Mohon tunggu...
Silla Agustin
Silla Agustin Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Penulis/Juara lomba cerpen/SMA Negeri 1 Pandaan

Aku tidak sebaik kamu, pun dengan tulisanku. "Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu." _Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Anemia

31 Desember 2023   13:58 Diperbarui: 31 Desember 2023   15:13 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semburat jingga melukis langit di kala sore itu. Menandakan bahwa sebentar Iagi, sang dewi malam akan datang menyapa. Sementara gadis bermata bulat dengan gamis semata kaki tengah melirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangannya, ia menatap nanar ke arah luar jendela mengamati kendaraan yang saling berkejaran. Namun, daun bibirnya tak henti merapal zikir kepada Sang Pencipta. Meski tidak dapat terelakkan, itu semua hanyalah pelarian semata dari rasa cemas yang saat ini tiba-tiba datang mendera. Jaket rajut berwarna abu muda menyelimuti tubuhnya, menjadi penghangat dikala dingin menyapa. Sementara, wajahnya terlihat begitu pucat pasi tak seperti biasanya. Di bawah pelupuk matanya, terdapat lingkar cokelat tua. Saat ini, ia hanya bisa menghela napas yang kian menyesakkan. Entah apa yang ia pikirkan dan tengah ia alami, gadis itu enggan membagi cerita dengan yang lain.

Kembali, ia menghela napas berat, rasa cemas itu kembali mendekap hatinya. Bagaimana tidak, seharusnya sebelum azan magrib berkumandang ia harus sampai di rumah. Namun, meskipun sudah tiga jam lebih kendaraan beroda empat itu melaju, nyatanya ia tak kunjung sampai. Alhasil, kemungkinan besar ia akan sampai selepas magrib. Ah, tak sepantasnya ia menggerutu dalam hati seperti ini. Semua itu juga ada alasannya. Benar, karena tadi jalanan sangat padat dan ia terjebak macet.

la memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke kursi taksi. Entah mengapa, pusing yang ia derita sejak beberapa jam yang lalu tak kunjung hirap. Tubuhnya terasa lemas. Pandangannya mendadak buram sebab kepalanya yang berdenyut nyeri. Setelah beberapa menit kemudian, kesadarannya benar-benar temaram bersamaan dengan suara klakson yang menggema. 

"Neng, bangun sudah sampai." Telapak tangan yang menepuk bahunya pelan membuat gadis itu tersadar dari tidurnya. Ah, perasaan baru beberapa detik ia memejamkan mata, ternyata sudah sampai saja. Secepat itu 'kah?

la mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba untuk menetralkan pandangannya yang buram. Ah, pusing itu. la sangat membenci sensasi rasa sakit di kepalanya disertai dengan benda sekitar yang seperti berputar-putar. Tidak, ia jadi teringat naik komedi putar saja. Huhf!

"Ah, maaf Pak, saya tadi ketiduran. Ini uangnya, terima kasih." Supir taksi itu menanggapi perkataannya dengan menganggukkan kepala dan tersenyum simpul. Setelah mengucapkan ijab qabul dan taksi itu tak Iagi terlihat oleh manik indahnya, gadis itu terlihat berjalan tertatih-tatih dengan memegangi pelipis. Apakah sesakit itu? Bahkan wajahnya nampak begitu pucat. Kendati demikian, ia berpikir bahwa dirinya terlalu stres akibat tugas kuliah dan serta target pengumpulan skripsi. Acapkali ia yang dihantui dengan sidang skripsi menjadi momok di kala malam telah menelan indahnya senja


la berdiri tepat di ambang pintu rumahnya. Entah, ia tak memikirkan penampilannya seperti apa, kini yang menjadi fokus utamanya adalah rasa sakit ini semakin menjadi-jadi. Perlahan, ketukan pintu terdengar hingga dalam rumah, membuat sang tuan melangkah membukakan pintu. Dari balik daun pintu, terlihat sesosok wanita paruh baya yang mengenakan gamis semata kaki dipadukan hij ab instan berwarna hitam. Kerutan di wajah akibat termakan usia tidak memudarkan sedikitpun kecantikannya.

"Dewi, Nak. Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?" Wanita itu menodong anak gadisnya dengan sepucuk pertanyaan. Namun, bukan jawaban yang didapat melainkan senyum tipis. Tidak, lebih tepatnya ia meringis kesakitan.

Menyadari wajah putri semata wayangnya yang nampak pucat pasi dan napasnya yang mulai tersengal-sengal, Umi Maryam--ibu Dewi memegang dahi putrinya. Wajarlah, naluri beliau terbawa karena naluri keibuannya begitu kuat. Beliau sangat peka dan sensitif terhadap apa yang dihadapi dan dialami malaikat kecilnya yang kini telah beranjak dewasa. 

"Kamu sakit?" Dewi menggelengkan kepala secepat kilat. Tidak, dia berbohong. Sebenarnya saat ini Dewi tengah menahan rasa sakit yang mendekap erat kepalanya. Sakit, sungguh sakit. Sampai-sampai rasanya kepala itu hendak pecah. Jika ia mau, Dewi ingin menangis dan menumpahkan rasa sakit ini dalam pelukan bidadari tak bersayapnya. Namun, tidak mungkin karena Dewi bukan tipe anak seperti itu. la lebih baik menyembunyikan sakit, duka, luka, dan air mata daripada melihat orang tuanya ikut cemas karena hal sepele yang tak begitu penting.

"Benar, ya? Dewi tidak berbohong 'kan sama umi?" Gadis lugu itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Umi Maryam menghela napas berat dan sedikit memiringkan kepala. "Ya sudah, kalau begitu masuk ganti bajumu dan turun makan. Bunda sudah buatkan sup daging kesukaanmu." Lagi dan Iagi Dewi hanya bisa menanggapinya dengan menganggukkan kepala. Sakit itu membuat Dewi tak mampu mengeluarkan sepatah kata. Membisu.

Gadis bermata bening itu masuk dengan memegang erat bahu sang ibu. Umi Maryam hanya melirik, menatap ekspresi putrinya. Sedetik kemudian, pandangan Dewi buram, yang terakhir ia lihat adalah wajah ayu samar-samar uminya dengan benda yang berputar-putar. Teriakan histeris dari Umi Maryam 'lah yang terakhir kali gadis itu dengar. Setelah itu, ia tak ingat apa-apa dan tidak tahu apa yang terjadi padanya.

"Abi!" Derai tangis jatuh menetes demi tetes pada pipi Umi Maryam, jantungnya berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya. la terperanjat sedikit terkejut mendapati putrinya mendadak pingsan, tersungkur ke lantai tanpa diketahui sebabnya. Wanita paruh baya itu tak putus asa, berusaha keras untuk menyadarkan Dewi dengan menepuk pelan pipi putrinya. Tak lama, Abi Hamka--ayah Dewi datang menghampiri istrinya yang tengah terduduk dengan memangku kepala malaikatnya yang terlihat tergeletak lemas tak sadarkan diri. 

"Astagfirullahalazim, apa yang terjadi pada Dewi Umi?" Umi Maryam hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan suara tangis yang tak kunjung mereda. Suasana saat itu tiba-tiba menegang. Melihat putrinya yang lemas tak berdaya spontan membuat Abi Hamka langsung menggendong dan membawanya menuju mobil. Benar, pria paruh baya itu memutuskan untuk membawa Dewi ke rumah sakit terdekat. la tak ingin terjadi hal buruk kepada satu-satunya sumber kebahagiaan.

Telapak tangan dengan cincin emas yang melingkar di jari manis tak hentinya menggenggam erat telapak tangan Dewi. Bibir wanita itu selalu dibasahi dengan doa dan zikir. Meminta pertolongan pada Sang Khaliq. Bibirnya mulai gemetar, isak pilu itu masih tetap terdengar kentara. la kembali tergugu. Mobil pajero hitam melaju dengan kecepatan tinggi membelah lautan kendaraan yang saling berkejaran. Suara klakson memekakkan telinga pengendara yang melintasi jalanan tersebut. Abi Hamka tak memikirkan apapun kecuali satu, keselamatan putrinya.

"Abi ... apakah Dewi akan baik-baik saja?"

"Hamasah, Umi." Manik Abi Hamka berkaca-kaca, suaranya tercekat di tenggorokan. Satu persatu pikiran buruk hinggap membuatnya semakin cemas.

Tak jauh beberapa kilometer dari posisi mobil pajero saat ini, terlihat bangunan tua besar yang menjulang tinggi. Sedikit Iagi, mereka akan sampai pada tujuan. Beberapa menit kemudian, mobil pajero tersebut berhenti tak jauh dari ruangan yang bertuliskan UGD. Beberapa suster keluar dengan membawa hospital bed. Abi Hamka membaringkan putrinya di atas hospital bed tersebut. Mereka mulai masuk ke dalam. Rombongan yang mendorong hospital bed milik Dewi membelah lautan manusia yang tak ada habisnya lalu lalang keluar masuk rumah sakit. Memang, bangunan tua itu tak pernah sepi dari pengunjung. Setelah itu Dewi mulai mendapatkan perawatan intensif dari dokter dan beberapa susteryang terlebih dahulu menangani gadis malang itu.

"Ibu dan Bapak silakan untuk menunggu di luar," titah seorang suster yang begitu lembut.

"Tapi Sus--"

"Umi." Abi Hamka menahan Umi Maryam agar tidak terbawa suasana. la menghentikan aktivitas istrinya sejenak. Wanita paruh baya itu meremas erat kedua telapak tangannya, tiada henti Umi Maryam menangis setiap menit dan detiknya.

Pria itu membawa Umi Maryam untuk duduk di kursi yang telah tersedia. "Abi, apakah--apakah putri kita akan baik-baik saja?"

Abi Hamka tak kuasa melihat kondisi istrinya, oh Allah melihat Umi Maryam yang terus bercucuran air mata membuat Abi Hamka ikut meneteskan air mata. Tidak, ia harus terlihat tegar dan baik-baik saja di depan istrinya. Abi Hamka mengelas kasar jejak air matanya. Di detik yang sama ia membawa Umi Maryam ke dalam dekapannya.

"Hamasah, Umi. In syaa Allah putri kita baik-baik saja. Dia 'kan wanita yang kuat, masa iya seperti itu saja ia tidak bisa melaluinya." Apa pun ia katakan demi bisa menenangkan Umi Maryam.

"Serahkan semuanya kepada Allah ... ya." Lirihnya yang diakhir kalimat sedikit menggantung. Abi Hamka menepuk-nepuk pelan lengan Umi Maryam. Oh Allah, jika bisa ia ingin menggantikan posisi putrinya. Biar ia saja yang merasakan rasa sakit itu, jangan pada Dewi. Melihatnya terbaring tak berdaya dengan selang infus yang melekat pada punggung telapak tangannya membuat hati Abi Hamka tersayat-sayat ribuan silet.

"Umi takut jika--"

Abi Hamka memangkas cepat perkataan istrinya, ia tak ingin kalimat yang baru saja akan diutarakan sampai terujar. la membungkam pelan mulut Umi Maryam, semenit kemudian pria itu menggelengkan kepala. Isyarat bahwa ia tak ingin mendengarkan kalimat tersebut.

"Apakah Umi ragu akan kuasa Allah?" Di detik yang sama Abi Hamka menjatuhkan telapak tangannya. Wanita paruh baya itu membisu, seakan-akan kamus yang ada pada otaknya telah hirap. Bibirnya kelu dan mendadak lidahnya kaku.

"Berdoalah dan memohon pertolongan kepada Allah, apakah Umi lupa jika ketika kamu lelah dan seakan ingin menyerah, ketahuilah Umi ... sesungguhnya pertolongan Allah hanya berjarak antara kening dan sajadah." Telak. Yang baru saja dikatakan suaminya memang ada benarnya. Seharusnya ia tak perlu risau dan khawatir. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, Allah yang memberi sakit pasti Allah pula yang akan memberikan obatnya. Jika ia seperti ini terus itu sama saja dengan dirinya telah meragukan kuasa Allah azza wa jalla.

Tak berselang lama, dari balik pintu ruangan UGD terlihat seorang pria paruh baya dengan jas putih serta beberapa asisten di belakangnya keluar.

"Keluarga pasien dengan nama Dewi?" Suara bariton yang berasal dari dokter itu memecah keheningan.

Wanita paruh baya itu beranjak dari duduknya dan menghampiri dokter tersebut. Mereka hanya terhalang jarak beberapa sentimeter saja. "Iya, Dokter. Saya uminya, bagaimana keadaan putri saya, Dok? Apakah baik-baik saja? Apakah sakitnya serius, Dok?" pertanyaan yang penuh harap dari sang rahim kehidupan berubah dengan hujan pertanyaan. Dokter itu ditodong dengan beribu pertanyaan.

"Umi." Suara pria paruh baya yang berdiri tak jauh darinya berusaha menenangkan istrinya. Telapak tangan yang memegang bahu Umi Maryam membuatnya membatu.

"Maaf, Dok. Istri saya terlalu khawatir akan kondisi putrinya." Dokter itu memasang raut wajah yang ramah. Ah, bukankah seharusnya seperti itu?

Sebelum menj awab, dokter itu tersenyum simpul dan sedikit terkekeh. "Tidak apa-apa, Pak. Wajar jika orang tua khawatir berlebihan kalau sudah menyangkut buah hati mereka. Terlebih lagi seorang ibu, karena adanya ikatan batin yang begitu kuat antara ibu dan anak."

Abi Hamka bernapas lega. Syukurlah jika pria itu dapat memalduminya. Namun, masih menjadi tanda tanya dan misteri tentang kondisi putrinya. Bagaimana tidak, dokter itu tak kunjung memberi jawaban. Ah tidak, bagaimana bisa menjawab jika pertanyaannya dialihkan pada pembahasan yang Iainnya. "Jadi ... bagaimana kondisi putri saya, Dok?"

"Pasien hanya terkena darah rendah saja. Kondisinya saat ini berangsur-angsur membaik." Umi Maryam bisa bernapas lega dan melepas ketegangan suasana sekarang.

"Tapi bagaimana bisa putri saya terkena darah rendah, Dok?" tanyanya.

"Jadi jika kebanyakan orang tahunya kalau darah rendah hanya dialami oleh orang tua saja, tetapi juga bisa dialami oleh remaja. Gejala pada masa remaja tidak boleh diabaikan karena bisa mempengaruhi aktivitas, produktivitas, serta kualitas hidup penderita."

"Hipotensi atau kaum awam menyebutnya dengan sebutan darah rendah terbagi menjadi tiga tipe, yaitu Hipotensi yang diperantarai saraf dapat terjadi ketika ada interaksi refleks yang tidak normal antara jantung dan Otak. Hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh hal-hal di luar penyakit. Contohnya termasuk dehidrasi, berdiri terlalu cepat, efek samping obat, atau penuaan. Terakhir hipotensi berat, hipotensi ini berhubungan dengan syok."

"Adapun beberapa gejala darah rendah di antaranya, yaitu pusing. Pusing di sini dapat diartikan sebagai sensasi seakan-akan seseorang merasa sekelilingnya atau dirinya sendri berputar atau bergerak. Hal tersebut disertai dengan lemah, pening dan tubuh yang tak seimbang. Kedua pandangan buram, ketika tekanan darah menurun suplai nutrisi dan oksigen juga akan berkurang. Hal inilah yang menyebabkan pandangan menjadi kabur. Ketiga mual, menurunnya tekanan darah bisa menyebabkan menurunnya aliran darah jantung yang membuat detak jantung menjadi tidak teratur. Hal inilah yang memicu timbulnya sensasi mual. Keempat mudah lelah, menurunnya tekanan darah membuat organ-organ tubuh tidak menerima aliran darah sebanyak yang seharusnya. Kondisi ini membuat remaja akan terlihat kurang bersemangat, lesu, dan lemas."

"Yang terakhir pingsan, ketika terjadi penurunan darah secara tiba-tiba, jantung tidak bisa memompa darah dengan semestinya ke seluruh organ tubuh, termasuk ke otak. Suplai darah yang kurang menyebabkan penderita menjadi kehilangan kesadaran sementara. Selain kelima gejala di atas, gejala darah rendah pada remaja lainnya bisa berupa kesulitan konsentrasi, tidak enak badan, dan kebingungan, bahkan hipotensi juga dapat mempengaruhi fungsi kognitif seorang. Pada remaja yang mengalami hipotensi ekstrem, gejala yang dialami dapat berupa kedinginan atau kulit terasa dingin, pucat, napas cepat dan pendek, serta denyut nadi yang lemah." Penjelasan panjang lebar yang disampaikan dokter membuat mereka berdua terketuk. Seacuh itukah mereka hingga tidak sadar jika selama ini putrinya menderita darah rendah. Lantas, mengapa Dewi tidak mengatakan kepada orang tuanya?

"Tapi hipotensi bisa diobati Pak, Bu. Kalian jangan khawatir." Akhirnya, kembali mereka berdua dapat bernapas dengan lega.

"Bagaimana, Dok?" tanya Umi Maryam antusias.

"Meningkatkan volume darah. Metode ini, juga dikenal sebagai resusitasi cairan, dilakukan dengan memasukkan cairan ke dalam darah. Kedua,

Membuat pembuluh darah menyempit. Kedua dengan obat-obatan tertentu, yang membuat pembuluh darah di tubuh lebih sempit, sehingga tekanan darah bisa meningkat. Ketiga, Mengubah cara tubuh menangani cairan. Obat-obatan tertentu dapat membuat ginjal menyimpan cairan dan garam dalam tubuh, yang dapat membantu dengan tekanan darah rendah".

"Dengan demikian tentunya kita tidak mau terkena darah rendah bukan? Nah, hal tersebut bisa dicegah dengan cara membatasi konsumsi alkohol dan minum air putih yang banyak. Mengubah pola makan dengan mengonsumsi makanan dalam porsi kecil lebih baik dibandingkan mengonsumsi makanan dalam porsi besar dengan frekuensi lebih jarang. Tidak berdiri terlalu lama terutama bagi pengidap hipotensi ortostatik, bila ingin berdiri dari posisi duduk atau berbaring, bisa dilakukan secara perlahan-lahan. Waspadai efek obat-obatan. Jika mengonsumsi obat yang mungkin menyebabkan efek samping hipotensi, dokter tersebut bisa mengubah dosis obat tersebut atau memberikan alternatif lain."

Umi Maryam menghela napas, memejamkan mata seraya menitihkan air mata. Abi Hamka kembali membawa tubuh mungil istri tercinta dalam dekapannya. Di detik yang bersamaan, telapak tangan hangat itu mengelus pelan bahu Umi Maryam. Berusaha keras membuat separuh jiwanya untuk kembali tenang. Syukurlah, yang terpenting jiwa Umi Maryam tidak sampai terguncang. Terguncang? Atas sebab apa?

"Dokter apakah kami boleh masuk melihat kondisi putri kami?" Raut wajah yang mulai kendor serta jenggot putih memasangkan wajah memelas. Matanya sembab serta hidungnya yang memerah akibat terlalu lama menangis.

Sebelum menj awab, dokter itu menganggukkan kepala sebagai isyarat disetujuinya permintaan Abi Hamka. Tak lama, senyum itu kembali terbit. Senyum manis yang selalu diharapkan ribuan keluarga pasien setiap keluar ruangan selepas menangani pasien.

"Boleh, silakan." 

"Kalau begitu saya permisi dulu. Mari Pak, Bu." Umi Maryam dan Abi Hamka mengangguk, setelah siluet dokter tersebut tak dapat lagi ditangkap oleh netra mereka berdua, pasangan suami istri itu bergegas masuk. Umi Maryam mengamit pergelangan tangan sang suami, menyeret pelan.

Langkahnya terhenti tatkala wanita paruh baya itu menangkap sesosok gadis bermata bulat yang terbaring dengan selang infus yang melekat pada punggung telapak tangannya. Sumber kebahagiaan Dewi mulai kembali melangkah, tanpa ia sadari Umi Maryam mendudukkan pantatnya pada kursi yang telah tersedia.

Jemarinya yang gemetar mulai meraih telapak tangan Dewi yang terasa begitu dingin, netranya tak kunjung membelalak. Oh Allah, dada Umi Maryam terasa begitu sesak. Atmosfer terasa begitu sempit sehingga oksigen yang melayang di udara tak mampu meredakan sesak yang menderanya.

"Bagunlah, Dewi. Apakah kamu tega melihat umi sedari tadi terisak mengkhawatirkan kondisimu, Nak?" Abi Hamka yang berdiri di sebelah kiri Dewi membelai puncak kepala putrinya, wajah gadis itu tak sepucat semula. Terlihat cairan yang berada pada sebuah kantung tergantung hanya tinggal setengah. Abi Hamka tak henti melangitkan doa, memohon pada Sang Khaliq agar malaikat kecil yang kini telah beranjak dewasa segera pulih seperti semula. Canda tawa yang mengalun di telinganya sangat ia rindukan. Siapapun, beritahu Dewi untuk segera siuman, Abi Hamka dan Umi Maryam di sini sangat merindukan serta mengkhawatirkannya.

Pria paruh baya itu menundukkan kepala. Tidak, lebih tepatnya ia ingin menyembunyikan isak pilu itu dari Umi Maryam. Di detik kedua, jemari telunjuk Dewi perlahan mulai bergerak, pun dengan kelopak matanya yang mulai mengerjap Menyesuaikan dengan cahaya di sekitarnya. Ruangan putih dengan bau khas obat-obatan, gorden biru serta kedua orang tuanya yang duduk tak jauh dari posisinya saat ini membuat Dewi semakin bingung. Segudang pertanyaan bersarang di benaknya. Terlebih lagi pusing yang membuat Dewi tak berdaya hanya bisa memejamkan mata. Syukurlah, setidaknya rasa sakit itu mulai berkurang. Akan tetapi saat ia mengangkat tangan kanannya dan mengambang di udara, ia mendapati selang infus yang menempel lengkap dengan selang oksigen di hidungnya.

"Dewi. Alhamdulillah, syukurlah kamu sudah sadar, Nak." Umi Maryam merapalkan hamdalah ketika sadar jika putrinya telah siuman. Suara Umi Maryam membuat Abi Hamka mendongak cepat. Terpancar raut wajah bahagia dari pria paruh baya itu tatkala mendapati putrinya yang perlahan siuman.

"Dewi, apakah masih pusing, Nak?" Mengangguk lemah. Hanya itu yang bisa Dewi lakukan.

"Biar abi panggilkan Dokter ya, Sayang. Abi takut--" Dewi mengamit cepat lengan abinya saat pria itu akan melangkah meninggalkannya. Semenit kemudian, ia menggeleng dengan kelopak mata yang terpejam sejenak.

"Jangan tinggalkan Dewi Abi, saya mohon." Telak. Hati Abi Hamka terenyuh. Suara itu begitu lirih, cairan bening yang jatuh dari pelupuk Dewi bak berlian itu sangat berharga. Walau hanya setetes yang menetes dari pelupuknya dapat membuat hati pria itu tersayat. Seperti terhipnotis, Abi Hamka menuruti permintaan putrinya dan kembali duduk seperti posisi semula, tak berubah.

"Dewi kenapa tidak bilang jika tidak enak badan? Kenapa memaksakan diri untuk kuliah, Nak? Apakah kamu tidak tahu betapa khawatirnya kami saat kamu tak sadarkan diri?" Wanita paruh baya itu mencurahkan semua keluh yang beberapa jam lalu ia simpan rapat. Bukan cerewet tanpa alasan, tetapi bagi mereka Dewi adalah harta yang paling berharga.

"Kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu ... abi tidak akan memaafkan--"

"Dewi baik-baik saja Abi ... Umi." Dewi memotong kalimat yang tak rampung milik Abi Hamka secepat kilat walau suara itu tak selantang biasanya.

Terbata-bata, Iemas, pusing itulah yang saat sekarang Dewi rasakan.

"Kata Dokter, kalau hari ini Dewi membaik diperbolehkan pulang." Senyum simpul terbit dari bibir merah mudanya. Dewi mengangguk dan sesaat kemudian kembali terpejam, gadis itu memutuskan untuk kembali beristirahat. Rasa kantuk itu tak lagi bisa terelakkan.

Keryitan suara pintu ruang UGD membuat atensi abi dan umi teralihkan. Mereka menangkap sesosok dokter yang menangani Dewi masuk dengan membawa beberapa peralatan seperti tensi darah, stetoskop, dan Iain sebagainya. Pria itu disambut hangat oleh abi dan umi, begitu pula dengannya. Tak lupa senyum manis ia layangkan kepada pasangan suami istri yang tengah menj aga buah hatinya.

Atensinya tertuju pada infus Dewi. Kemudian ia mulai mengeluarkan peralatan medisnya. Pertama yang dipantau adalah kondisi vital dari pasien. Satu persatu telah dilakukan hingga dokter itu kembali menjelaskan bahwa kondisi Dewi berangsur-angsur membaik.

"Bagaimana, Dok?" Dokter itu membalikkan badan seraya memasukkan peralatan medisnya ke dalam tas selempang hitam miliknya.

"Alhamdulillah, kondisi pasien berangsur-angsur membaik. Hanya saja tekanan darahnya kurang dari sembilan puluh." Mereka merapalkan hamdalah dengan begitu kompak. Antara senang dan diliputi rasa takut. Mengapa tidak. Terutama Umi Maryam terlalu cemas dan risau.

"Tidak apa-apa, jika pasien kuat tidak pusing lagi. Hari ini boleh pulang." Tawaran itu begitu menggiurkan bukan? Siapa juga yang mau terlalu lama terbaring di ruangan sempit ini.

"Hanya pusing sedikit Dokter, Dewi mau pulang sekarang saja," jawabnya.

"Nak ... benar kamu mau pulang sekarang? Abi takut--"

"Dewi baik-baik saja, Abi ... Percayalah." Lagi dan lagi gadis itu memangkas perkataan sang abi. Ia tahu bahwa ini tidak sopan dan tak patut jadi contoh bagi yang lain. Namun, ia tidak ingin menghabiskan waktunya di ruangan sepetak yang sempit sehingga ia tak leluasa bisa melakukan aktivitas lainnya. Abi Hamka menghela napas berat. Sekarang ia tak bisa berkata-kata lagi jika ini sudah menjadi keinginan sekaligus keputusan mutlak Dewi.

"Tapi apakah perlu dilakukan tes darah dan beberapa tes lainnya, Dok?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Tidak perlu, Pak. Nanti akan saya berikan resep obat dan suplemen penambah darah. Nanti diminumnya tiga kali seminggu saja sudah cukup."

"Ini benar pasien sudah boleh pulang, Dok?" tanya Umi Maryam sekali lagi meyakinkan.

"Sudah, Bu. Pasien sudah boleh pulang," jawabnya yang membuat Umi Maryam tersenyum bahagia. Rasanya wanita paruh baya itu ingin loncat di atas kasur, berteriak, terbang, dan mengumumkan bahwa putrinya sudah pulih seperti semula.

"Nanti di rumah perbanyak minum air putih, konsumsi makanan dan minuman mengandung gula, hindari berdiri terlalu lama, hindari gerakan mendadak, hindari minuman alkohol, konsumsi garam, dan perhatikan pola makan."

"Tidak hanya itu, sebisa mungkin untuk mengurangi mengonsumsi kafein, seledri, bayam, gorengan, dan makanan pedas. Boleh makan, tapi jangan berlebihan. Karena segala yang berlebihan itu tidak baik 'kan Pak, Bu?" Abi dan umi terkekeh mendengar penuturan dan wejangan dari dokter. Sungguh, dokter itu sangatlah ramah dan sabar. Ia mau menjelaskan secara detail kepada orang tua pasien mulai dari pengertian darah rendah sampai cara pencegahan dan lain sebagainya.

Setelah itu pria berjas putih keluar ruangan yang hanya menyisakan Dewi dan kedua orang tuanya. Tak lama datanglah seorang suster yang bertugas untuk melepaskan infus Dewi. Begitu pula Abi Hamka yang berlalu pergi untuk menebus obat yang telah diresepkan oleh dokter.

Semua ketegangan telah berakhir, pun dengan kondisi Dewi. Wajahnya tak sepucat awal saat ia dilarikan ke rumah sakit. Pusing yang mendiami kepalanya pun sedikit demi sedikit mulai mereda. Dari sini, Dewi dan orang tuanya dapat memetik sebuah hikmah besar dari kejadian hari ini. Di mana ujian ini datang dari Allah. Bagaimanapun juga semuanya adalah qada dan qadar Allah sejak azali. Sebesar apapun ujian itu, satu hal yang nyata, yaitu Allah akan bersama orang-orang yang sabar. Bukankah janji Allah itu nyata adanya? Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Manusia diuji oleh dua perkara, nikmat dan musibah. Apabila diberi nikmat maka harus perbanyak bersyukur dan apabila ditimpa musibah haruslah banyak bersabar. Jika Allah memberi sakit, maka Allah pula yang akan memberikan obatnya. Jika Allah memberi sebuah masalah, maka Allah pula yang akan memberikan jalan. Dari Dewi kita bisa belajar bahwa alangkah baiknya jika kita bisa menjaga kesehatan tubuh bukan? Bisa dengan cara olahraga yang teratur, makan-makanan yang seimbang, tidak bergadang, melakukan konsultasi kepada dokter apabila sakit yang diderita tak kunjung membaik. Setidaknya upaya pencegahan lebih baik daripada mengobati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun