Hari-harimu adalah sepasang mata yang melihatku berhenti di bawah lampu merah. Tetapi kita dua buah jalur yang bahkan tidak bertemu di persimpangan. Yang dipisah keliru dan tipisnya bahu-bahu jalan.
Kau merencanakan perjalanan ke hulu, membawa sekoper penuh celana dan baju-baju, dan dua lembar handuk, dan sebuah kotak bedak yang selalu kauajak ke mana-mana, dan seperempat hatiku yang sengaja kausisakan tiga perempatnya di dalam tubuhku. Untuk membuatku tetap hidup, katamu.
Sementara aku tertatih berlari ke hilir. Memegang dada dengan beberapa bagian sisa hati yang ada. Dengan beberapa rusuk yang patah. Dan takut. Tetapi masih menemukanmu di titik terjauh dari sebuah pelarian. Dengan mata yang sembab. Berbekal ingatan masa lalu, tentang menjadikanmu lampu merah yang menyala di suatu malam, saat sebuah mobil nyaris menabrakku yang kuyup dan putus asa.
Aku ingin kau tetap menyala. Tapi aku juga ingin kau berhenti. Karena aku sedang basah dengan air mata, menangisi kepatahan hati. Atau sebuah mobil akan menabrakku di dekat persimpangan yang tidak pernah mempertemukan perasaan kita.
Atau bagaimana kau pandai menyamar sebagai lampu merah, sedangkan disaat yang sama, kau ialah pengendara mobil yang sengaja ingin membunuhku.