"Tidak, Rid. Aku hanya sahabatmu. Aku tidak ingin kau terjerumus. Keras hati itu seperti tembok. Semakin lama, semakin sulit ditembus nasihat."
Farid terdiam, tetapi hatinya menolak. Ia marah dan pergi meninggalkan Yusuf.
---
Hari demi hari, hidup Farid terasa hampa. Ia mendapat banyak pujian dari orang-orang, tapi batinnya gelisah. Tidurnya tidak tenang. Saat mendengar azan, ia merasa berat melangkah.
Suatu malam, ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia berada di padang luas, sendirian. Gelap menyelimuti. Tiba-tiba terdengar suara lantang:
"Mana amalmu yang ikhlas, Farid?"
Ia berusaha menjawab, tetapi lidahnya kelu. Ia melihat semua amalnya hancur seperti debu. Ia terbangun dengan keringat dingin, dada berdebar hebat.
---
Keesokan harinya, ia mencari Yusuf. Dengan wajah pucat, ia berkata lirih, "Yusuf, aku takut. Semalam aku bermimpi amal-amalku sia-sia. Aku sadar, selama ini aku hanya mengejar pujian manusia."
Yusuf menatapnya dengan mata berkaca. "Syukurlah, Rid. Itu tanda Allah masih sayang padamu. Jangan biarkan hatimu keras. Mintalah ampunan-Nya. Rasulullah bersabda, 'Tidaklah seseorang bertaubat, melainkan Allah akan menerimanya selama ruh belum sampai ke tenggorokan.'"
Farid meneteskan air mata. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia menangis bukan karena kehilangan pujian, tetapi karena takut kehilangan rahmat Allah.