Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agama, Budaya, dan Sumber Daya Alam : Sebuah Mimpi Tinggal Landas

14 Oktober 2014   16:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:05 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Dulu air sungai ini jernih sekali, dasar sungai dan ikan di dalamnya kelihatan dari sini”.

Cerita tentang anak sungai Berambay jadi pembuka kisah perjalanan Amai Pesehu (71 tahun) keluar dari Apokayan[1] hingga ke Dusun Berambai. Sambil duduk  pada jembatan kayu di atas anak sungai Berambay yang kian keruh, Amai menceritakan kisah perjalanan hidupnya dengan lancar. Tahun 1990, bersama 36 keluarga lainnya Amai datang ke Berambai dari Datah Bilang. Mereka membuka ladang dan memulai hidup baru diatas belukar atas ijin pemilik sebelumnya. Keberkahan datang dengan pemekaran desa Separi, Dusun Berambai kemudian  menjadi bagian dari kelurahan Bukit Pariaman. Tanah dan kebun yang mereka olah  juga masuk dalam program sertifikasi.

Kehidupan yang mulai tertata, terganggu dengan datangnya maskapai pertambangan batubara.  Tanah kebun yang mereka olah bertahun-tahun masuk dalam wilayah konsesi dari PT. Mahakam Sumber Jaya.  Bahkan persis terletak disamping kanan dan kiri jalan hauling, tempat truk-truk raksasa lalu lalung mengangkut batubara dari lokasi galian menuju stock pile. Persoalan segera muncul, masyarakat tetap ingin berkebun tetapi perusahaan tidak menghendaki. Demo warga di lokasi kebun dianggap sebagai pendudukan dan upaya untuk menutup serta menghalang-halangi operasi tambang. Bukannya dialog yang terjadi, perusahaan justru memanggil aparat bersenjata lengkap dan kemudian menangkapi warga. Kini Amai Pesuhu dan beberapa warga lainnya berstatus sebagai tersangka atas tuduhan menghalang-halangi operasi pertambangan. [2]

Kisah Amai Pesuhu dan warga dusun Berambay lainnya hanyalah bagian kecil dari cerita derita tanpa akhir beberapa kelompok migran  Dayak Kenyah yang keluar dari Apokayan untuk mencari penghidupan yang lebih baik, lebih dekat dengan pusat pemerintahan, pusat kesehatan dan pendidikan. Namun cita-cita besar mereka bahkan kian hari kian menjadi suram. Kisah Amai Pesuhu seakan membenarkan adanya ‘kutuk migrasi Kenyah’ yaitu perjalanan yang tak henti karena selalu kalah dan tersingkir[3].

Bandingkan dengan kisah para migran lain yang berasal dari luar pulau Kalimantan. Dengan pandangan sekilas saja, disepanjang kanan-kiri jalan antara Balikpapan – Samarinda, atau Samarinda – Sanggata dengan mudah akan terbaca deretan nama-nama kabupaten atau daerah di pulau Jawa dan Sulawesi tertulis gagah serta jelas di papan nama tempat usaha. Mulai dari warung Kediri, Jombang, Nganjuk, Tahu Sumedang, Mie Yogya, Siomay Bandung, Sate Padang, Mie Aceh, Soto Maros, Coto Makassar dan Coto Jeneponto serta lain-lainnya. Nampak dengan jelas bahwa masyarakat pendatang berhasil dan menguasai perekonomian di Kalimantan Timur.  Dan sejatinya bukan hanya bidang ekonomi, bidang politik dan pemerintahanpun juga demikian. Kalimantan Timur adalah daerah kosmopolitan, tempat pertemuan masyarakat dari berbagai wilayah di Indonesia untuk mencari nafkah dan mengeruk kekayaan yang terkandung dalam tanahnya.

Dayak dan Imaji Para Elit

Marjinalisasi masyarakat Dayak[4] sebagai komunitas asli Kalimantan adalah cerita lama. Bermula dari masa kerajaan, disusul  masa kolonial dan terus berlanjut dalam masa-masa orde baru serta belum hilang jejaknya pada masa orde reformasi.

Sejak jaman kolonial para peneliti Belanda  membangun analisis dari bahan-bahan yang mereka kumpulkan secara tergesa-gesa dan bias sehingga menghasilkan pandangan yang mencitrakan bahwa komunitas Dayak adalah pemburu kepala manusia, penyuka rajah, perambah hutan, mendiami rumah panjang dan tidak beragama (animis primitive). Pandangan ini semakin diperburuk oleh para penyebar agama (misionaris dan pendakwah) yang menyebut masyarakat Dayak sebagai kafir. Sebuah buku tentang Sejarah Gereja Kemah Injil (1995) dengan ekplisit menjuluki orang-orang Dayak Kalimantan Timur dengan keyakinanannya sebagai kafir.

Selain julukan ‘kafir’ begitu banyak stereotype  ditebarkan dan dikembangkan yang sangat jelas memandang dan menempatkan orang Dayak sebagai tak beradab, terpencil, terasing hingga harus di-’peradab’-kan. Upaya peng’agama’an masyarakat Dayak agar memilih menjadi Kristen atau Islam dengan sendirinya membuat kebudayaan mereka menjadi luntur. Proyek untuk memajukan masyarakat Dayak berlanjut dengan program Respen atau Resetlement penduduk. Masyarakat Dayak yang tinggal di Lamin, rumah panjang kemudian  dikumpulkan dalam satu wilayah administratif dalam bentuk desa baru. Mereka kemudian tinggal dalam rumah individual dan ladang permanen untuk meninggalkan model perladangan  berpindah.  Mereka dibawa keluar dari kawasan hutan belantara, tanah yang mereka jaga dengan alasan untuk mencapai kemajuan. Dan kelak diketahui, tanah dan hutan yang mereka tinggalkan kemudian dibagi-bagikan kepada para pemegang HPH.

Kala sektor jasa mulai dilirik oleh pelaksana pemerintahan, maka pariwisata menjadi salah satu pilihan utama. Dengan niat bisa meniru keberhasilan Bali dalam mengembangkan dunia pariwisata maka pemerintah daerah mulai aneka program dan kegiatan dilakukan untuk menggalakkan serta meningkatkan kunjungan wisatawan. Di Kalimantan Timur, peradaban (budaya dan kesenian)  masyarakat Dayak yang dulu dihabisi kemudian dikais-kais kembali. Beberapa kampung masyarakat Dayak di Samarinda dan Kutai Kartanegara kemudian disebut sebagai desa wisata (desa budaya). Salah satu contoh yang paling monumental adalah Desa Pampang di Samarinda. Kenyataan ini membuat  Pui Bubun, tetua kampung Long Anai keheranan sebab pemerintah kini getol mendorong anak-anak muda menarikan tarian yang dulu dilarang karena dianggap sebagai tarian orang kafir.

Revitalisasi kebudayaan Dayak sebagai sebuah proyek terus berlanjut. Kebudayaan dan simbol-simbol Dayak menjadi ikon utama Kalimantan Timur. Artefak dan penanda kultural Dayak dominan sebagai hiasan fasilitas dan bangunan publik serta pemerintahan. Rumah jabatan Gubernur bahkan dinamai Lamin Etam[5], dihiasi dengan Blawing dengan burung Enggang bertengger di puncaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun