Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahagia yang Seperti Apa?

1 Juli 2019   12:11 Diperbarui: 1 Juli 2019   12:21 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bahagia itu ngendikane Simbah berbanding lurus dengan rasa syukur. Kamu tidak bisa menyamaratakan kebahagiaan setiap orang. Kamu hanya bisa merabanya, seseorang yang pandai bersyukur, sudah pasti tingkat kebahagiaannya lebih mudah didapatkan daripada orang yang kurang rasa syukurnya. "

Bisa juga kecemasan yang kita rasakan dengan keadaan kita adalah kebahagiaan yang sedang orang lain idamkan. Kebahagiaan itu sangat kompleks dan banyak dimensi jika mesti ditimpakan dengan sebuah kebenaran. Benarnya kita belum tentu benarnya orang lain, apalagi Tuhan. Ketika kita merasa kehilangan dan kesepian, saat itu rasa cemas pun datang. Namun berbekas pula kesederhanaan rasa bahagia ketika mengingat moment dapat berkumpul dengan orang-orang yang (mungkin) kita sayang. Selanjutnya kita sendiri yang menentukan akan menjadikan pengalaman ini sebagai suatu pembelajaran atau hukuman.

Bahkan sebuah adzab pun adalah sebuah kabar gembira. Sepenggal firmanNya mengatakan, "sampaikan kabar gembira atas adzab yang pedih." Jadi, apakah kita mesti bersyukur pula atas adzab yang menimpa? Salah satu pelajaran paling berharga adalah pengalaman. Dari sebuah adzab pun akan lebih banyak terkandung hikmah daripada sebuah kenikmatan yang sedang dirasakan. Jadi, jika dibilang adzab adalah sebuah hukuman dengan murka-murka yang diceritakan, tidak masuk akal jika mesti disandingkan dengan segala sifat Maha PengasihNya. Tapi ,manusia-manusia tertentu memang butuh diancam dengan hukum-hukum seperti itu karena hanya itu satu-satunya jalan pembelajaran. Baik bagi dirinya, maupun lingkungan sekitarnya.

Kita tidak bisa lari atau mengelak. Yang utama kita minta seharusnya bukanlah sebuah kenikmatan, melainkan sebuah keselamatan. Di dalam kebahagiaan sendiri pasti terkandung kecemasan, begitupun sebaliknya. Kita tidak bisa mengelak akan kehilangan, baik atas materi atau orang yang kita sayang. Kita tidak bisa menuntut keamanan, dan tidak ada salahnya sekali-kali mendobrak sesuatu atau batas-batas kenyamananmu hingga melebur semua rasa-rasa itu dan telitilah segala dialektikanya.

Dan satu yang pasti, kebahagiaan adalah rasa untuk mendewasakan. Dan itu secara siklikal akan terus datang bergantian dengan kecemasan. Darimana asal semua rasa itu? Kita mesti mencari tahunya. Rasa syukur? Bagaimana kalau kita lebih mempelajari perkataan Nabi Musa, "bagaimana lagi aku harus mengungkapkan rasa syukurku kepada Engkau jika rasa syukur ini pun datang dariMu."

Dengan kesadaran akan sebuah kehadiranNya di setiap rasa yang kita alami. Konsep untuk membahagiakan diri dengan mencintai diri sendiri mungkin sudah tidak perlu penghayatan berlanjut. Mencintai diri sediri itu otomatis dan lagi-lagi cara pengekspresian cinta itu berbeda-beda. Terlebih ketika kamu terlanjur sadar, bahwa kamu telah tiada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun