku: Pegawai negeri/penyelenggara negara;

Unsur Objektif: Menerima hadiah karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara seumur hidup; penjara min. 4 th max. 20 th; denda min. Rp. 200 juta max. Rp. 1 milyar .

Pasal 13:

Unsur Subjek Pelaku: Perseorangan/korporasi

Unsur Objektif: Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena jabatan/kedudukannya

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara max. 3 th; denda max. Rp. 150 juta

Korupsi Penggelapan dalam jabatan :

Pasal 8:

Unsur Subjek Pelaku: Pegawai negeri;

Unsur Objektif: Menggelapkan uang atau Surat berharga, atau membiarkan barang tersebut diambil/digelapkan, atau membantu mengambil/menggelapkan

Ancaman Pidana (Hukuman): penjara min. 3 th max. 15 th; denda min. Rp. 150 juta max. Rp. 750 juta

Pasal 9:

Unsur Subjek Pelaku: Pegawai negeri;

Unsur Objektif: Memalsu buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara min. 1 th max. 5 th; denda min. Rp. 50 juta max. Rp. 250 juta

Pasal 10;

Unsur Subjek Pelaku: Pegawai negeri;

Unsur Objektif: Menggelapkan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai/merusakkan alat bukti atau Membiarkan atau membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan alat bukti

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara min. 2 th max. 7 th; denda min. Rp.100 juta max. Rp. 350 juta

Korupsi dalam Bentuk Pemerasan :

Pasal 12 e;

Unsur Subjek Pelaku: Pegawai negeri/penyelenggara negara;

Unsur Objektif:Menyalahgunakan kekuasaannya untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain (secara melawan hukum), memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar, menerima pembayaran dengan potongan, atau mengerjakan sesuatu.

Ancaman Pidana (Hukuman):

Pasal 12 F:

Unsur Subjek Pelaku: Pegawai negeri/penyelenggara negara;

Unsur Objektif: Meminta, menerima, memotong pembayaran seolah-olah merupakan utang

Ancaman Pidana (Hukuman):

Pasal 12 g:

Unsur Subjek Pelaku: Pegawai negeri/penyelenggara negara;

Unsur Objektif: Meminta, menerima pekerjaan atau barang seolah-olah merupakan utang

Ancaman Pidana (Hukuman):

Korupsi dalam Bentuk Perbuatan curang:

Pasal 7 a:

Unsur Subjek : Pemborong/ahli bangunan; penjual bahan bangunan

Unsur Objektif:Melakukan pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan, secara curang, yang dapat membahayakan keamanan orang/barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara min. 2 th max. 7 th; denda min. Rp. 100 juta max. Rp. 350 juta

Pasal 7b:

Unsur Subjek : Perseorangan/korporasi

Unsur Objektif:Menyerahkan barang keperluan TNI atau POLRI, secara curang, yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara min. 2 th max. 7 th; denda min. Rp. 100 juta max. Rp. 350 juta

Pasal 12 huruf H:

Unsur Subjek : Pegawai negeri/penyelenggara negara;

Unsur Objektif: Menggunakan tanah negara (di atasnya ada hak pakai) seolah-olah sesuai peraturan perundang-undangan padahal bertentangan, dan merugikan yang berhak

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara seumur hidup; penjara min. 4 th max. 20 th; denda min. Rp. 200 juta max. Rp. 1 milyar

Korupsi benturan kepentingan dalam pengadaan:

Pasal 12 huruf I:

Unsur Subjek : Pegawai negeri/ penyelenggara negara;

Unsur Objektif: Turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan padahal tugasnya mengawasi

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara seumur hidup; penjara min. 4 th max. 20 th; denda min. Rp. 200 juta max. Rp. 1 milyar

Gratifikasi:

Pasal 12 huruf b:

Unsur Subjek : Pegawai negeri/ penyelenggara negara;

Unsur Objektif: Menerima hadiah karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Ancaman Pidana (Hukuman): Penjara seumur hidup; penjara min. 4 th max. 20 th; denda min. Rp. 200 juta max. Rp. 1

C.Proses Penaganan Perkara Korupsi

Penaganan tindak pidana korupsi dalam sistem hukum di indonesia memberikan kewenagan kepada tiga lembaga yaitu kepolisian,kejaksaa, Dan KPK ketiga lemabaga ini punya kewenagan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi.

Jika terdapat kasus korupsi maka ketiga lembaga ini punya kewenagan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan khusus KPK sala satu kewenangannya adalah hanya akan menangani perkara yang melibatkan kerugian keuangan negara diatas 1 milyar.

BAB IV

Niat,Semangat dan Komitmen Anti Korupsi

Indikator Keberhasilan :

Setelah mengikuti pembelajaran pada bab ini, peserta diklat diharapkan dapat menjelaskan tentang Niat,semangat,Komitmen Anti Korupsi

kesadaran anti korupsi anda telah mencapai puncak tertinggi jika sudah menyentuh spritual accountability anda,apalagi ketika menyadari bahwa dapak korupsi itu tidak sekedar kerugian keuangan negara,namun ada kaitannya dengan kerusakan kehidupan kehidupan.sebagai bagian dari warga negara indonesia dengan keyakinan akan ketuahanan yang maha esa, maka kehidupan akan disadari sebagai 3 episode utama,,sebelum kehidupan didunia, kehidupan dunia sendiri,dan kehidupan pasca dunia .penyimpanan secara sosial terjadi ketika manusia menyimpang atau lupa pada perjanjian primordial mereka dengan tuhannya, pada saat itu dialam roh (primordial convenant)

mereka yang memiliki spritual accountability akan selalu ingat dengan perjanjian dengaan tuhannya tersebut yang pada dasarnya merupakan tujuan hidup kesadaran bahwa hidup hidup mereka harus dipertaanggungjawabkan. Tuhan yang menciptakan kehidupan, membelikan amanah pada manusia dan meminta pertanggungjawaban sebaliknya manusia diciptakan harus amanah mengatur bumi dan segaa isinya serta memberikan pertanggungjawaban.

Spritual accountability yang baik akan menghasilokan niat baik, niat yang baik akan menghasilkan visi dan misi yang baik , selanjtnya akan diterjemahkan dalam usaha yag terbaik untuk mendapatkan haasil terbaik.hubungan konsekuensi tersebut idealnya dapat menjamin bahwa pemilik spritual accountability akan mendorong publik accountability yang baik pula, dan tentunya tidak akan tergerak dan mempunyai niat sedikit pun untuk membuat kerusakan di muka termasuk didalamnya adalah melakukan korupsi, sebaliknya justru akan mempunyai niat yang sangat kuat untuk menghindari korupsi

Kualitas hubungan manusia dengan tuhannya sebagai kekuatan yang diyakini manusia lebih berkuaasa ats segala sesuatu , membentuk manusia yang taat (menjaga diri) pada aturan tuhannya , ikhlas dalam menjalani hidup,dan menyerahkan hasil atau usaha maksimalnya kepada tuhan.

Niat anti korupsi semakin kuat bagi mereka yang ingat pada tuhannya, ia tidak ingin urusan dunia merusak perjanjian dengan tuhannya dan akan menjadi bebasn bagi kehidupan setelah dunia, ketika niat sudah menjadi dan terpatri untuk anti korupsi dan berusaha membangun integritras diri, keluarga, organisasi masyarakatdan bangsa semakin menguat berubah menjadi energi yang selalu menyemangati dan membuat komitmen untuk bergerak memberantas korupsi.

Korupsi adalah kejahatan luar biasa, tentunya memberantasnya membutuhkan semangat yang luar biasa, semangat yang tak perna berhenti karena berasal dari energi yang tak terbatas, energi yang hadir pada orang-orang yang mampu mengintegrasikan raga,rasio,ruh dan rasa dalam satu fokus pengabdian sehinggah mereka selalu memgisi waktunya dengan belajar, bekerja,cinta dan pewarisan.dampaknya mereka tidak akan perna kehabisan energi untuk selalu bersemangat.

PNS yang selalu ingat akan selalu mempunyai niat yang baik dan hal tersebut menjadi energi kuat untuk selalu semagatdan jika spritual accountability suda menyala didalam hati maka dalam diri anda sudah tersedia panca indera (modality), jika diasah lebih jauh bagian internal akan dilengkapi dengan indera keenam,sehinggah akan terhindar karna spritual accountability merupakan landasan yang menjadi radar kemana hal tersebut akan diarahkan bahkan Stephen L Carter mengatakan integritas merupakan upaya positif terkait korupsi

A.Niat

Sala satu bagian terpenting untuk mulai melakukan upaya pencegahan korupsi adalah dimulai dari setiap pribadi manusia di mulai dari Niat Kata Niat dalam bahasa Arab berarti mengingini sesuatu dan bertekad hati untuk mendapatkannya. Dalam ajaran islam niat merupakan hal utama apabila seseorang akan melakukan pekerjaan atau aktifitas, terlebih aktivitas yang berhubungan yang bernilai ibadah.

Segala keberadaan di alam semesta ini terbentuk dari satu kekuatan, itulah kekuatan niat. Tanpa adanya niat maka tak akan ada keberadaan. Niat adalah sebuah potensi yang dapat menggerakkan dan mewujudkan apapun yang kita inginkan, entah itu adalah cita-cita, kekayaan, hubungan yang harmonis, kedamaian bahkan niat perlawanan terhadap korupsi.
Imam Ibnul Qayyim berkata, ”Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun