Mohon tunggu...
Yaqub Walker
Yaqub Walker Mohon Tunggu... Petualang -

Seorang petualang alam dan pemikir yang kadang mencoba menulis sesuatu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komunisme dan Islamisme

8 Agustus 2017   11:06 Diperbarui: 8 Agustus 2017   14:41 2075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: http://www.re-tawon.com

As-Syahrastani membagi kelompok Syiah menjadi lima yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyyah, Ghulat dan Ismailiyyah. Sedangkan Asy'ariyyah membaginya menjadi tiga kelompok, yaitu Syiah Ghaliyyah yang terbagi lagi menjadi 15 kelompok, Syiah Imamiyah (Rafidhah) yang terbagi lagi menjadi 14 kelompok, dan Syiah Zaidiyyah yang terbagi lagi menjadi enam kelompok. Mereka (kelompok-kelompok Syiah) sepakat dalam beberapa hal, di antaranya dalam masalah pengangkatan Imam (Khalifah) pasca Rasulullah. Menurut mereka, pengangkatan khalifah telah ditetapkan dalam al-Qur'an dan al-Hadits, dengan kata lain telah ditentukan oleh Rasulullah. Namun di beberapa hal, mereka berbeda pendapat. Perbedaan tersebut akhirnya memunculkan sekte-sekte dalam tubuh kelompok Syiah.

Secara bahasa, khawarij adalah bentuk plural dari kata kharijah, artinya kelompok yang menyempal. Mereka adalah kaum pembuat bid'ah. Disebut demikian karena mereka keluar dari agama, dan keluar dari barisan kaum Muslimin, khususnya dari kepatuhan terhadap Imam Ali. As-Syahrastani berpendapat, setiap orang yang menyempal dari pemimpin sah yang sudah disepakati umat dinamakan khawarij, baik pada masa sahabat di era al-Khulafa ar-Rasyidun maupun pada masa sesudah mereka di era Tabi'in dan para pemimpin lain sepanjang masa. Ulama Fikih menyebut orang-orang yang melakukan hal itu dengan sebutan bughat (pemberontak terhadap pemerintah yang sah). Sedangkan secara istilah, yang dimaksud dengan kelompok Khawarij dalam sejarah Islam adalah orang-orang yang menyatakan keluar dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ra. pasca peristiwa tahkim (arbitrase). Orang yang pertama kali menyempal dari barisan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah sekelompok orang yang dulunya bersama Ali dalam perang Shiffin. Di antara mereka, yang paling keras dan ekstrim dalam beragama adalah al-Asy'ats bin Qais al-Kindi, Mas'ar bin Fatki at-Tamimi, dan Zaid bin Hashin at-Tha'i. Semua kelompok Khawarij sependapat, bahwa mereka tidak mengakui kekhalifahan Utsman ra. maupun Ali ra. Mereka mendahulukan keyakinan ini di atas segala-galanya. Mereka menganggap tidak sah perkawinan kecuali dengan orang yang sepakat mengenai keyakinan mereka ini. Mereka mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar dan tidak wajib manaati imam yang menyalahi Sunnah.

Selain itu, semua kaum Khawarij memiliki beberapa keyakinan yang menjadi kesepakatan di antara mereka. Dengan kata lain, meski mereka terpecah menjadi beberapa sekte, namun semuanya sepakat terhadap beberapa hal, yaitu: [1] Khalifah tidak terpilih kecuali melalui pemilihan bebas yang sah, dilakukan mayoritas umat (bukan hanya sekelompok kalangan terbatas), dan kepemimpinannya terus diakui selama berlaku adil dan menegakkan ajaran agama, jauh dari kesalahan dan kezaliman. [2] Jabatan Khalifah tidak dimonopoli kalangan tertentu. Karena itu, menurut mereka, khalifah tidak harus dari suku Quraisy, atau dari kalangan Arab. Bahkan menurut mereka, khalifah lebih baik tidak berasal dari suku Quraisy, agar mudah dipecat atau dibunuh bila melanggar syariat atau menyimpang dari kebenaran. Karena itulah mereka memilih Abdullah bin Wahab ar-Rasi, yang bukan dari suku Quraisy, sebagai pemimpin dan memberinya gelar Amir al-Mu'minin. [3] Pengangkatan pemimpin tidak wajib secara syariat, namun boleh. Jika harus mengangkat pemimpin, itu karena maslahat dan hajat (kebutuhan), bukan karena dalil agama. Karena hal itu, Najdat, salah satu sekte Khawarij, berpendapat bahwa seorang pemimpin tidak dibutuhkan jika umat sudah bisa berlaku adil antar sesama. [4] Orang berbuat dosa dianggap kafir. Mereka tidak membedakan antara dosa yang satu dengan dosa yang lainnya. Bahkan mereka menganggap kesalahan berpendapat adalah dosa, bila tidak sesuai dengan kebenaran yang mereka yakini. Karena itulah mereka mengkafirkan Ali ra. dan Zubair ra., serta pembesar Sahabat lain.

Meski kaum Khawarij memiliki beberapa keyakinan yang sama, namun dalam beberapa hal, terjadi perbedaan pendapat sehingga memunculkan sekte-sekte dalam kelompok Khawarij. Muhammad Abu Zahrah menyebut perbedaan itu sangat banyak, yang menurut kesimpulannya, itulah yang menyebabkan mereka mengalami kekalahan meskipun di medan peperangan, mereka memiliki pasukan yang tangguh. Sebagai contoh, al-Mahlab bin Abi Shafirah yang memimpin pasukan Umawi untuk memerangi kaum Khawarij, menjadikan perbedaan antar sekte itu sebagai siasat memecah belah dan meruntuhkan kekuatan Khawarij. Di antara sekte Khawarij, ada yang punya pendapat dan keyakinan ekstrim namun ada pula yang moderat. Kaum Khawarij terpecah menjadi 20 aliran.

Kemudian kelompok Mu'tazilah, yang secara bahasa berasal dari kata i'tazala, yaitu memisahkan diri. Dengan demikian, Mu'tazilah adalah kelompok yang memisahkan diri dari orang lain. Istilah ini diambil berdasar pada sejarah awal kemunculan kelompok ini, yakni sejak pemisahan diri tokoh Mu'tazilah bernama Washil bin Atha, dari majelis Hasan al-Bashri. Kelompok ini biasa disebut pula dengan Ashab al-Adl wa al-Tauhid (penyokong keadilan dan monoteisme), dan sering pula dijuluki dengan kelompok Qadariyyah dan 'Adliyyah. Mu'tazilah muncul sejak era dinasti Umayyah, namun berkembang lebih pesat pada era dinasti Abbasiyyah. Para Ulama berbeda pendapat tentang waktu kemunculan benih Mu'tazilah. Sebagian berpendapat hal itu muncul di beberapa kalangan yang awalnya berpihak pada Ali, yang memisahkan diri (i'tazala) dari urusan politik, kemudian berubah menjadi keyakinan akidah. Hal itu terjadi ketika al-Hasan, putra Ali ra., mundur dari urusan khilafah dan diserahkan sepenuhnya kepada Mu'awiyah ra.

Ulama Mu'tazilah, Abu al-Hasan al-Khayyah dalam kitab al-Instishar menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak disebut Mu'tazili (pengikut Mu'tazilah) hingga ia menghimpun lima ajaran, yakni: [1] Tauhid (keesaan Allah), [2] 'Adl (keadilan), [3] al-Wa'd wa al-Wa'id (janji dan ancaman), [4] al-Manzilah baina al-Manzilatain (tempat di antara dua tempat), [5] al-Amru bi al-ma'ruf wa an-nahyu 'an al-munkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran). Lima Dasar Utama (al-Ushul al-Khamsah) ini lah yang menjadi prinsip kelompok Mu'tazilah, sekaligus berfungsi sebagai Rukun Iman mereka. Menurut Mu'tazilah, orang yang tidak sependapat dengan mereka dalam masalah tauhid dikategorikan sebagai Musyrik. Sedangkan orang yang tidak sependapat dengan mereka dalam masalah sifat-sifat Allah dianggap sebagai musyabbih (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Lalu orang yang tidak sependapat dalam masalah al-wa'du wa al-wa'id dianggap sebagai Murji'ah.

Mu'tazilah merupakan kaum yang berpaham bahwa Allah tidak mempunyai sifat, manusia membuat pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata di surga, pelaku dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi'raj Nabi Muhammad saw. hanya dengan menggunakan ruhnya. As-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal mengutip pendapat Washil bin Atha bahwa iman itu ibarat poin-poin kebaikan. Jika poin-poin itu terkumpul maka seseorang dinamakan sebagai mukmin, dan itu adalah predikat terpuji. Meskipun Mu'tazilah meyakini orang yang bermaksiat berada di "tempat di antara dua tempat", namun bagi mereka, tidak apa-apa disebut sebagai Muslim. Nama tersebut, menurut mereka, untuk membedakannya dengan orang-orang kafir dzimmi, bukan untuk memuji atau memuliakannya. Kaum Mu'tazilah terpecah menjadi 20 aliran, termasuk di antaranya adalah Qadariyah.

Menurut Bughyah al-Mustarsyidin, golongan (firqah) lainnya sebagai berikut.

  • Murji'ah ialah kaum yang memfatwakan bahwa tidak apa-apa berbuat maksiat jika sudah beriman, dan juga berbuat kebaikan dan kebajikan tidaklah bermanfaat jika kafir. Mereka terpecah menjadi lima aliran.
  • Najariyah ialah kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah makhluk, yaitu dijadikan oleh Tuhan, tetapi mereka berpendapat juga bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Mereka terpecah menjadi tiga aliran.
  • Jabariyah ialah kaum yang memfatwakan bahwa manusia itu majbur, artinya tidak berdaya apa-apa. Kasb atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya satu aliran.
  • Musyabbiyah ialah kaum yang memfatwakan ada keserupaan Tuhan dengan manusia, misalnya bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik dan turun tangga, dan sebagainya. Kaum ini hanya satu aliran, pengikut Ibn Taimiyah termasuk golongan ini.

Ajaran yang dibawa oleh Ibn Taimiyah menginspirasi terbentuknya Wahabisme di Arabia pada abad ke-18 M. Wahabi adalah pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, sebuah gerakan separatis yang muncul pada masa pemerintahan Sultan Salim III (1204-1222 H). Gerakan ini berkedok memurnikan tauhid dan menjauhkan manusia dari kemusyrikan. Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya menganggap bahwa selama 600 tahun, umat manusia dalam kemusyrikan dan dia datang sebagai mujaddid yang memperbaharui agama mereka. Wahabi muncul melawan kemapanan Umat Islam dalam akidah dan syariah, karenanya gerakan ini tersebar dengan peperangan dan pertumpahan darah. Dengan dukungan Hijaz di bagian Timur yaitu Raja Muhammad bin Saud, Raja ad-Dir'iyah. Pada tahun 1217 H, Muhammad bin Abdul Wahhab bersama pengikutnya menguasai Kota Thaif setelah sebelumnya mereka membunuh penduduknya, tidak ada yang selamat kecuali beberapa orang. Mereka rampas semua harta dan kekayaan penduduk Thaif dan memusnahkan semua kitab yang ada hingga berserakan di jalan. Dari Kota Thaif kemudian mereka memperluas kekuasaannya ke beberapa kota, seperti Mekkah, Madinah, Jeddah, dan kota-kota lainnya. Hingga akhirnya pada 1226 H, Sultan Mahmud Khan II turun tangan memerintahkan Raja Mesir, Muhammad Ali Basya untuk membendung gerakan Wahabi ini.

Sebagian kalangan tidak menyukai istilah "Wahabi", dan lebih menyukai istilah "Salafi". Salah satu alasannya, penamaan dakwah yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahhab dengan nama Wahhabiyyah yang dinisbatkan kepadanya adalah penisbatan yang keliru dari sisi bahasa, karena sang ayah (Abdul Wahhab) tidak menyebarkan dakwah ini. Bagi mereka, Salafi adalah Ahlussunnah wal Jama'ah(Aswaja) itu sendiri. Oleh karena itu, mereka menyamakan istilah Aswaja dengan Salaf. Dalam al-Wajiz fi Akidah as-Salaf as-Shalih disebutkan bahwa Ahlussunnah wa al-Jama'ahadalah golongan yang telah Rasulullah saw. janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba' as-sunnah (mengikuti Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh Nabi, baik dalam masalah akidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin. Menurut mereka, definisi Ahlussunnah wa al-Jama'ahtidak keluar dari definisi Salaf.

Menurut Dr. Sa'id Ramadhan al-Buthi, mengikuti atau ittiba' Salaf dengan mengadopsi serta menerapkan manhaj dan mazhab mereka di dalam memahami al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah memang merupakan kewajiban setiap Muslim. Namun, mengklaim mazhab baru dengan nama Salafiyah atau Salafi, merupakan bentuk fanatisme (ta'ashshub), serta tidak masuk dalam kategori ittiba' (mengikuti) seperti yang diharapkan. Dengan ujaran lain, ittiba' salaf merupakan inti agama dan dasar-dasar yang ditetapkan Sunnah Nabi Muhammad, sedangkan pengklaiman terhadap mazhab Salafi (Salafiyah) merupakan bentuk bid'ah yang tidak diridhai Allah dan bentuk penyelewengan terhadap sesuatu yang tidak ada dasarnya dalam sejarah (tarikh).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun