Ketika huruf pertama dari artikel ini ditulis, situasi pemerintahan di Amerika sedang genting, ancaman Government Shut Down kembali membayangi, pemerintahan Trump sedang berjuang keras meyakinkan Kongres dan Senat untuk mendapatkan dana guna mendirikan tembok pembatas antara Amerika Serikat dan Meksiko. Pembangunan tembok tersebut merupakan janji kampanye yang harus ditunaikan oleh Trump – dan persetujuannya termasuk dari salah satu executive order yang ditargetkan harus dituntaskan dalam 100 hari pertama kepemimpinan Presiden ke-46 Amerika Serikat ini.
Tembok sepanjang 3100 kilometer ini diperkirakan akan membutuhkan dana sebesar 15 milyar US Dollar atau setara dengan 200 triliun Rupiah dan jika sampai batas waktu yang ditentukan Senat dan Kongres tidak menyetujui pengajuan anggaran tersebut – maka Pemerintah Federal Amerika Serikat akan tutup dan tidak berfungsi untuk sementara (shut down).
Terpilihnya Trump merupakan sesuatu yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya, menghabiskan umurnya di bisnis properti tanpa pernah sekalipun memiliki pengalaman baik di pemerintahan maupun politik – Tokoh berusia 73 tahun ini menjungkirbalikkan prediksi banyak pengamat politik mutakhir – sekaligus meyakinkan banyak orang tentang “Keajaiban Demokrasi" dan membuat para pakar dan pengamat politik mulai menghitung apa yang kemudian disebut dengan Sindrom Pemimpin Populis (Populist Leader Syndrome).
Pemimpin Populis dalam terjemahan bebas penulis ialah :” Pemimpin yang dikenal masyarakat karena Karakter dan Kebijakannya “ lebih jauh karakter dan Kebijakan yang dimaksud disini ialah sifat dan Kebijakan dari sang pemimpin yang bersifat KONTROVERSIAL bukan KONVENSIONAL. Masyarakat tidak punya ruang memori yang cukup untuk mengingat hal-hal yang konvensional – namun ingatan bawah sadar Rakyat kebanyakan akan menyediakan ruang memori yang besar untuk menyimpan jejak-jejak kontroversial dari seorang pemimpin atau tokoh.
Citra kontroversial dan populer bahkan harus melekat dari sosok seseorang jauh sebelum ia memegang jabatan publik – bahkan sejak ia memutuskan untuk terjun ke dunia politik atau mengincar jabatan politik tertentu.
Demokrasi yang diyakini sebagai bentuk terbaik pemerintahan memang memberikan hak kepada rakyat untuk memilih langsung wakil-wakilnya atau pemimpinnya –di sini mayoritas rakyat akan menggunakan memori jangka pendeknya dalam memilih pemimpin – jarang sekali yang memilih menggunakan analisa dan pertimbangan yang panjang – dan memori jangka pendek mereka pastilah akan cenderung untuk memilih calon yang KONTROVERSIAL ketimbang KONVENSIONAL.
Parag Khanna – Pakar Hubungan Internasional ternama saat ini dalam sebuah wawancara dengan media pasca terpilihnya Trump pernah menjelaskan fenomena ini dengan sebuah statement, “There is a massive surplus of people who are representatives (who’s legitimacy derives from the ability to get elected through process of local politics) and massive deficit of people who actually know how to administer a state." yang terjemahan bebasnya, “Semakin banyak orang yang mendapatkan legitimasi kepemimpinan melalui pemilu/pilkada (Politisi Populis) – sementara teknokrat yang sebenarnya paling paham mengadministrasi negara semakin sedikit dan terpinggirkan dari arena kepemimpinan”
Jakarta, 1 Desember 1965…
Sebuah surat yang ditulis oleh Moh Hatta (Bung Hatta) meluncur ke meja Bung Karno, Presiden Seumur Hidup sekaligus pemimpin besar revolusi Republik Indonesia. Ketika itu, surat ini merupakan salah satu dari beberapa surat yang ditulis oleh Bung Hatta kepada sahabatnya, Bung Karno sejak ia mundur dari posisi Wakil Presiden RI 1 Desember 1956 akibat perbedaan pandangan dengan Bung Karno.
Yang menarik dari isi suratnya ialah Bung Hatta yang merupakan seorang politisi menjelaskan secara detail kekeliruan pemerintahan saat itu dalam mengambil kebijakan ekonomi yang berkaitan dengan kenaikan harga BBM dan gaji PNS - berikut cuplikannya yang saya ambil dari buku “Demokrasi Kita”, Pikiran-pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat (2008) :
“Pensiun yang saya terima untuk bulan November berjumlah Rp 38.455,- kalau bagi orang pensiunan berlaku pula kenaikan sampai 3 kali, maka saya bakal menerima pensiun sejumlah lebih sedikit dari Rp 115.000,- . Sampai bulan Oktober rata-rata saya membayar rekening gas sebulan Rp 700,- listrik kira-kira Rp 4.500,- sehingga total pengeluaran Rp 5.200 dan kalau ini menjadi 20 kali lipat jumlahnya menjadi Rp 104.000,- sebulan, ongkos gas dan listrik saja sudan menelan lebih kurang 90% dari pensiun.”