Pemerintah Indonesia tengah menghadapi tantangan fiskal yang kompleks dalam menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 2026. Di satu sisi, pemerintahan baru di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto berkomitmen pada delapan agenda prioritas yang membutuhkan alokasi dana besar, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, di sisi lain, defisit harus tetap dijaga di bawah 3%Â dari PDB sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Konflik antara konsolidasi fiskal dan pembiayaan program prioritas ini menjadi pusat perhatian, terutama dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang belum pasti.
Dilema Fiskal dan Target Pertumbuhan yang Optimis
Anggaran negara menjadi kunci utama dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu mencapai 5,12% pada kuartal kedua 2025. Saat ini, pemerintah menargetkan defisit anggaran 2026 antara 2,48%-2,53%Â dari PDB dan meningkatkan alokasi program prioritas seperti MBG sebesar Rp 300 triliun. Lembaga riset Indef menyatakan bahwa target pertumbuhan ekonomi 5,2%-5,8% untuk 2026 dinilai terlalu optimis mengingat IMF dan Bank Dunia memproyeksikan angka lebih rendah, yakni sekitar 4,7%-4,8%. Jika target tersebut tidak tercapai, pemerintah terpaksa harus memotong belanja atau menambah utang. Hal tersebut berpotensi mengancam, stabilitas fiskal jangka panjang.
Efisiensi vs Keadilan dalam Program Sosial
Program MBG menuai kritik terkait efisiensi dan potensi korupsi. Anggota DPR khawatir anggaran besar ini akan memicu terjadinya moral hazard, yaitu kondisi saat masyarakat menjadi tergantung pada bantuan pemerintah dan kurang termotivasi untuk mencari pendapatan. Selain itu, alokasi dana untuk MBG berisiko menyebabkan crowding out terhadap program sosial lain, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) atau bantuan pangan. Di sektor pendidikan dan kesehatan, meskipun anggaran besar telah dialokasikan, yakni sebesar Rp 727-761 triliun untuk pendidikan dan Rp 181-228 triliun untuk kesehatan, tetapi hasilnya masih perlu dipertanyakan. Dari hasil PISA 2022 menunjukkan siswa Indonesia tertinggal dari rata-rata OECD. Hal tersebut menandakan bahwa selain meningkatkan jumlah anggaran, pemerintah juga perlu memperbaiki kualitas implementasi dan tata kelola.
Reformasi Pajak yang Terhambat
Pemerintah berupaya meningkatkan rasio pajak melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, langkah seperti menaikkan tarif PPN menjadi 12% dibatalkan karena muncul kekhawatiran politik dan penurunan daya beli masyarakat. Pajak karbon juga tertunda akibat ketidakmatangan regulasi dan kekhawatiran dampak ekonomi. Upaya lain seperti integrasi NIK-NPWP dan memperluas basis pajak dinilai kurang efektif dibandingkan dengan menaikan PPN atau menerapkan pajak karbon.
Kesenjangan Pendanaan Infrastruktur dan Peran Ganda BUMN
Kebutuhan investasi infrastruktur 2025-2029 mencapai Rp 10.302 triliun, tetapi realitanya anggaran negara hanya mampu membiayai 40%Â dari kebutuhan. Mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengandalkan skema non-anggaran seperti Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan Hak Pemanfaatan Terbatas (HPT). Selain itu, transparansi dan tata kelola yang kuat juga diperlukan untuk menghindari risiko fiskal. Namun, selain menghadapi masalah kebutuhan investasi, BUMN juga tengah menghadapi dilema yaitu harus profitable tetapi juga disertai menjalankan misi pembangunan.
Peran ganda BUMN tersebut menyebabkan timbulnya penolakan serikat pekerja PLN dan Pertamina terhadap restrukturisasi dan IPO anak perusahaan. Jika permasalahan tersebut tidak bisa dikelola dengan baik, peran ganda BUMN akan menghambat efisiensi dan memperburuk beban keuangan negara.
Eksternalitas Negatif dan Solusi Transportasi
Kemacetan di Jakarta yang menyebabkan kerugian ekonomi Rp 100 triliun per tahun merupakan salah satu eksternalitas negatif yang ada di Indonesia yang membutuhkan intervensi pemerintah melalui subsidi transportasi umum dan peningkatan fasilitas untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.
Melihat beberapa permasalahan tersebut, pemerintah sebaiknya segera mengambil tindakan untuk mempertahankan stabilitas keuangan negara. Seperti pisau bermata dua, kebijakan fiskal 2026 harus bisa menyeimbangkan antara janji politik dan menjaga defisit anggaran di bawah 3%. Namun, bagaimana caranya? Berikut beberapa rekomendasi untuk mengatasi dilema fiskal 2026.
- Transparansi Anggaran: Meningkatkan pengawasan, baik oleh parlemen dan masyarakat sipil untuk mencegah penyalahgunaan dana, terutama dalam program besar seperti MBG.
- Pembiayaan Inovatif: Mengoptimalkan skema non-anggaran seperti HPT dengan tata kelola yang kuat dan transparan, serta mendorong investasi swasts dalam proyek infrastruktur berkelanjutan.
- Reformasi Jangka Panjang: Fokus pada peningkatan kualitas SDM, tata kelola, dan efektivitas belanja di sektor pendidikan dan kesehatan, serta memperkuat tata kelola sektor publik dalam meningkatkan efektivitas belanja negara.
- Kebijakan Berbasis Bukti: Memanfaatkan data dan evaluasi program yang tersedia secara berkala untuk memastikan bahwa kebijakan sosial yang dilakukan tepat sasaran.
Itulah beberapa rekomendasi yang bisa diterapkan untuk menghadapi dilema fiskal 2026. Kolaborasi antar pemangku kepentingan, transparansi, dan kebijakan berbasis bukti menjadi kunci untuk dapat menyeimbangkan antara program prioritas dan konsolidasi fiskal. Tanpa adanya kolaborasi, inefisiensi program sosial dan defisit yang tidak terkendali akan terus mengancam pembangunan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI