Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Lima "Kartu Kuning" DKPP untuk Ketua KPU RI

29 Maret 2024   07:14 Diperbarui: 29 Maret 2024   08:36 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto suasana sidang etik dugaan pelanggaran verifikasi faktual partai politik peserta pemilu dengan mengubah data dari tidak memenuhi syarat menjadi memenuhi syarat, di DKPP, Jakarta, Rabu (8/2/2023). (KOMPAS/Hendra A Setyawan)

Terkait hal itu, baik di UU Pemilu maupun didalam Peraturan DKPP memang tidak ditemukan norma tertulis dan penjelasannya mengenai frasa "peringatan keras terakhir" ini. 

Apa maksudnya dan bagaimana konsekuensi dari sanksi teguran kategori ketiga ini. Misalnya jika yang bersangkutan telah menerima teguran "peringatan keras terakhir" lebih dari satu kali apa konsekuensi atau implikasi hukum selanjutnya.

Tetapi jika menggunakan logika, setidaknya common sense (akal sehat) publik, pelanggar kode etik yang telah lebih dari satu kali mendapatkan sanksi teguran berupa "peringatan keras terakhir", mestinya berlanjut ke level sanksi yang lebih berat yakni pemberhentian (baik dari jabatan ketua atau status sebagai anggota KPU). 

Karena terbukti lima kali sanksi peringatan ini sama sekali tidak menimbulkan efek jera. Bukan malah dijatuhi lagi sanksi yang sama, yaitu "peringatan keras terakhir" lagi.

Kedua, bahwa DKPP memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian, termasuk pemberhentian tetap sebagai anggota KPU. 

Sekali lagi, dalam nalar sehat publik, ketika seorang terhukum/tersanksi pelanggar kode etik telah dijatuhi peringatan keras terakhir sekali saja, maka tahapan sanksi berikutnya mestinya lebih berat lagi level atau kualifikasinya dan tuntas. Dan itu tidak ada opsi lain kecuali pemberhentian.

Pada titik inilah maka kemudian, sekali lagi publik pantas mempertanyakan, mengapa DKPP masih terus saja menjatuhi sanksi "peringatan keras terakhir"? Bukan pemberhentian. Lantas, "akhir dari yang terakhir" itu kapan dan bagaimana?

Spekulasi Politik

Dampak dari lima "kartu kuning" untuk Ketua KPU RI ini, yang sekali lagi jika menggunakan nalar sehat publik mestinya sudah sampai pada level sanksi yang lebih berat namun faktanya (sangat mungkin) masih akan terus berlanjut dengan "peringatan keras terakhir" untuk kesekian kalinya nanti, spekulasi politik kemudian berkembang.

Spekulasi yang pertama, seperti dialami elit-elit partai politik, pimpinan DKPP mungkin juga "tersandera" oleh kekuasaan. Bukan karena dugaan kasus korupsi dan yang sejenisnya. Melainkan "tersandera" oleh jasa yang harus dibalas ketika mereka terpilih dulu, baik kepada partai politik maupun Presiden.

Spekulasi yang kedua DKPP terlampau "peduli" dengan dinamika politik elektoral yang masih panas. Dalam konteks ini mereka boleh jadi berpikir bahwa terlalu riskan untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap Ketua KPU dalam situasi perhelatan Pemilu masih berlangsung dan tengah memasuki fase sangat krusial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun