Mohon tunggu...
Silla Agustin
Silla Agustin Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Penulis/Juara lomba cerpen/SMA Negeri 1 Pandaan

Aku tidak sebaik kamu, pun dengan tulisanku. "Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu." _Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Anemia

31 Desember 2023   13:58 Diperbarui: 31 Desember 2023   15:13 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umi Maryam menghela napas berat dan sedikit memiringkan kepala. "Ya sudah, kalau begitu masuk ganti bajumu dan turun makan. Bunda sudah buatkan sup daging kesukaanmu." Lagi dan Iagi Dewi hanya bisa menanggapinya dengan menganggukkan kepala. Sakit itu membuat Dewi tak mampu mengeluarkan sepatah kata. Membisu.

Gadis bermata bening itu masuk dengan memegang erat bahu sang ibu. Umi Maryam hanya melirik, menatap ekspresi putrinya. Sedetik kemudian, pandangan Dewi buram, yang terakhir ia lihat adalah wajah ayu samar-samar uminya dengan benda yang berputar-putar. Teriakan histeris dari Umi Maryam 'lah yang terakhir kali gadis itu dengar. Setelah itu, ia tak ingat apa-apa dan tidak tahu apa yang terjadi padanya.

"Abi!" Derai tangis jatuh menetes demi tetes pada pipi Umi Maryam, jantungnya berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya. la terperanjat sedikit terkejut mendapati putrinya mendadak pingsan, tersungkur ke lantai tanpa diketahui sebabnya. Wanita paruh baya itu tak putus asa, berusaha keras untuk menyadarkan Dewi dengan menepuk pelan pipi putrinya. Tak lama, Abi Hamka--ayah Dewi datang menghampiri istrinya yang tengah terduduk dengan memangku kepala malaikatnya yang terlihat tergeletak lemas tak sadarkan diri. 

"Astagfirullahalazim, apa yang terjadi pada Dewi Umi?" Umi Maryam hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan suara tangis yang tak kunjung mereda. Suasana saat itu tiba-tiba menegang. Melihat putrinya yang lemas tak berdaya spontan membuat Abi Hamka langsung menggendong dan membawanya menuju mobil. Benar, pria paruh baya itu memutuskan untuk membawa Dewi ke rumah sakit terdekat. la tak ingin terjadi hal buruk kepada satu-satunya sumber kebahagiaan.

Telapak tangan dengan cincin emas yang melingkar di jari manis tak hentinya menggenggam erat telapak tangan Dewi. Bibir wanita itu selalu dibasahi dengan doa dan zikir. Meminta pertolongan pada Sang Khaliq. Bibirnya mulai gemetar, isak pilu itu masih tetap terdengar kentara. la kembali tergugu. Mobil pajero hitam melaju dengan kecepatan tinggi membelah lautan kendaraan yang saling berkejaran. Suara klakson memekakkan telinga pengendara yang melintasi jalanan tersebut. Abi Hamka tak memikirkan apapun kecuali satu, keselamatan putrinya.

"Abi ... apakah Dewi akan baik-baik saja?"


"Hamasah, Umi." Manik Abi Hamka berkaca-kaca, suaranya tercekat di tenggorokan. Satu persatu pikiran buruk hinggap membuatnya semakin cemas.

Tak jauh beberapa kilometer dari posisi mobil pajero saat ini, terlihat bangunan tua besar yang menjulang tinggi. Sedikit Iagi, mereka akan sampai pada tujuan. Beberapa menit kemudian, mobil pajero tersebut berhenti tak jauh dari ruangan yang bertuliskan UGD. Beberapa suster keluar dengan membawa hospital bed. Abi Hamka membaringkan putrinya di atas hospital bed tersebut. Mereka mulai masuk ke dalam. Rombongan yang mendorong hospital bed milik Dewi membelah lautan manusia yang tak ada habisnya lalu lalang keluar masuk rumah sakit. Memang, bangunan tua itu tak pernah sepi dari pengunjung. Setelah itu Dewi mulai mendapatkan perawatan intensif dari dokter dan beberapa susteryang terlebih dahulu menangani gadis malang itu.

"Ibu dan Bapak silakan untuk menunggu di luar," titah seorang suster yang begitu lembut.

"Tapi Sus--"

"Umi." Abi Hamka menahan Umi Maryam agar tidak terbawa suasana. la menghentikan aktivitas istrinya sejenak. Wanita paruh baya itu meremas erat kedua telapak tangannya, tiada henti Umi Maryam menangis setiap menit dan detiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun