Mohon tunggu...
Sulistyawan Dibyo Suwarno
Sulistyawan Dibyo Suwarno Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

citizen jurnalis yang berkantor di rumah

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tafsir Politik Terhadap "Klip Action" Jokowi

19 Agustus 2018   11:23 Diperbarui: 21 Agustus 2018   21:25 3227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Illustrasi : kompas.com

Karena itu, merebut simpati pemilih pemula adalah satu hal yang harus dilakukan jika ingin mendulang suara.

Berbau kampanye juga terasa, terutama dalam adegan Jokowi berada di lift. Jokowi menekan angka 2 sebelum menuju ke lokasi acara Asian Games.

Adegan ini bisa ditafsirkan secara politis bahwa Jokowi ingin kembali berkuasa untuk yang ke-2 kalinya. Itu sah-sah saja.

Namun, ketika tayangan tersebut disiarkan dihadapan pecinta olahraga dunia, rasanya menjadi tidak pas.

Akan lebih elegan jika adegan yang ditampilkan adalah hal-hal yang berhubungan dengan kekayaan budaya nusantara atau prestasi olahraga Indonesia. Sebab, ini Asian Games bung, bukan Kampanye Pilpres!

Menurut saya, mengemas Jokowi sebagai "pemotor gede" yang tak berhubungan dengan Asian Games adalah satu pilihan yang memaksa. Apalagi, Motor Gedhe yang dikendarai Jokowi ternyata tidak dilengkapi plat nomor.

Padahal sesuai UU Lalu Lintas, semua kendaraan harus dilengkapi dengan plat nomor, sehingga kekurangan ini akan mengirim pesan negatif terhadap pengendaranya.

Lebih dari itu, video klip ini menampilkan perilaku berkendara seorang Jokowi yang jauh dari kesantunan. Ngebut dan berjalan zigzag di perkampungan serta melakukan atraksi stopie karena nyaris menabrak bajaj, justru akan membangun citra negatif dari seorang Pemimpin Negara, yang juga merupakan simbol negara itu sendiri. 

Sebagai sebuah karya seni, apapun sah dilakukan. Tetapi, selain indah ditonton, sebuah video klip juga berfungsi sebagai media kampanye.

Harusnya video klip menjadi kampanye positif, bukan kampanye negatif. Sehingga tokoh baik-- apalagi pemimpin negara -- harus mengajarkan perilaku baik kepada warga negara. 

Untuk menjaga agar tayangan yang dikonsumsi publik selalu baik dan sesuai etika, maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerapkan aturan sensor untuk tayangan televisi yang memuat adegan merokok, senjata tajam, luka berdarah, dan bagian tubuh wanita tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun