Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengkritik pada Ranahnya...

24 Januari 2016   06:53 Diperbarui: 24 Januari 2016   09:55 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sejak awal JKN, salah satu pertanyaan paling sering kepada saya adalah "Anda orang BPJS ya? Kok membela BPJS terus?"". Tidak jarang, ungkapannya tidak demikian, tidak "standar", tetapi menghakimi. Maka kemudian saya menuliskan penjelasan, terakhir saya sampaikan bahwa saya tidak membela BPJS, saya membela JKN. Mengapa? Karena sampai hari ini, JKN yang saya pandang pilihan terbaik. Sampa nanti terbukti ada pilihan yang lebih baik, saya akan membela JKN. 

Tetapi kan masih banyak masalah? Oh jelas, masih banyak masalah. Tapi kan BPJS juga salah? Oh jelas, ada porsi yang harus kita kritik di BPJSK sebagai salah satu pihak yang terkait dalam pelaksanaan JKN. Tapi kok tidak pernah mengritik BPJSK? Mari kita jernihkan. 

Bila dibuka secara perlahan di Note FB (setting public), maka tergambar jelas perjalanan saya dalam mengawal JKN. Tidak ada yang saya tutup-tutupi. Kritikan itu banyak, hanya saya juga berusaha mengarahkan kritik sesuai ranahnya. Sembarangan mengarahkan kritik, risikonya menjadi tidak efektif dan bahkan bisa - maaf - ditertawakan. Untuk itulah saya berusaha belajar, membaca apa yang bisa dibaca dan diakses oleh publik. Jelas saya bukan ahli asuransi kesehatan. Saya hanya belajar soal regulasi JKN. Pasti ada potensi salah, karena kekurang pengetahuan saya. Tetapi minimal, saya tidak asal bunyi. Saya berusaha mendasarkan pada regulasi yang bisa kita akses bersama-sama. Mangga dan mohon dikritik agar saya belajar. 

Apakah ada kritik untuk BPJSK? Oh banyak. Misalnya soal aktivasi kepesertaan, soal masa tenggang, soal pendaftaran janin, soal keterlambatan pencairan klaim, soal akses verifikasi eligibilitas peserta, soal proses verifikasi klaim, soal akses ke rekam medis, soal penyelesaian klaim yang dispute, banyak lagi. Poin-poin itu sudah pernah, bahkan beberapa disampaikan berulang, di note FB saya. Soal koding, sebenarnya ranah Kemkes (Permenkes 27/2014), tetapi pelaksanaanya masih sering timbul salah paham. 

Itu untuk FKRTL (RS). Sedang di FKTP (Puskesmas, Klinik dan Dokter Praktek Mandiri), ada beberapa hal yang menjadi catatan. Misalnya soal penetapan norma kapitasi, soal pengguaan P-Care, soal kegiatan preventif dan promotif, soal kompetensi dan kewenangan, maupun soal proses kredensialing dan rekredensialing. 

Sisi lain, soal penetapan tarif, penetapan daftar obat (Fornas), penetapan daftar alat (Kompendium), penyusunan grouping INA-CBGs, soal Standar Pelayanan Kedokteran, adalah ranah Kemkes. Begitu juga soal penetapan besaran premi, penetapan PBI, penetapan manfaat yang ditanggung maupun tidak ditanggung, adalah ranah Presiden. 

Jadi jangan kritikkan hal seperti itu ke BPJSK. Salah arah. Jangan biarkan dan jangan "paksa" BPJSK masuk ke hal yang bukan menjadi ranahnya. Kalau kita mengritik yang bukan ranahnya, kemudian kita salah-salahkan yang bukan menjadi tugasnya, itu sama saja kita memancing dan mendorong BPJSK untuk memasuki yang bukan ranahnya. 

Salah satu contoh yang mudah adalah soal Rujukan Berjenjang. Sebenarnya, kewenangan mengatur Rujukan Berjenjang ada pada Dinas Kesehatan dan Organisasi Profesi (Permenkes 1/2012). Tetapi selama ini, kita memang masih belum memperhatikan benar soal ini. Sekarang karena tuntutan efisiensi dan efektivitas, diberlakukan di era JKN. Kita menudingkan kesalahan pada BPJSK. Saya juga mengritik, untuk mendorong agar dikembalikan kepada aturannya. Tetapi itu juga berarti suatu tantangan bagi para penyedia layanan, yang adalah juga anggota Organisasi Profesi, untuk membenahi diri melaksanakan amanah regulasi Sistem Rujukan Berjenjang. Apakah mudah? Tidak. Sulit. Tetapi itu tidak memberi kita alasan untuk begitu saja menyalahkan BPJSK yang menerapkan prinsip rujukan berjenjang selama kita sendiri ternyata belum sempat mengaturnya. 

Apakah itu semua hanya saya tuliskan di medsos? Tidak. Di forum dimana saya diundang oleh BPJSK pun, hal-hal itu saya sampaikan secara terbuka. Selama niat kita memang mengritik untuk perbaikan, selama ini pula saya tidak mendapatkan tanggapan yang negatif secara berlebihan. Reaksi pasti ada, tetapi masih terukur dan bisa diselesaikan dengan diskusi untuk mendudukkan masalahnya. 

Memang pangkal banyak masalah di JKN, hemat saya, ada pada pasal 24 ayat 3 UU SJSN 40/2004. Pasal ini memberi tugas (yang sampai batas tertentu juga berarti memberikan kewenangan) terlalu berat (dan terlalu besar) bagi BPJSK. Tuntutannya BPJSK harus efektif dan efisien. Akibatnya menimbulkan dorongan untuk masuk sampai ke yang di luar ranahnya. Perpres sebenarnya sudah mengurangi sebagian tugas itu dengan membagi kewenanganya ke Kemkes. Tetapi tetap saja pasal 42 Perpres 12/2013 maupun pasal 43A Perpres 111/2013 masih memberikan tugas (dan kewenangan) besar kepada BPJSK. 

Masalahnya, merubah UU bukan pekerjaan mudah. Perlu investasi finansial, biaya politik maupun biaya sosial yang tidak ringan. Jalan yang cukup elegan adalah pengaturan pada level Perpres. Maka kita sering mendorongkan kritik agar Presiden merevisi Perpres. Salah satu yang seharusnya sudah direvisi sebelum 1 Januari 2016 adalah revisi tentang besaran premi JKN. Tetapi ternyata sampai saat ditulisnya catatan ini, laman resmi Setneg dan Setkab belum menunjukkan terbitnya Perpres tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun