Topeng di Balik Senyum
Mentari sore menyapa lembut desa kecil bernama Al-Mawaddah. Dari kejauhan, tampak Masjid Jami' berdiri tenang. Jamaah mulai berdatangan untuk shalat Magrib. Di antara mereka, ada seorang pemuda bernama Farid. Dari luar, ia tampak alim: sorban putih melilit, jubah rapi, dan senyum ramah yang selalu ia tebarkan. Orang-orang memujinya sebagai teladan.
Namun, di balik itu, Farid menyimpan rahasia. Ia rajin datang ke masjid bukan semata karena Allah, melainkan karena ingin dipuji. Saat jamaah memandangnya dengan kagum, hatinya terasa puas. Ia sering berkata manis, tetapi tindakannya berbeda.
---
Di warung kopi malam itu, ia duduk bersama sahabat lamanya, Yusuf.
"Rid, kau hebat sekali. Setiap hari aku lihat kau di masjid. Pasti hatimu sangat tenang," kata Yusuf sambil menyeruput kopi.
Farid tersenyum, lalu menjawab, "Tentu saja. Shalat itu kan tiang agama. Tanpa shalat, hidup kita hancur."
Namun, Yusuf diam-diam tahu, Farid sering berbohong. Ia pernah melihat Farid bersumpah palsu dalam urusan dagang. Hatinya bimbang, tetapi ia tak ingin langsung menghakimi.
---
Beberapa hari kemudian, Yusuf memberanikan diri mengajak Farid ke majelis taklim.
"Rid, malam Jumat nanti ada kajian tentang penyakit hati. Ustaz akan membahas nifak dan keras hati. Ayo kita ikut."
Farid mengernyit. "Ah, kau saja. Aku sudah sering dengar itu. Lagi pula, orang-orang sudah tahu aku rajin ibadah. Apa gunanya lagi?"
"Ilmu tidak pernah habis, Rid. Kadang kita merasa aman, padahal justru di situlah kita terjebak," ucap Yusuf hati-hati.
Farid tertawa kecil. "Kau terlalu serius. Santai saja. Lagipula, aku sudah cukup baik."
---
Malam Jumat tiba. Masjid dipenuhi jamaah. Yusuf datang, tetapi Farid tidak tampak. Ustaz Karim mulai berceramah:
"Saudaraku, hati yang keras adalah musibah. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 8--10, bahwa ada orang yang berkata beriman padahal hatinya kafir. Mereka itulah orang-orang munafik. Munafik bukan hanya di zaman Nabi, tapi juga bisa menjangkiti kita. Mereka tampak indah di luar, tetapi hatinya kosong dari iman."
Yusuf menunduk, merenungi kata-kata itu. Ia merasa sahabatnya, Farid, sedang berada di jalan berbahaya.
---
Keesokan harinya, Yusuf menemui Farid.
"Rid, aku takut padamu. Aku khawatir kau jatuh pada penyakit nifak. Nabi bersabda, 'Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila dipercaya ia berkhianat.' (HR. Bukhari-Muslim). Aku lihat sebagian tanda itu ada padamu."
Farid menatapnya tajam. "Kau menuduhku munafik? Kau pikir dirimu lebih baik?"
"Tidak, Rid. Aku hanya sahabatmu. Aku tidak ingin kau terjerumus. Keras hati itu seperti tembok. Semakin lama, semakin sulit ditembus nasihat."
Farid terdiam, tetapi hatinya menolak. Ia marah dan pergi meninggalkan Yusuf.
---
Hari demi hari, hidup Farid terasa hampa. Ia mendapat banyak pujian dari orang-orang, tapi batinnya gelisah. Tidurnya tidak tenang. Saat mendengar azan, ia merasa berat melangkah.
Suatu malam, ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia berada di padang luas, sendirian. Gelap menyelimuti. Tiba-tiba terdengar suara lantang:
"Mana amalmu yang ikhlas, Farid?"
Ia berusaha menjawab, tetapi lidahnya kelu. Ia melihat semua amalnya hancur seperti debu. Ia terbangun dengan keringat dingin, dada berdebar hebat.
---
Keesokan harinya, ia mencari Yusuf. Dengan wajah pucat, ia berkata lirih, "Yusuf, aku takut. Semalam aku bermimpi amal-amalku sia-sia. Aku sadar, selama ini aku hanya mengejar pujian manusia."
Yusuf menatapnya dengan mata berkaca. "Syukurlah, Rid. Itu tanda Allah masih sayang padamu. Jangan biarkan hatimu keras. Mintalah ampunan-Nya. Rasulullah bersabda, 'Tidaklah seseorang bertaubat, melainkan Allah akan menerimanya selama ruh belum sampai ke tenggorokan.'"
Farid meneteskan air mata. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia menangis bukan karena kehilangan pujian, tetapi karena takut kehilangan rahmat Allah.
Malam itu, ia kembali ke masjid. Namun kali ini, tidak ada senyum penuh pencitraan. Hanya wajah yang basah oleh air mata, dan sujud panjang seorang hamba yang menanggalkan topengnya.
---
Amanat:
Nifak dan keras hati adalah penyakit berbahaya yang bisa menimpa siapa saja. Janganlah kita mencari pujian manusia dalam ibadah. Keikhlasan adalah kunci agar amal diterima. Hati harus selalu dilembutkan dengan taubat, zikir, dan ilmu, agar tidak menjadi keras hingga menolak kebenaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI