Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan Sembilan Tanggal Sembilan

10 Maret 2019   20:50 Diperbarui: 12 Maret 2019   19:34 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bawah siraman cahaya bulan, waktu itu engkau kembali bertanya, "Ayah, apakah buat orang-orang sepertiku, Tuhan masih mau mendengar dan mengabulkan permintaanku?"

Spontan aku menjawab, "Tentu saja, Dia akan selalu ada untuk hamba-Nya, hamba yang selalu ingat dan setiap saat selalu rindu ingin menyebut nama-Nya."

Perlahan gerimis mulai turun membasahi sekujur tubuhku, makam, dan juga bunga mawar yang baru saja kutabur di pusaramu.

"Ayah sayang Bunda. Tidurlah yang lelap. Semoga engkau mimpi indah di dalam tidur panjangmu."

****


Hari ini adalah tanggal sembilan bulan sembilan. Genap setahun dari saat di mana dulu pada hari dan tanggal yang sama aku mengunjungi pusaramu, rumah peristirahatanmu yang terakhir.

Dan, di sini, tepat tiga tahun yang lalu, di bawah sinar bulan purnama, di malam terakhir engkau menemuiku, kaurebahkan kepalamu di bahuku. Suasana begitu hening. Sambil menangis, engkau tumpahkan semua rasa sesal, kepedihan, dan ketakutanmu di dadaku. Aku terpaku mendengar semua ceritamu.

Angin bertiup kencang, mendung datang. Di antara dedaunan yang mulai berguguran, dari trotoar jalanan, kutatap awan hitam yang mulai menutupi cahaya bulan. Aku tahu, begitu berat rasanya bagimu saat itu untuk bercerita tentang semua kehidupan pribadimu. Aku tahu, engkau wanita hebat. Kepasrahanmulah yang akhirnya berhasil memenangkan pertempuran yang saat itu tengah berlangsung di dalam kebimbangan hatimu.

Jauh di dalam relung hatimu yang paling dalam, aku bisa merasakan ketakutanmu yang membuatmu tidak pernah mau memberikan alamat rumah dan nomor ponselmu padaku. Namun malam itu, kulihat engkau begitu pasrah untuk siap dengan semua keputusanku setelah mendengarkan semua cerita tentang hal-hal yang selama ini menjadi momok yang begitu menakutkan bagimu. Sambil menghela nafas, di antara desiran angin malam, perlahan engkau mulai bercerita.

Dulu, cerita tentang gemerlapnya ibu kota membulatkan tekadmu meninggalkan kampung halamanmu. Di iringi tangis teman-teman sepengajianmu, engkau lambaikan tanganmu pada kedua orangtuamu dan juga teman-temanmu yang mengantarmu sampai di batas antardusun di bawah kaki bukit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun