Kerepotan orangtua minimal adalah menyampaikan materi yang disampaikan guru melalui media seperti email atau pesan dari ponsel. Anak paling mandiri sekalipun tidak akan bisa mengaksesnya jika memang belum saatnya diberikan keistimewaan memiliki ponsel oleh orang tuanya.
Masalah metode online ini juga mulai terdengar dikeluhkan oleh para orang tua yang berpenghasilan pas-pasan dan tidak terbiasa menyediakan lebih banyak kuota data internet.
"Anak saya minta beli kuota terus, buat tugas sekolahnya," keluh seorang ibu.
Lain lagi dengan para orang tua yang berprofesi sebagai pegawai kantoran dan harus menjalankan WFH alias Work From Home. Pada akhirnya pekerjaan paling utama yang dilakukan saat di rumah adalah sebagai guru bagi anak-anaknya.
"Untungnya anak saya yang SD masih satu, banyak banget tugasnya, mana susah-susah pula, saya sudah lupa pelajaran begitu..." cerocos pegawai WFH yang berperan ganda sebagai guru di rumah.
Iya juga, anak satu saja sudah memeras tenaga dan otak, bagaimana yang punya beberapa anak.
Katakanlah ada orangtua yang memiliki tiga anak, masing-masing kelas 1, 3, dan 6 SD. Guru di sekolah saja hanya mengampu satu kelas, ini guru dadakan di rumah harus mengawal tiga tingkat kelas sekaligus.
Sudah begitu kalau si anak manjanya kumat, malesnya muncul, atau gaya santuy-nya terlalu menyatu dengan suasana rumah, tentu bakal ambyar pembelajaran jarak jauh yang diterapkan. Belum lagi kalau sudah berantem dengan kakak atau adiknya, ohmaigat pusiiing....
Memang sudah sewajarnya dan menjadi tanggung jawab orang tua untuk membantu anak belajar, bahkan dalam kondisi keseharian normal tanpa adanya situasi seperti saat ini.
Tapi dengan tugas-tugas anak yang semakin banyak dan ada target-target yang harus dilakukan, mau tidak mau orangtua harus lebih banyak turun tangan dalam pembelajaran.
Maka bisa dipastikan ada yang kalang kabut antara pekerjaan memasak, jadi guru, ngepel, jadi guru, nyuci, jadi guru, dan seterusnya sampai corona lenyap dari muka bumi ini.