Mohon tunggu...
Della Anna
Della Anna Mohon Tunggu... Blogger,Photographer,Kolumnis -

Indonesia tanah air beta. Domisili Belanda. Blogger,Photographer, Kolumnis. Berbagi dalam bentuk tulisan dan foto.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Pengakuan

17 Januari 2018   17:17 Diperbarui: 17 Januari 2018   17:27 1156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Cerpen Pengakuan/foto Della Anna

Lama Pras memandang mata Dewi.

''Katakan saja kapan!'' Perintah Pras, sambil kaki kanannya mendorong kerikil batu di depan kakinya.

''Lalu?''

''Kita lihat saja apa kelanjutannya.'' Kembali Pras menegaskan.

Dewi bimbang, tatapan matanya kosong. Telepon digenggamnya berkali-kali bergetar, ada tanda pesan masuk di sana.

''Cepat putuskan, ini sudah pukul tujuh malam!" Pras mengingatkan.

''Kok mrintah terus sih!'' sela Dewi.

Pras menarik mimik wajahnya, mengernyitkan dahi seakan-akan terkejut.

''Siapa? pikir aku tukang printah, ini tentang kejelasan ngerti!'' Sahut Pras.

-

Dua minggu Dewi dan Sam pergi berlibur ke Melbourne. Dua minggu serasa waktu terbang bagaikan angin. Keduanya seperti tak mau berpisah lagi. Kalau perlu tak usah pulang untuk kembali ke alam aktifitas rutin.

Bagi Sam, tiap detik, menit dan jam, pertemuannya dengan Dewi kekasihnya bagai tantangan yang sangat besar. Bahkan mendebarkan melebihi saat ia mempertahankan tesis ketika ia akan menyelesaikan pendidikannya.

Dua tahun ia mengenal Dewi. Sam baru tahu bagaimana beratnya menghadapi tantangan seorang wanita dengan prinsip. Sampai saat ini, Sam belum berhasil menaklukan siapa Dewi.

Banyak wanita dalam kehidupan Sam. Mereka datang dan pergi tanpa mengeluh. Bagi Sam, hidup ini enjoy, mau silahkan, tidak mau biarkan dia pergi.

Pernah sekali Sam mengenalkan seorang wanita kepada orangtuanya. Namun, belum lagi setengah tahun hubungan mereka selesai. Penyebabnya, karena si wanita melakukan hubungan seks dengan teman lamanya.

Hati Sam sakit. Ia merasa seperti sengaja dibohongi.

Trauma ini akhirnya menjadikan Sam seorang pria yang apatis. Penyampaian rasa cinta seorang wanita, tak pernah ia cerna dengan serius. Sampai suatu ketika aroma kopi menghantarkannya ke alam mimpi-mimpi tentang seorang wanita.

-

''Hari besar kita mesti spektakuler!'' bisik Sam di telinga Dewi tak sabar.

Dewi merasakan hembus nafas panas Sam menerpa pipinya. Sementara kedua lengan Sam yang berotot kukuh memeluk pinggang Dewi. Dan, ia merasa wajah Sam mengendus nakal disela-sela rambut kepalanya.

Dewi ingin sekali memiringkan kepalanya, mengelak. Namun, ia khawatir Sam akan terkejut.

Teringat kembali pertemuannya dengan Sam, di Starbucks. Ya, tempat ini mula pertama mata mereka beradu pandang.

Gara-gara iseng hendak mencicipi bagaimana rasa kopi ''BRAZIL - bourbon - Rio Verde'' tatap mereka berlanjut pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.

Tak terhitung berapakali Sam memohon Dewi untuk mampir ke rumahnya, berkenalan dengan orang tuanya. Namun, kesibukan pekerjaan Dewi sebagai manajer lapangan pada perusahaan Pharmacy, belum berhasil mempertemukan wanita idamannya ini kepada orang tuanya.

Bahkan, teman-teman Sam acap menggodanya. ''Jangan terlalu lama, ntar disamber orang!''

Kecantikan wajah Dewi dan kecharmant-an sikapnya, menghadiahkan kesempurnaan penampilan seorang wanita. Tak mengherankan, bila banyak mata pria yang meliriknya. Bahkan kolega Dewi yang telah beristri dan beranak empat bersedia menceraikan istri dan berpisah dengan anak-anaknya.

Bangir bentuk hidung Dewi, lekuk pinggul dan bantalan pantatnya yang ala J.Lo acap mencuri perhatian para pria. Sam menyadari kelebihan Dewi ini. Diam-diam ia merasa bangga tapi juga mengiri kesal.

Mata Dewi berkaca-kaca, terharu. Ketika Sam berlutut dihadapannya, meminangnya.

''Sam, ... baiknya kita beri waktu untuk hal ini,'' suara Dewi lirih.

Sam menarik tubuh Dewi lebih dekat, dan matanya tajam menerobos pupil mata Dewi.

''Kapankah, coba jelaskan untukku Dew?''

Perlahan Dewi menelan ludahnya sendiri, dan dengan sangat hati-hati ia mencoba menuntun Sam ke arah pikiran yang tenang.

''Dua tahun kita saling mengenal Dew, aku tak butuh fungsi pekerjaanmu. Aku perlu cintamu''

''Apakah kau benar telah mengenal diriku Sam?''

Kali ini mata Sam tak berkedip menatap mata Dewi. Lurus Sam berusaha menebak apa pertanyaan Dewi.

''Maksudmu?''

''Kurang jelaskah pertanyaanku?'' Datar suara Dewi.

''Apakah kau tidak tersinggung, kalau aku bla ... bla ... bla ... apa adanya menyatakan sekarang!'' Sam berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Dewi mengangkat pundaknya.

''No, problem, silahkan,'' tantang Dewi, ''aku siap mendengarkannya''

Tiba-tiba saja Sam merasa panik dalam dirinya. Pergumulan pikiran dan perasaan yang belum pernah ia alami selama hidup. Seakan-akan ia harus mempertanggungjawabkan seluruh kata-kata yang mewakili pemikirannya.

Dan, tiba-tiba saja diganggu oleh rasa takut yang amat sangat. Sam khawatir, ketika kata-kata ini keluar dari lidah tak bertulang miliknya, maka Dewi pun akan lari meninggalkan dirinya.

Demikian takutnya Sam, sampai tubuhnya menggigil dan kedua telapak tangannya dingin. Sampai Dewi harus menuntunnya kembali untuk duduk.

Belum apa-apa, Sam sudah melihat mata Dewi lurus siap menghakiminya.

''Janji kau tak akan marah padaku Dew?'' pinta Sam.

Dewi tersenyum dan akhirnya tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah laku Sam.

''Serius Dew, inilah yang kutakutkan''

Untuk memberi kekuatan pada Sam, Dewi menggenggam kedua tangan Sam yang dingin.

Sam tak mau menyesali kata-kata yang nanti akan ia ucapkan. Sam yakin, inilah keberanian dan kejujuran itu.

Hening seketika, bahkan hilir angin yang halus menerpa dedaunan dapat Sam dengar dengan tajam.

''Meski kita sudah saling mengenal,'' Sam mengumpulkan kekuatannya untuk mengucapkan kalimat yang satu ini, ''tetapi kita belum melakukan hubungan seks layaknya orang lain''

Senyum Dewi menolongnya.

''Apa kau pikir saling mengenal itu cukup dengan melakukan seks?'' Dewi bertanya.

Bong!

Sesak di dada dan mumetnya pikiran seperti hilang. Ingin rasanya Sam menubruk dan memeluk Dewi.

Sam menjadi malu pada dirinya sendiri, ternyata Dewi bukan hanya sempurna di matanya, akan tetapi sangat dewasa.

''Jadi, kau tak marah aku bilang begitu!'' ucap Sam.

''Emangnya kau pikir aku akan mencak-mencak ngamuk.'' Ringan Dewi menimpali.

''Ya, tapi apakah kau gak anggap aneh tentang yang satu ini,'' tambah Sam. ''Sebab teman-temanku telah melakukan hal ini sebelum mereka menikah!''

''Ah, bukan temanmu. Mungkin kau sendiri pernah melakukannya.'' Tajam menyelidik ucapan Dewi.

Sam menggelengkan kepalanya dan berkata, ''Blum, tapi pernah mau mencoba.'' Jujur Sam menyampaikannya.

Pikir Sam, tak perlu lagi dia menyembunyikan siapa dirinya atau mencoba berbohong. Sam sudah bertekad, akan menerima apa pun yang akan terjadi.

Dewi meletakkan sebelah tanggannya mengelus pundak Sam.

Tak sabar, Sam memeluk Dewi dengan penuh kasih sayang. Diusapnya rambut sebahu Dewi yang lembut dan wangi. Dipegangnya kedua pipi Dewi, dan ditatapnya warna mata yang indah dari pemiliknya.

Serasa air mengalir pada rongga hidung Sam. Ia merasa tak mampu mengendalikan perasaannya.  

Mata Sam basah. Suasana ini menyekamnya sangat intens.

''Jadi, kau terima pinanganku Dew?'' perlahan Sam mengucapkan kata ini.

Matahari masih juga tinggi di atas sana, burung-burung camar malang melintas. Lambaian daun kelapa tetap menari mengikuti irama hembusan angin.

Dewi merebahkan kedua telapak tangannya pada dada bidang Sam, sambil merapihkan letak kerah kemeja Sam.

''Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu, sebelum kita melangkah jauh.'' Kata Dewi.

''Apakah perlu waktu lama?'' Tanya Sam.

Dewi menggelengkan kepalanya pasti, sementara tatap matanya lembut menatap mata Sam.

''Setelah pulang liburan?'' sambung Dewi.

''Hal pentingkah?''

''Ya.'' Hening sejenak. ''Penting untuk kau ketahui'' Jelas Dewi.

Dewi mengalihkan wajahnya, menatap garis horizontal yang memisahkan buih air laut dan cakrawala. Sementara noktah hitam keabu-abuan di kejauhan nampak timbul tenggelam dipermainkan ombak lautan.

-

Pras mengejar Dewi bertubi-tubi dengan telepon. Namun, Dewi belum juga mengangkatnya.

''He, gimana sih, kok gak ada reaksi!'' Pras tinggalkan pesan pada voice-mail.

Dewi hanya membalas singkat, ''tunggu berita dariku''

Pras, seseorang yang sangat penting bagi Dewi setelah kedua orangtuanya meninggal dunia. Pras, kakak kandung Dewi. Pras selalu care menjaga Dewi. Bagi Dewi, kakak kandungnya adalah pengganti orangtuanya.

-

Hari ini hujan. Angin melengkapi cuaca malam dengan suhu yang sedikit ekstrem, dingin.

Dewi sengaja pulang lebih cepat. Mempersiapkan kedatangan Sam. Bukan dengan hangatnya kopi atau teh dan makanan ringan. Tetapi menanti tanggapan Sam.

Bisa juga malam ini malam terakhir ia melihat sosok Sam.

Esok, hari dengan kisahnya tersendiri. Tetapi Dewi sudah siap. Perjalanan hidupnya sejak lahir ikut berkembang mempersiapkan mental yang kuat. Dewi tak pernah takut, atau khawatir akan kehilangan.

Kehilangan yang berlarut-larut diadopsi sebagai keterpurukan hanya membuat diri semakin rusak. Dewi tak mau itu.

-

Lilin kecil di atas meja dan kincir yang berputar-putar di atasnya karena tertiup udara panas, memantulkan cahaya pada dinding.

Kopi panas belum lagi habis, teh apa lagi. Bunga Anyelir di atas mebel sebelah kiri terpaku, menjadi saksi bisu dua anak manusia.

Sejenak hening, setelah kata-kata terakhir yang Dewi ucapkan. Kini keduanya tercekam pikiran masing-masing.

Mata Sam dingin, lurus menghujam ke arah Dewi. Tiada kata sanggahan, tiada ucapan penyesalan. Keheningan mencekam seisi rumah. Di luar sana, hujan angin semakin keras menerpa.

Tiba-tiba, Sam berdiri.

Dewi berpikir cepat, inilah akhir dari sebuah kenyataan dan kejujuran. Apapun yang akan terjadi, Dewi sudah siap menerimanya.

Namun, Dewi terlalu cepat menduga.

Secepat kilat Sam menarik tangan Dewi, dan mendekapkan tubuhnya begitu kuat.

Dipandangnya mata Dewi yang terperangah karena terkejut. Tanpa menunggu, Sam mencium bibir Dewi dengan lembut dan penuh kasih sayang. Kedua tangan Sam memegang kepala Dewi, setelah itu mengguncang kedua bahu Dewi.

''Apa kau pikir aku akan pergi darimu?'' Lurus Sam berkata.

Dewi yang jarang menangis, kini menangis. Isak itu lirih hampir tak terdengar. Hanya air mata tumpah ruah membasahi wajahnya.

Dewi membenamkan kepalanya mencari perlindungaan pada Sam. Karena ia tahu persis Sam memilikinya.

Untuk pertamakali dalam hidupnya, Dewi menghirup aroma kejujuran yang tulus pada dada Sam. Wangi kehidupan yang apa adanya.

Keduanya terisak. Bukan isak penyesalan, akan tetapi isak kebahagiaan.

''Dewi, ... maukah kau menjadi istriku?'' Lembut berurai airmata Sam memohon.

''Tak menyesalkah kau memperistri seorang transseksual?'' Terisak Dewi mengucapkannya.

Dekapan Sam semangkin kuat. Dewi melepaskan beban kehidupannya dengan juga mendekap Sam kuat-kuat. Tiba-tiba saja mereka merasa takut kehilangan, tak mau berpisah lagi.

Saat itu, cinta yang tulus memenuhi isi rumah.

-

Pras sibuk melayani para tetamu pada pesta pernikahan Dewi dan Sam yang sangat sederhana. 

Pras tak pernah merasa malu membela Dewi. Bagi Pras, sudah cukup berat Dewi menanggung penyimpangan yang ia bawa sejak dilahirkan. Sebab itu, keputusan untuk melakukan operasi kelamin di Amerika, adalah dukungan Pras untuk adik satu-satunya, Dewi. 

Tak henti Pras melirik ke arah kedua mempelai yang memancarkan kebahagian pada kedua wajah mereka.

Sambil tersenyum bahagia ia berbisik, ''Ma, Pa, bebanku sedikit ringan, terimakasih.''

--

Tamat.

(da170118nl)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun