Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jiwa Tersangkar (4, Tamat)

15 Mei 2019   08:00 Diperbarui: 15 Mei 2019   08:22 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Diam-diam ibunya menyimpan kripik kesukaannya itu ke dalam tas pakaian yang telah disiapkan. Misel sungguh sadar bahwa ibunya melakukan semuanya karena cinta dan dukungannya terhadap ziarah panggilanya menjadi imam yang selibater.

Kini, Misel sadar kalau ia benar-benar telah mengkhianati kasih ibunya yang begitu tulus terhadapnya. Ia benar-benar merasa kilaf.

"Ibu..., seandainya ibu ada bersamaku saat ini akan kucium kakimu tuk ungkapkan maafku yang teramat dalam."

Tetapi apa daya, ibunya berada jauh di kampung halaman. Di malam yang sepi itu ia hanya bergumul dalam kesendirian hingga ia tak sanggup menahan air mata yang membanjiri kedua pipinya. Ia mencoba untuk tegar walau terpaksa.

Sementara ia bergulat dengan rasa bersalahnya, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu kamarnya. Bunyi ketukan itu sangat halus dengan suara yang halus pula:

"Tok...tok...tok. Misel buka pintunya. Aku tahu engkau belum tidur.

Misel terperanjat dari lamunannya. Ia kenal betul suara di balik pintu kamarnya itu. Dialah perempuan juru masak yang membuatnya berani mengambil keputusan untuk hengkang dari rumah karantina.

"Apa gerangan dia menghampiriku tengah malam seperti ini? Aiish, perempuan sekiranya engkau tidak dilahirkan mungkin aku tidak bakalan seperti ini. Apakah ia ingin melampiaskan sawatnya, ataukah ia ingin mengejekku karena ternyata aku begitu lemah di hadapannya?

Misel ragu antara menghardik perempuan itu dari dalam kamar atau membukakan pintu dan mempersilakan perempuan juru masak itu masuk ke kamarnya. Berduaan dengan perempuan di dalam kamar tengah malam tentu merupakan suatu kesalahan besar dan tergolong aib di rumah karantina.

"Misel, buka pintunya...!

Suara perempuan juru masak itu makin kencang terdengar. Misel kalang kabut. Ia tidak ingin semua orang terbangun dan menyaksikan seorang perempuan berdiri di depan pintu kamarnya. Dalam keadaan panik, Misel membukakan pintu kamarnya.

Malam semakin suntuk, hening, tak ada bunyi-bunyian seperti jengkrik, longlongan anjing dan percikan air di kamar mandi pun tak kedengaran. Perempuan juru masak itu mengenakan gaun tidur tipis berwarna putih hingga membuat wajah hitamnya bercahaya. Ia menatap Misel dengan wajah garang penuh sindiran:

"Aku tak habis pikir, mengapa orang yang memiliki pengetahuan tinggi sepertimu begitu egois. Padahal bila dibandingkan dengan aku yang berpendidikan rendah dan hanya seorang perempuan juru masak, rasanya aku lebih cerdas dibandingkan kau. Ha...ha...ha..., kau hanya mementingkan dirimu sendiri. Keputusanmu untuk meninggalkan rumah karantina ini hanyalah keputusan sepihak. Kau hanya berpedoman pada hasrat murahan dan bukannya pertimbangan logika. Pikiranmu telah dikaburkan oleh hasrat egomu. Ha...ha...ha..., betapa bodohnya kau. Apakah kau tidak mempertimbangkan bagaimana ibumu yang selalu mendukungmu dengan harapan serta doanya yang tulus?"

Perempuan juru masak itu menghentikan ucapannya sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam kemudian menghebuskannya kembali dalam sekejab. Pria tampan nan gaga perkasa seperti Misel hanya bisa diam dan tertunduk dengan wajah penuh penyesalan. Kemudian perempuan juru masak itu melanjutkan perkataannya:

"Sesungguhnya kau telah mengecewakan ibumu yang adalah seorang perempuan sebagaimana aku juga kecewa padamu. Kau pasti menyesal namun Penyesalanmu tidak memiliki dampak apa-apa. Kau resmi keluar dari rumah karantina ini. Pergilah...! Semoga hari-harimu menyenangkan. Ha...ha...ha..."

Perempuan juru masak itu pun berlalu dalam sekejab mata. Malam kian larut. Semua penghuni rumah karantina terlelap dalam mimpinya masing-masing. Sementara Misel harus menerima cercaan dan hinaan dari perempuan juru masak. Perasaannya semakin hancur. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa hingga pagi menjemputnya.

Misel tentu tidak boleh lagi berlama-lama ada di rumah karantina. Ia sudah harus mengemas barang-barang bawaannya untuk segera pergi. Entah mengapa Ia merasa waktu seakan berjalan begitu cepat.

Pagi yang sebenarnya indah namun terasa menyesakan dada. Kawan-kawannya bergegas ke tempat kuliah. Mereka melambaikan tangan dan perlahan-lahan menghilang. Sungguh suatu lambaian perpisahan yang tak mungkin bersatu kembali seperti keadaan semula. Dan, benarlah bahwa segala sesuatu berubah, segala sesuatu mengalir.

Misel kembali terpekur bisu dalam kesendirian menunggu bus angkutan umum. Tak lama setelah itu, bus pun datang. Ia masuk ke dalam bus yang tak banyak penumpangnya. Dalam bus ia tidak ditemani siapa-siapa. Perasaan dan pikirannya bercampur baur, antara cercaan perempuan juru masak semalam dan upaya mempertanggungjawabkan keputusannya di hadapan ibunya.

Ia pun dihantui perasaan bersalah, karena telah menodai ketulusan dan perjuangan ibunya dalam menyekolahkannya. Ia juga telah menghancurkan obsesi ibunya yang menginginkannya untuk tetap menjadi pria berjubah putih dan menjadi imam selibater.

"Ibu..., tidakkah ibu tahu kalau aku sedang dalam perjalanan kembali ke rumah? Aku tidak membawa hasil sebagaimana yang ibu impikan. Aku hanya membawa segudang kekecewaan buat ibu. Aku tak tahu, harus bagaimana. Inilah keputusan yang aku ambil bukti ketidaksanggupanku. Ibu..., kuharap ibu memahami keadaan serta keterbatasanku."

Misel menatap jauh ke depan, kosong dan sepertinya tak tahu arah. Tak terasa bus sudah berhenti di warung makan. Di situ ia membayangkan kembali teman-tamannya kala makan bersama di warung tersebut pada kesempatan pergi berlibur atau pun kembali dari liburan.

Kini, hal itu hanyalah bayangan berlalu. Semuanya tak akan mungkin terulang lagi. Misel berusaha untuk ceria walau hati diliputi kesedihan. Ia benar-benar sendiri dengan hanya menikmati gado-gado kesukaannya.

Perjalanan berlanjut. Hati dan pikirannya serba kalut. Ia tidak tahu bagaimana mempertanggungjawabkan keputusan di hadapan ibunya yang telah banyak berkorban. Ia telah memutuskan untuk meninggalkan jalan panggilan khusus yang menjadi hasrat, keinginan, dan idealisme ibunya. Dan kini, ia mencoba memilih jalan lain yang ia sendiri tidak tahu harus memulainya dari mana.

Dalam kekalutan itulah, Misel berbelok arah. Ia tidak langsung kembali ke rumah menjumpai ibunya. Ia malah memilih untuk menjauhinya. Ia pun memulai petualangan yang penuh tantangan.

Ia berjalan kian kemari mencari pekerjaan yang sesuai. Suatu usaha yang hanya menuai peluh air mata. Malang baginya. Ia gagal fokus sehingga tak satu pun pekerjaan yang pas di hati dan pikirannya.

Dalam situasi yang tak menentu itu, ia juga sungguh terbebani oleh kuatnya perasaan bersalah. Ia benar-benar ingat dan selalu membayangkan ibunya. Ia sungguh yakin kalau ibunya menghendaki agar secepatnya ia kembali. Sebab, kabar tentang keberadaan dirinya sudah diketahui ibunya. Misel pun kembali larut dalam kesedihan. Ia mengambil notebook dan menuliskan curahan hatinya:

"ibu..., bila kita kembali bersama kan kuceritakan isi hatiku padamu. Tentang usaha dan perjuangan tiada akhir, tentang sesuatu yang tidak kita duga, tentang kasih yang lintas batas, tentang bahasa hati dari semua orang yang berkehendak baik.

Ibu..., engkau sendiri tak pernah berhenti berdoa demi keberhasilanku. Kini aku tahu engkau sangat menderita karena ulahku yang pergi menjauh, menanggalkan jubah putih dan meninggalkan rumah karantina yang ibu impikan.

Ibu..., aku janji bila kita kembali bersama 'kan kukisahkan pergulatan jiwaku saat berhadapan dengan situasi batas. Ada banyak hal yang kita cita-citakan. Tapi, sayangnya kita tak punya apa-apa.

Keadaan ini mendorongku 'tuk pergi jauh sebagai protes di hadapan situasi tak menentu. Aku melakukan semuanya dengan penuh kesadaran. Telah memikirkan konsekwensi terburuk yang bakal aku alami.

Ibu..., situasi itu sedang aku jalani meski ada setitik cahaya remang tengah menerangiku. Kuyakin, ini berkat doamu.

Kini, aku hidup dalam kerinduan mencekam. Inginnya aku berteriak memanggilmu dengan kepasrahan seorang anak  walau cuma dalam keheningan doa dengan kata yang rapuh"

Kata-kata yang ditulis merupakan hasil permenungan pribadi yang mendorongnya untuk kembali. Misel sungguh-sungguh merasa tergerak hatinya untuk kembali ke rumah, menjumpai ibunya. Kisah dalam Alkitab tentang Anak yang Hilang yang ingin pulang, terasa nyata dalam hidupnya.

Jantungnya berdegup kencang tatkalah hendak masuk area perkampungan. Ia melihat barisan orang-orang berbondong-bondong menuju rumahnya. Tak ada senda gurau di antara mereka. Perlahan ia berjalan mendekati rumah. Banyak orang  duduk berkumpul mengelilingi sosok yang terbaring kaku diselubungi sehelai kain tenunan.

Misel mendekati sosok itu. Tak ada kata terucap dari bibirnya atau pun sekedar bertanya dalam batinnya. Dibukanya selubung penutup sosok itu. Tampak olehnya wajah seorang ibu yang tak asing di matanya.

Misel menatapnya begitu dalam. Terbersit guratan kekecewaan terpancar dari wajah sang bunda. Kecut dengan amarah yang tak dapat terlampiaskan. Ia memeluk sosok nan kaku itu. Hati dan jiwanya bergetar. Matanya kunang-kunang. Dadanya teramat nyeri. Jantungnya berhenti berdenyut. Tak ada lagi nafas yang tersisa di sekujur tubuhnya.

Misel pun ikut terpaku dalam diam, membisu, kaku dan membeku bersama sosok ibunya dengan jiwa tersangkar oleh kecewa dan rasa salah hingga keabadian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun