Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penghuni Surga yang Merusak Surganya Sendiri

5 Maret 2020   00:01 Diperbarui: 5 Maret 2020   01:01 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang warga negara Belanda yang semasa hidupnya lebih banyak bermukim di Indonesia, MAW Brouwer, pada sekitar tahun sembilan puluhan, sempat menulis di salah satu media terkemuka negeri ini, bahwa bumi Pasundan diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum oleh karena saking lengkapnya keindahan bumi Parahiyangan tersebut. 

Dari mulai alamnya yang indah, makanannya yang lezat, hingga gadis-gadisnya yang cantik rupawan.  Tak disebutkan bahwa para pemudanya juga tampan rupawan belaka, entah karena alasan apa.  

Mau ditanyakan kepada beliau, dirinya sudah tenang di alam baka sana, tak jelas sedang tersenyum atau tidak.  Disuruh nyusul ke sana, nanti dulu deh, mau nyantai-nyantai saja ke sananya.

Di belahan daerah yang lain, dengan keindahan alam yang lain pula jenisnya, namun dihuni oleh penduduk yang siang malam melakukan ritual peribadatan dalam menyembah dewa-dewi.  

Alam yang indah, ditingkahi dengan ritual peribadatan yang khusuk, membuat pulau indah tersebut kian menawan.  Lagi-lagi orang-orang dari luar menjuluki pulau tersebut sebagai pulau dewata, tempat para dewa-dewi khayangan turun ke bumi.  

Para penduduk pulau itu sendiri hanya terkaget-kaget mengetahui bahwa tanah tumpah darah peninggalan nenek moyangnya dikagumi penduduk sejagat raya.  Jika planet Pluto masih diakui, bisa jadi para penduduknya pun ikut mengakui sebutan pulau dewata tersebut tepat adanya.

Sebetulnya, di bumi pertiwi ini, nyaris di setiap tempatnya, dari kota hingga pelosok desa mempunyai alam yang indah belaka.  Iklimnya sangat bersahabat, karena perbedaan antara suhu tertinggi dengan suhu terendah tidak terlalu ekstrim.  Membuat irama tubuh tidak melejit-lejit perubahannya. 

 Matahari bersinar sepanjang tahun, hanya sehari dua saja yang kadang kala absen menyinari bumi.  

Itu pun sudah membuat warganya yang manja bukan buatan sudah mengeluh kesana kemari, dari yang mengeluh karena jemurannya tidak kering, masuk angin, batuk pilek dan kedinginan.  

Padahal suhu terendah pada umumnya tak pernah kurang dari dua puluh derajat Celsius, suhu standar di ruang gawat darurat rumah sakit-rumah sakit yang ada di negeri tersebut.

Para penduduknya pun dikenal sebagai ramah tamah adanya, penyebabnya tak lain dan tak bukan karena kebiasaannya menyapa ramah siapapun yang dijumpai.  Tak peduli kenal ataupun tidak, lebih khusus lagi jika yang disapa adalah warga negara asing yang memiliki perbedaan mencolok terkait bentuk tubuh dan warna kulit, mata, rambut dan lain sebagainya.  

Tak jelas, apakah ramah atau sekedar rasa ingin tahu.  Selain dikenal ramah tamah, sebagian besar warga dunia juga mengenal penduduk negeri ajaib ini sebagai individu yang gemar tersenyum.  

Jika orang Mesir mengatakan, jika kita masih bisa tersenyum, maka kita belumlah miskin.  Maka penduduk bumi pertiwi ini, yang gemar tertawa-tawa nyaris semuanya dapat dianggap sebagai orang yang kaya raya jika dilihat dari sudut pandang orang Mesir.  

Seorang pengamat dari Amerika Serikat, sempat terkaget-kaget dan bingung bukan buatan tatkala mengunjungi korban gempa dahsyat di Yogyakarta tahun 2006.  

Alih-alih mendapati para penduduk korban gempa yang sedang bersedih, malah ia disambut hangat oleh penduduk di tenda-tenda pengungsian yang sedang riang gembira.  

Tertawa-tawa seperti tak kurang suatu apa, padahal sebagian besar rumah tempat tinggalnya telah porak poranda, dihantam gempa tektonik pada suatu pagi yang dingin.

Khusus untuk sebutab gemar tersenyum, memang rakyat negeri ini sulit untuk didefinisikan penyebabnya, sebab mereka bisa tersenyum atau tertawa tergantung keinginannya sendiri, tanpa memikirkan akibatnya bagi orang lain.  

Orang yang sudah jelas-jelas melakukan kesalahan sebagai koruptor kelas kakap, yang merampok uang negara hingga triliunan rupiah pun, masih berani tersenyum bahkan tertawa-tawa sambil melambai-lambaikan tangan ke depan khalayak di layar kaca.  

Bahkan acapkali menyiapkan diri untuk berpose di hadapan wartawan, sambil tersenyum seolah-olah seperti orang baru saja melakukan perbuatan yang sangat berguna bagi bangsa dan negara, atau setidaknya tersenyum riang seperti orang yang sedang mendampingi putrinya yang baru selesai wisuda, dengan nilai summa cum laude.  

Tak bisa dibayangkan jika kejadian tersebut terjadi di Jepang, bisa-bisa seluruh kerabat, family dan handai taulan pelaku beramai-ramai memaksanya  melakukan harakiri di hadapan kaisar.

Bayangkanlah, sekelompok orang, dianugerahi alam yang indah dengan segala isinya.  Diberikan iklim yang bersahabat, seolah-olah Tuhan menciptakan negeri yang indah dan satu-satunya tersebut hanya khusus untuk mereka, namun apa yang dilakukan para warganya.

Kekacauan Buatan Sendiri

Dalam sebuah dialog film produksi Hollywood, seorang manajer toko marah-marah kepada pegawainya, yang melakukan kesalahan dan mengakibatkan kekacauan.  Yang membuat miris, kalimatnya adalah: "Baru sehari saya tinggalkan toko ini, pulang-pulang ia sudah jadi seperti Indonesia.".  

Dialog yang lain dari sebuah film Hollywood, seorang ibu memarahi anak remajanya yang kamarnya centang perenang tak karuan, "Bersihkan dan rapihkan kamarmu nak, jangan berantakan seperti Indonesia.". 

Benar, itulah yang dilakukan oleh rakyat negeri ini, terutama di daerah perkotaan, yang diprakarsai oleh penduduk kelas menengah bawahnya oleh sebab demi mencari nafkah dalam sektor informal.  

Pedagang kaki lima yang berjualan sekehendak hatinya di fasilitas publik, membuat bangunan-bangunan semi permanen untuk berjualan di atas got-got, saluran air yang seharusnya dibebaskan agar mudah mengontrol aliran airnya.  

Betapa sulitnya para polisi pamong praja mengawasi mereka, menertibkan mereka, karena selalu berulang-ulang melakukan pelanggaran.  Ditertibkan, baik sebentar, begitu pengawasan lengah balik lagi.  

Jika diambil tindakan tegas, mereka berlagak sebagai korban kesewenang-wenangan petugas, akibatnya petugas jadi salah tingkah dan tampak buruk rupa di mata masyarakat.  

Di saat hujan tiba, maka dapat dipastikan bencana banjir melanda nyaris semua kota yang penataan saluran airnya tidak beres, ketidak beresan mana sebetulnya disebabkan oleh warganya sendiri.  

Namun yang jadi bulan-bulanan caci maki yah kepala daerahnya sendiri, akibatnya sang kepala daerah hanya bisa terbengong-bengong seperi orang kehilangan akal.

Di daerah pedesaan, terutama yang memiliki sumber daya alam melimpah, maka alamnya tak luput dari eksploitasi yang dilakukan oleh penduduk perkotaan yang kaya raya, bahkan acapkali bekerja sama dengan pengusaha dari luar negeri. 

 Jadi penduduk kota yang miskin merusak kotanya sendiri, penduduk kota yang kaya merusak kampung orang lain.  Semuanya demi mencari nafkah.

Dalam hal tidak mencari nafkah, perilaku warga negeri indah ini, juga tak lebih baik.  Seorang manajer HRD di sebuah perusahaan pernah menegur seorang karyawannya yang membuang sampah sembarangan, jawabannya: "Yang membuang sampah sembarangan bukan saya sendiri kok pak, tuh yang lain juga banyak.  Kok hanya saya yang ditegur.".  

Dengan jengkel sang manajer membalas, "Yang lain saya nggak lihat, tapi anda saya lihat barusan.".  "Yah udah pak, kalau begitu nanti saya bantuin bapak nangkap yang buang sampah sembarangan, baru saya dan dia dikasih sanksi, supaya adil.".  

Sang manajer mati angin, teringat beberapa waktu lalu seorang karyawan lain yang ditegurnya menjawab, "Nggak apa-apa pak, kalau nggak kotor nanti petugas kebersihan makan gaji buta, bapak juga yang rugi.".  Jika mereka berdua berada di pinggir sungai, bisa dipastikan sang karyawan terkutuk tersebut sudah berpindah ke dasar sungai.

Karena sang manajer juga bekerja sebagai dosen di sore harinya, ia beranggapan, mungkin karyawan pabrik pendidikannya agak rendah, jadi susah diatur.  Sesampainya di kampus, ia menegur dua orang mahasiswa yang sedang duduk dan di lantai di hadapannya tampak segumpal kertas dan plastik bekas.  

Sang manajer yang sudah bersalin profesi sebagai dosen tadi menegur agar mengambil sampah tersebut dan membuangnya di tempat sampah, dengan tanpa dosa mahasiswanya menjawab, "Itu bukan saya yang buang pak, nggak tau siapa.".  Beruntung sang dosen tak memiliki kelainan jantung.

Di rumah, sang pekerja idealis tersebut memiliki dua orang putri dan dirinya menganggap telah sukses mendidik anak, dengan ukuran anaknya sedari kecil tak pernah membuang sampah selain di tempat sampah.  

Jika si anak tak menemui tempat sampah, sementara mereka ingin membuang sampah maka sampah tersebut akan dibawanya hingga ditemukan tempat sampah.  Hebat sekali.  

Namun begitu sang ayah melihat kamar putri tercintanya, kamar putri sulungnya mirip suasana kapal Titanic yang nyaris tenggelam, dan kapal putri bungsunya mirip kapal Poseidon yang juga pada saat menjelang tenggelam.  

Jika ditegur jawabnya cukup menyakitkan, "Kan aku nggak rapi di kamar aku sendiri Ayaah, kalau di luar kan aku selalu rapi dan jaga kebersihan.".  

Sang pria pekerja idealis yang malang tersebut tak tahu mesti berkata apa, akhirnya mengetik artikel dan berkeluh kesah kepada pembacanya.  Sebab akan mengadu kemana lagi selain ke Kompasiana.

Begitulah kurang lebihnya, rakyat negeri ini, bagaikan penghuni sorga yang merusak sorganya sendiri.  Entah kapan mereka akan sadar.  Padahal mereka seharusnya paham, bahwa alam ini dititipkan kepada para manusia untuk dijaga, bukan dirusak binasakan.  Seperti kata orang Nepal, "Jika sungai terakhir sudah mengering, dan ikan terakhir tak bisa ditangkap serta pohon terakhir sudah mati, maka pada saat itulah kita sadar bahwa uang tak bisa dimakan. 

 Jadi mari kita jaga lingkungan, dengan hal paling kecil, buanglah sampah pada tempatnya.  Biasakanlah melakukan sesuatu dengan benar dan sesuai aturannya.

Tangerang, 04 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun