Salah satu daerah penghasil ikan dan tambak di Indonesia adalah Lamongan, sebuah kabupaten di Jawa Timur. Lokasinya yang strategis di pesisir utara Jawa memberikan keunggulan geografis bagi pertumbuhan industri perikanan, terutama untuk tambak udang dan bandeng. Selain menyediakan sumber pendapatan utama bagi ribuan rumah tangga di Lamongan, industri ini juga memberikan kontribusi besar bagi perekonomian lokal dan nasional. Data dari Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa sektor perikanan menyumbang sekitar 30% dari total PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) kabupaten ini. Namun, kontribusi besar ini tidak sejalan dengan kesejahteraan petani tambak. banyak petani tambak di Lamongan yang miskin meskipun potensinya sangat besar. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) Lamongan pada Januari tahun 2025, sekitar 60% petani tambak di Lamongan hidup di bawah garis kemiskinan. Rata-rata pendapatan petani tambak hanya sekitar Rp 1,5 juta per bulan, jauh di bawah upah minimum regional (UMR) Jawa Timur yang mencapai Rp 4,5 juta. Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan yang signifikan antara potensi ekonomi sektor tambak dan kesejahteraan petani. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting mengapa petambak terjebak dalam lingkaran kemiskinan ketika mereka seharusnya menuai hasil dari kerja keras mereka.
Tindakan merugikan dari tengkulak merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan di kalangan petani tambak. Ketidakpahaman petani tambak akan harga pasar yang sebenarnya sering dimanfaatkan oleh tengkulak, yang berfungsi sebagai jembatan antara petani tambak dan pasar. Mereka menjual kembali produk tambak dengan margin keuntungan yang signifikan setelah membelinya dari petani dengan harga yang sangat rendah, jauh di bawah harga pasar. Selain menyebabkan kerugian finansial, praktik ini juga menghambat kemampuan petambak untuk meningkatkan standar hidup mereka. Selain itu, ketergantungan petambak terhadap tengkulak sering kali diperparah dengan ketidakmampuan mereka untuk mendapatkan pembiayaan, data pasar, dan infrastruktur yang sesuai. Banyak petani tambak di Lamongan tidak memiliki akses langsung ke pasar utama atau industri pengolahan ikan, menurut data yang tersedia saat ini. Akibatnya, mereka terpaksa mempromosikan barang mereka melalui perantara. Tengkulak sering kali memberlakukan persyaratan yang tidak adil, termasuk penundaan pembayaran atau struktur bagi hasil yang tidak adil, karena mereka sepenuhnya menyadari posisi negosiasi yang buruk dari para petani tambak. Oleh karena itu, petani tambak hanya mendapatkan sebagian kecil dari hasil kerja mereka. Selain itu, masalah ini diperparah dengan tidak adanya bantuan pemerintah dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada petani tambak. Meskipun ada sejumlah program pelatihan dan bantuan yang dirancang untuk meningkatkan produktivitas tambak, penerapannya sering kali gagal mengatasi penyebab utama dari masalah ini. Akibatnya, para petani tambak terus terjebak dalam lingkaran setan ketergantungan pada tengkulak.
Pedagang perantara, atau yang biasa disebut tengkulak, sangat penting dalam rantai pasokan produk tambak Lamongan. Mereka berfungsi sebagai penghubung bagi para petani untuk menjangkau pasar lokal, regional, atau bahkan internasional. Banyak petani tambak di Lamongan akan kesulitan menjual produk mereka tanpa tengkulak karena mereka tidak memiliki akses ke pasar yang lebih besar, tidak memiliki jaringan pemasaran, dan tidak terbiasa dengan dinamika pasar saat ini. Hasil tambak seperti udang dan bandeng dapat diangkut ke daerah lain, termasuk ke luar negeri, berkat jaringan dan keterampilan tengkulak. Namun, dominasi tengkulak dalam rantai pasokan menjadi ancaman bagi petani tambak, meskipun fungsi mereka tampaknya menguntungkan.
Dominasi tengkulak dalam rantai perdagangan menghasilkan kesenjangan yang berdampak pada petani. Tengkulak sering kali memiliki kendali penuh atas harga pembelian hasil pertanian, sedangkan petani, yang tidak memiliki informasi pasar yang memadai, tidak dapat melakukan tawar-menawar secara efektif. Akibatnya, tengkulak dapat membeli hasil pertanian dari petani dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga pasar. Petambak dapat menjual udang atau bandeng ke tengkulak dengan harga setengah atau bahkan sepertiga dari harga pasar yang sebenarnya. Kesenjangan harga ini kemudian menghasilkan keuntungan yang besar bagi tengkulak, sementara petani tambak hanya menerima sebagian kecil dari nilai ekonomi yang seharusnya. Selain itu, tengkulak juga sering menggunakan sistem pembayaran yang tidak menguntungkan petani. Beberapa tengkulak membayar petani dengan sistem tempo, di mana petani menerima pembayaran setelah tengkulak menjual produknya di pasar. Hal ini menyebabkan petani tidak puas dan tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari atau memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam beberapa kasus, tengkulak bahkan memberikan pinjaman modal kepada petani dengan bunga tinggi, yang pada akhirnya membuat petani semakin terjerat dalam lingkaran utang dan ketergantungan.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat setempat pada tahun 2022, sekitar 80% petani tambak di Lamongan bergantung pada tengkulak untuk memasarkan hasil tambaknya. Angka ini mencerminkan betapa tingginya ketergantungan petani terhadap tengkulak dalam rantai pasok perikanan di daerah tersebut. Ketergantungan ini tidak terjadi tanpa alasan, melainkan disebabkan oleh berbagai keterbatasan struktural yang dihadapi petani, seperti kurangnya akses ke pasar langsung, keterbatasan modal, dan infrastruktur yang tidak memadai.
Pertama, akses petani yang terbatas ke pasar langsung mendorong mereka untuk bergantung pada tengkulak. Sebagian besar petani tambak di Lamongan tidak memiliki jaringan pemasaran yang luas dan pemahaman tentang bagaimana mempromosikan produk mereka ke pasar yang lebih luas, seperti pasar regional, nasional, atau bahkan pasar ekspor. Selain itu, infrastruktur transportasi yang terbatas di beberapa daerah di Lamongan juga menjadi kendala. Banyak petani yang kesulitan membawa produknya ke pasar yang jauh karena biaya transportasi yang tinggi dan kondisi jalan yang buruk. Akibatnya, banyak yang lebih memilih untuk menjual barang mereka melalui perantara yang datang langsung ke pertanian, meskipun dengan harga yang jauh lebih rendah.
Kedua, kurangnya modal merupakan alasan utama mengapa petani tambak di Lamongan mengandalkan perantara. Sebagian besar petani tambak tidak memiliki dana yang cukup untuk menutupi biaya produksi seperti benih, pakan, dan pemeliharaan tambak. Disinilah para tengkulak berperan sebagai 'serigala berbulu domba' dengan menyediakan modal bagi para petambak. Namun, pinjaman ini tidak diberikan secara cuma-cuma. Tengkulak biasanya memberikan pinjaman dengan syarat yang mengikat: petani harus menjual hasil pertaniannya kepada tengkulak dengan harga yang telah ditentukan. Harga ini seringkali jauh lebih rendah daripada harga pasar, sehingga petani tidak memiliki banyak pilihan lain selain menerima keadaan ini untuk memenuhi kebutuhan produksi mereka. Selain itu, tengkulak juga seringkali menerapkan sistem bunga yang tinggi pada pinjaman yang diberikan kepada petani. Hal ini semakin memberatkan petani, karena mereka harus membayar kembali pinjaman beserta bunganya dari hasil penjualan tambak yang sudah dibeli dengan harga rendah. Akibatnya, petani terjebak dalam siklus utang yang sulit untuk diputus. Mereka terus bergantung pada tengkulak untuk modal produksi, sementara keuntungan yang mereka peroleh dari hasil tambak sangat minim.
Taktik tengkulak di Lamongan sering kali bersifat eksploitatif. Menurut data statistik dari Dinas Perikanan Lamongan, harga jual udang dan bandeng di tingkat petani hanya sekitar Rp 30.000 - Rp 40.000 per kilogram, sementara harga pasar berkisar antara Rp 70.000 dan Rp 80.000. Perbedaan harga yang sangat besar ini menguntungkan para tengkulak, sementara para petani tambak hanya menerima sebagian kecil dari nilai tambah yang seharusnya mereka terima.
Dampak dari sistem tengkulak bagi petani tambak
Kemiskinan di kalangan petani tambak di Lamongan memiliki dampak ekonomi dan sosial yang luas. Secara ekonomi, pendapatan petani tambak yang rendah akibat taktik tengkulak yang merugikan membuat mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Sebagian besar petambak hanya mampu menghasilkan pendapatan yang rendah, yang tidak cukup untuk membeli makanan yang berkualitas, membiayai pendidikan anak-anak mereka, atau memberikan perawatan kesehatan yang layak. Masalah ini diperparah dengan harga pertanian yang tidak stabil dan biaya produksi yang tinggi, yang seringkali tidak sebanding dengan pendapatan mereka.
Kemiskinan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan sehari-hari petani tambak dan keluarganya. Banyak rumah tangga petani tambak yang harus mengeluarkan biaya lebih sedikit untuk membeli makanan, sehingga asupan gizi mereka tidak tercukupi. Anak-anak dari rumah tangga keluarga petani sering kali menderita kekurangan gizi, yang mengganggu pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif mereka. Selain itu, gaji yang rendah membuat banyak keluarga petani tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka. Menurut data dari Dinas Sosial Lamongan, 40% anak petani tambak putus sekolah sebelum menyelesaikan sekolah dasar. Mereka diwajibkan untuk membantu orang tua mereka bekerja di tambak atau mencari pekerjaan lain untuk menambah penghasilan keluarga, sehingga mengancam kemampuan mereka untuk memperoleh pendidikan yang layak. Tidak hanya itu, kemiskinan juga membatasi akses terhadap layanan kesehatan. Banyak petani tambak dan keluarga mereka tidak mampu membayar biaya perawatan medis atau pengobatan ketika mereka jatuh sakit. Akibatnya, penyakit yang seharusnya dapat dihindari atau diobati lebih awal sering kali tidak diobati hingga menjadi serius. Hal ini tidak hanya menurunkan kualitas hidup petambak dan keluarganya, tetapi juga menurunkan produktivitas mereka dalam mengelola tambak.