Mohon tunggu...
Kadek Dhera Permata Adnyani
Kadek Dhera Permata Adnyani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha Dengan Program Studi Pendidikan Kimia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pagerwesi: Pagar Besi Kehidupan Menuju Jalan Dharma

13 September 2025   21:46 Diperbarui: 13 September 2025   21:46 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hari Raya Pagerwesi adalah salah satu hari raya suci umat Hindu yang jatuh setiap empat hari setelah Hari Saraswati, tepatnya pada Rabu Kliwon wuku Sinta. Perayaan ini ditujukan untuk memuliakan Sang Hyang Pramesti Guru, yaitu manifestasi Tuhan sebagai guru alam semesta. Dalam kepercayaan umat Hindu, Sang Hyang Pramesti Guru adalah sosok yang memberikan tuntunan, pengajaran, serta jalan terang bagi kehidupan manusia agar tetap berjalan pada jalur dharma (kebenaran).

Secara etimologis, kata Pagerwesi berasal dari dua kata, yakni pager (pagar) dan wesi (besi). Jika digabungkan, maknanya adalah "pagar besi", sebuah simbol perlindungan yang sangat kokoh dan kuat. Pagar besi di sini bukan hanya dimaknai secara fisik, tetapi juga memiliki makna filosofis sebagai perlindungan batin bagi diri manusia agar tidak mudah tergoyahkan oleh hal-hal buruk, pikiran negatif, serta godaan yang bisa melemahkan iman. Oleh karena itu, Hari Pagerwesi dianggap sebagai momen penting untuk memperkuat iman (raddh) serta menjaga keseimbangan spiritual dalam kehidupan.

Umat Hindu pada umumnya melaksanakan sembahyang di sanggah (tempat suci keluarga), pura, hingga bale banjar, dengan tujuan memohon perlindungan, keteguhan hati, dan kekuatan dari Tuhan serta leluhur agar senantiasa membimbing keluarga di jalan kebenaran. Perayaan ini bukan hanya sebatas ritual keagamaan, tetapi juga sebuah momentum refleksi bagi setiap individu untuk kembali mengingat hakikat hidup, rasa syukur, serta kewajiban menjaga keharmonisan dengan sesama.

Melalui artikel  ini, saya akan menceritakan rangkaian kegiatan yang saya lakukan bersama keluarga dalam menyambut dan memperingati Hari Raya Pagerwesi, baik di rumah maupun di lingkungan sekitar, seperti bale banjar.

1. Persiapan Sebelum Hari-H (H-1)

Sehari sebelum Pagerwesi, suasana rumah sudah mulai sibuk dengan berbagai persiapan. Saya ikut membantu ibu metanding, yaitu menyiapkan serta menata banten (sesajen). Hampir seluruh sore hingga malam hari diisi dengan kegiatan membuat banten. Banten yang kami buat cukup beragam, mulai dari soda, ajengan, canang raka, canang sari, gantung-gantung, pesegogan, hingga tipat nasi kelanan. Semua banten ini memiliki fungsi masing-masing, yang nantinya dihaturkan di pelinggih keluarga, pura, maupun sanggah. Sambil menyiapkan, ibu saya juga menjelaskan kembali tata urutan sembahyang besok agar tidak terjadi kesalahan. Penjelasan ini sangat penting bagi saya karena menambah pemahaman, sehingga saya bisa lebih sadar makna di balik setiap jenis banten yang dipersembahkan. Malam harinya, saya menyiapkan pakaian adat Bali yang akan digunakan keesokan hari. Pakaian adat dipilih dengan teliti: kamen yang bersih, kebaya yang rapi, serta selendang. Menyiapkan pakaian lebih awal membantu mengurangi kerepotan di pagi hari, karena biasanya pada hari raya suasana cukup padat dengan banyak kegiatan.

2. Hari-H Pagerwesi: Sembahyang Pagi di Sanggah

Pagi hari Pagerwesi, saya bangun lebih awal sekitar pukul 05.00 WITA. Setelah mandi dan bersiap, keluarga saya sudah siap sebelum pukul 06.30 untuk menuju sanggah (tempat suci keluarga) di mana sembahyang pertama dilakukan. Setibanya di sanggah, kami mulai menata banten di masing-masing pelinggih, seperti piasan ageng, piasan alit, pelinggih surya, kawitan, kemulan rong tiga, kemulan rong dua, pelinggih pecalang, hingga pelinggih pesaren. Setelah itu, dupa dinyalakan sebagai simbol penghormatan dan penyambungan doa ke alam niskala. Sekitar pukul 07.00 WITA, sembahyang dipimpin oleh seorang pemangku (mangku). Beliau membacakan mantram, dan seluruh umat yang hadir mengikuti dengan khusyuk. Suasana terasa sangat hening, damai, dan penuh kekhidmatan. Saya pribadi berdoa agar diberikan kekuatan batin, kesehatan, serta perlindungan bagi seluruh keluarga.

3. Sembahyang untuk Leluhur (Soda)

Setelah sembahyang utama, kegiatan dilanjutkan dengan sembahyang soda, yaitu persembahyangan khusus untuk leluhur. Banten khusus dihaturkan sebagai wujud rasa terima kasih serta penghormatan atas jasa para pitra (leluhur). Dalam doa, kami memohon agar para leluhur mendapat tempat terbaik di alam niskala serta senantiasa memberikan tuntunan kepada keluarga yang masih hidup. Sebagai simbol, kami meninggalkan sejumput nasi kuning dan nasi putih di atas canang. Hal ini mengingatkan saya bahwa kehidupan sekarang adalah berkat jasa dan doa para leluhur yang mendahului.

4. Ngelungsur Banten dan Uang Sari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun