Itulah kata terakhir yang kudengar dari mulut ayah. Karena setelahnya aku pergi tanpa pamit. Malam hari setelah ayah terlelap, mengendap dan pergi sejauh mungkin dari jangkauan ayah. Berlari, bahkan sampai berhari-hari. Tak tentu arah. Hingga tiba di suatu tempat. Yang bisa mengubahku.
Kemarahan membawaku pergi. Dari rumah ayah. Tak peduli ayah. Bahkan aku sangat membenci ayah ketika mengingatnya. Tuduhan ayah secara sepihak, bahkan tak memberi kesempatan agar aku mengatakan yang sesungguhnya.
***
Aku hanya hidup dengan ayah. Di sebuah rumah kecil, dengan halaman yang banyak ditumbuhi bunga sepatu sebagai pagar hidup. Dulu ketika kecil aku pernah bertanya kepada ayah. Kemana ibu? Ayah hanya bilang, bahwa ibu telah menuju langit. Tetapi kemudian ia meralatnya, saat aku menjelang SMP. Ia bilang bahwa ibu meninggalkanku ketika kecil karena ia lebih mementingkan kariernya sebagai penyanyi. Sejak itu, ayah yang mengasuhku.
Sikap keras ayah dalam mendidikku, itu lebih disebabkan karena sakit hati ayah terhadap ibu. Rasa bencinya pada kelakuan ibu seolah ditimpakan kepadaku. Sedikit saja salahku, marah ayah seperti angin beliung. Meskipun ia tak pernah memukulku. Tak pernah, walau sedikit. Aku tahu, ada rasa sayangnya padaku. Tak ditampakkannya.
Kadang ayah bersikap lembut. Mengajariku memancing ikan di dekat danau, dua kilometer dari rumah. Lalu diajarkannya memasang kail, agar tak mengganggu konsentrasinya saat memancing. Karena aku selalu merengek untuk dipasangkan kailnya. Itulah memori yang indah dengan ayah yang selalu kukenang.
Pernah aku melihat ayah menyeka air mata. Tetapi kemudian ia cepat-cepat bersikap biasa, karena ia tahu aku ada di dekatnya.
"Ayah kenapa?"
Ia hanya menggelengkan kepala sambil menjawab tidak ada apa-apa.
***
Sebenarnya bisa saja aku mencari ibu. Lalu aku ikut dengan ibu. Tetapi ibu bahkan menolakku, saat dulu pernah aku menelponnya. Hal itu terjadi sebelum pelarianku dari rumah ayah.