Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Pesona Gigi Kera di Pantai Siung

3 Agustus 2010   04:45 Diperbarui: 4 Maret 2020   15:19 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mendengar Yogyakarta kita langsung tertuju pada tujuan wisata seperti Malioboro, Kraton, makanan seperti bakpia dan gudeg, serta pantainya yang terkenal yakni Parangtritis. Anehnya, selama saya 4 tahun kuliah di kota pendidikan tersebut saya tidak pernah menginjakkan kaki ke Parangtritis. Loh???

Ada tempat lain yang membuat hati saya tertambat sampai mengalahkan salah satu legenda termasyur di Yogyakarta itu. Saat sedang liburan semester, saya yang saat ini sudah bekerja di Jakarta diajak oleh sepupu saya ke Pantai Siung. Kala itu, memang saya sedang hunting daerah tujuan wisata yang belum terlalu popular. Sampai akhirnya saya diajak Lino, sepupu saya itu, ke pantai yang terletak di sebuah wilayah terpencil di Kabupaten Gunung Kidul, tepatnya sebelah selatan Kecamatan Tepus.

Belum lama ini saya berkesempatan menikmati kembali eksotisme alam yang masih perawan tersebut. Tidak terlalu mudah memang untuk sampai ke sana. Dengan jarak sekitar 70 km dari kota Yogyakarta,  saya tempuh Pantai Siung dalam 2,5 jam dengan menggunakan sepeda motor.

Bukan tanpa pertimbangan saya menggunakan kendaraan pribadi. Saya sebagaimana mayoritas wisatawan lain, lebih memilih berkendaraan pribadi karena kendaraan umum masih jarang menjangkau Pantai Siung. Colt atau bis dari kota Wonosari biasanya hanya sampai ke wilayah Tepus, itupun jumlahnya jarang.

Ada beberapa pilihan jalur untuk sampai ke obyek wisata ini. Ada 2 jalur yang pernah saya tempuh, pertama jalur Yogyakarta – Wonosari. Dari situ masuk ke jalan menuju Pantai Baron. Di kawasan ini kita akan melewati Pantai Baron, Pantai Kukup, Pantai Kerakal dan Pantai Sundak. Untuk sampai ke Pantai Siung kita masih melanjutkan perjalanan ke arah Tepus. Infrastruktur jalan di jalur ini sangat bagus.

Jalur kedua, saya dari Yogyakarta menuju arah Imogiri. Dari sana, kita mengambil jalan menuju Gunung Kidul. Jalur ini, menurut saya memiliki tantangan yang lebih berat karena banyak jalan yang berlubang. Jalur yang lain adalah melewati jalur Wonogiri lalu baru ke Gunung Kidul. Saya tidak merekomendasikan jalur ini karena terlalu jauh bagi kita yang berangkat dari Yogyakarta.

Secara umum perjalanan menuju Pantai Siung cukup menantang. Jalur mendaki dengan kelokan-kelokan menjadi konsekuensi dari jalur perbukitan. Oleh karenanya stamina fisik yang prima dan performa kendaraan yang baik menjadi modal utama untuk bisa menjangkau pantai ini.

Setengah perjalanan pertama kita masih menikmati hamparan sawah nan subur. Namun untuk selanjutnya jalan dikelilingi perbukitan kapur dan hamparan bukit bertanah merah. Penduduk sekitar melukis bukit-bukit dengan pepohonan jati yang waktu itu sedang meranggas serta puluhan jenis palawija bagai oase di tengah terik mentari.

Menurut saya, di sinilah letak nilai lebih kabupaten Gunung Kidul, walaupun terkenal sebagai daerah tandus dengan musim keringnya yang panjang namun tidak lantas menjadikan kawasan ini tanpa daya tarik. Batu-batu yang menghalau pertumbuhan tanaman disusun rapi bak pematang, mempersiapkan tempat yang ideal bagi pohon ubi kayu tumbuh dan berkembang.

 

Sempat Meredup

Beberapa teman saya selalu mengeluhkan perjalanan yang panjang dan melelahkan untuk sampai ke Pantai Siung. Tetapi, semua keluhan tersebut langsung menguap setelah sampai di tempat parkir Pantai Siung. Mata berbinar, senyum mengembang dan semangat membara terjadi begitu saja. Benar kata pepatah, “bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.”

Saya disambut oleh gempuran ombak menerpa gugusan karang. Langit biru jam 14.00 memantul di permukaan laut. Hamparan pasir putih dengan butiran yang besar bak Pantai Gili Trawangan Lombok menjadi obat kepenatan bekerja di Ibu Kota. Lingkungan yang bersih menjadi bukti pantai ini terjaga oleh prilaku tidak bertanggungjawab. Setelah memarkir motor saya merebahkan diri sejenak di rumah kayu yang ada beberapa di bibir pantai.

Satu pesona yang menonjol dari Pantai Siung adalah batu karangnya. Karang-karang yang berukuran raksasa di sebelah barat dan timur pantai memiliki peran penting, tak cuma menjadi penambah keindahan dan pembatas dengan pantai lain. Karang itu juga yang menjadi dasar penamaan pantai, saksi kejayaan wilayah pantai di masa lampau dan pesona yang membuat pantai ini semakin dikenal, setidaknya di wilayah Asia.

Menurut laporan reportase Yogyes, batu karang yang menjadi dasar penamaan pantai ini berlokasi agak menjorok ke lautan. Nama pantai diambil dari bentuk batu karang yang menurut Wastoyo, seorang sesepuh setempat, menyerupai gigi kera atau Siung Wanara. Hingga kini, batu karang ini masih bisa dinikmati keindahannya, berpadu dengan ombak besar yang kadang menerpanya, hingga celah-celahnya disusuri oleh air laut yang mengalir perlahan, menyajikan sebuah pemandangan dramatis.

Karang gigi kera yang hingga kini masih tahan dari gerusan ombak lautan ini turut menjadi saksi kejayaan wilayah Siung di masa lalu. Menurut cerita Wastoyo, wilayah Siung pada masa para wali menjadi salah satu pusat perdagangan di wilayah Gunung Kidul. Tak jauh dari pantai, tepatnya di wilayah Winangun, berdiri sebuah pasar. Di tempat ini pula, berdiam Nyai Kami dan Nyai Podi, istri abdi dalem Kraton Yogyakarta dan Surakarta.

Sebagian besar warga Siung saat itu berprofesi sebagai petani garam. Mereka mengandalkan air laut dan kekayaan garamnya sebagai sumber penghidupan. Garam yang dihasilkan oleh warga Siung inilah yang saat itu menjadi barang dagangan utama di pasar Winangun. Meski kaya beragam jenis ikan, tak banyak warga yang berani melaut saat itu. Umumnya, mereka hanya mencari ikan di tepian.

Keadaan berangsur sepi ketika pasar Winangun, menurut penuturan Wastoyo, diboyong ke Yogyakarta. Pasar pindahan dari Winangun ini konon di Yogyakarta dinamai Jowinangun, singkatan dari Jobo Winangun atau di luar wilayah Winangun. Warga setempat kehilangan mata pencaharian dan tak banyak lagi orang yang datang ke wilayah ini. Tidak jelas usaha apa yang ditempuh penduduk setempat untuk bertahan hidup.

 

250 Jalur Pemancatan

Suasanya lesu tersebut mulai bangkit sekitar tahun 1989. Saat itu ada grup pecinta alam dari Jepang mulai memanfaatkan tebing-tebing karang yang berada di sebelah barat pantai sebagai arena panjat tebing. Kemudian, pada era 90-an, pantai Siung menjadi ajang kompetisi Asian Climbing Gathering, dengan demikian lambat laun popularitas Pantai Siung mulai pulih lagi. Berdasarkan catatan Yogyes, sampai saat ini tidak kurang ada 250 jalur pemanjatan di Pantai Siung, memfasilitasi penggemar olah raga panjat tebing. 

Fasilitas lain juga mendukung kegiatan panjat tebing adalah ground camp yang berada di sebelah timur pantai. Di tempat ini, tenda-tenda bisa didirikan dan acara api unggun bisa digelar untuk melewatkan malam. Syarat menggunakannya hanya satu, tidak merusak lingkungan dan mengganggu habitat penyu, seperti tertulis dalam sebuah papan peringatan yang terdapat di ground camp yang juga bisa digunakan bagi yang sekedar ingin bermalam.

Tak jauh dari ground camp, terdapat sebuah rumah panggung kayu yang bisa dimanfaatkan sebagai base camp, sebuah pilihan selain mendirikan tenda. Ukuran base camp cukup besar, cukup untuk 10 - 15 orang. Bentuk rumah panggung membuat mata semakin leluasa menikmati keeksotikan pantai. Cukup dengan berbicara pada warga setempat, mungkin dengan disertai beberapa rupiah, base camp ini sudah bisa digunakan untuk bermalam.

Saat malam atau kala sepi pengunjung, sekelompok kera ekor panjang akan turun dari puncak tebing karang menuju pantai. Kera ekor panjang yang kini makin langka masih banyak dijumpai di pantai ini. Keberadaan kera ekor panjang ini mungkin juga menjadi salah satu alasan mengapa batu karang yang menjadi dasar penamaan dipadankan bentuknya dengan gigi kera, bukan jenis hewan lainnya.

Wastoyo mengungkapkan, berdasarkan penuturan para winasih (orang-orang yang mampu membaca masa depan), Pantai Siung akan rejomulyo atau kembali kejayaannya dalam waktu yang tak lama lagi. Semakin banyaknya pengunjung dan popularitasnya sebagai arena panjat tebing menjadi salah satu pertanda bahwa pantai ini sedang menuju kejayaan.  

Naskah ini juga ada di Blog Pribadi, ONEtimes.id

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun