Tak pernah kusangka, aku bertemu dengan seseorang, yang kasihan padaku. Aku ditemukan olehnya, ketika aku tersesat dalam sebuah hutan kecil perbatasaan kota. Dibawanya aku pada sebuah desa, jauh dari hingar bingar kota. Mengajari tentang hidup dan arti hidup.
Hidupnya berasal dari alam sekitar tempat tinggalnya. Beras dari padi yang ia tanam sendiri. Sedangkan lauk pauk dari empang, yang dibuatnya sendiri. Sayur mayur juga dari ladang.
Aku merasa nyaman dan kerasan. Banyak pelajaran berharga, yang bisa aku ambil. Tak terasa bertahun-tahun hidup di sini. Mencari nafkah seperti yang dilakukan dari sang guru, begitu aku memanggilnya. Memang jauh dari kota. Tetapi diriku mampu menjelma menjadi sosok yang berbeda.
Hingga suatu hari, aku seperti diingatkan akan sosok ayah. Aku sungguh rindu ayah. Meski begitu kerasnya ia padaku. Tetapi ia tak terganti. Ayahlah yang merawatku selama ini hingga aku sekolah menengah atas. Luluh kemarahan yang membelenggu. Aku ingin pulang. Tanpa rasa dendam.
Ya, ya. Kemarahan dulu bukan tanpa alasan. Tetapi kemarahan itu mampu membuatku lebih dewasa. Dan kini aku kembali. Dengan cinta. Di sini. Bukan untuk menetap. Melainkan singgah sejenak. Untuk sekedar menengok ke masa lalu. Bukan untuk menghinggapinya. Melainkan untuk belajar. Apa arti hidup yang sebenarnya.
***
Tepat saat aku tiba di rumah yang membesarkanku, hujan jatuh sangat deras. Aku melihat sosok laki-laki tua tengah menunggu di teras. Dengan guratan mengeras di dagunya. Tiba-tiba aku ingin memeluknya. Aku berlari menujunya.
"Ayah, ini Darma anakmu. Maafkan aku."
Ayah tak mampu menyembunyikan air matanya. Yang kali ini dibiarkannya mengalir. Pelukan hangat dan eratnya, sebagai pertanda. Maaf itu ada untukku.
Semarang, 1 Juni 2019.