Mohon tunggu...
Ahmad Mughni
Ahmad Mughni Mohon Tunggu... lainnya -

Pemulung hikmah, pengedar cita.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pembunuhan Karakter = Proyek Jahat Pembunuhan Indonesia

1 Agustus 2013   17:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:44 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hentikanlah pembodohan massal masyarakat Indonesia dengan menggunakan instrumen pembunuhan karakter (PK).

Menyedihkan sekali melihat di dalam diskusi publik bertebaran mindset bodoh yang merupakan imbas praktek pembunuhan karakter. Sudah seakan terasa lazim kita temui komentar penuh bias misalkan "dia kan syi'ah", "dia kan liberal" dll memenuhi diskusi-diskusi publik di netosfer Indonesia. Demi memenangkan opininya, banyak opinion leader serta organisasi tertentu secara sistematis suka menggunakan instrumen pembunuhan karakter ini. Label-label semacam "antek Zionis", "antek Amerika", "anti syari'ah", "Syi'ah", “JIL”, "pengikut Abu Lahab" bahkan label "al-Kaddab", “musuh Islam” , “kafir” atau "musuh Allah", pun dengan gampang disematkan kepada para target PK. Melihat massive dan sistematisnya pelabelan ini, Sepertinya diharapkan agar terjadi delegitimasi terhadap tokoh yang ditarget. Lalu masyarakat digiring agar antipati dan goal akhirnya tokoh ybs tidak lagi didengar atau dipercaya pendapatnya dan karenannya opini mereka akan menjadi wacana tunggal tanpa pembanding.

Setelah Nur Kholis Madjid, Gus Dur, Ahmad Wahib, Djohan Efendi, Dawam Raharjo, Harun Nasution, Said Aqil Siraj, Ulil Abshar Abdalla, Syafi'i Maarif, Masdar F Mas'udi, Guntur Romli, Abdul Moqsit, Jalaluddin Rahmat, bahkan yang kelewatan ... Prof Quraish Shihab. Mungkin sebentar lagi Gus Mus bakal jadi sasaran berikutnya. Hanya karena mereka tidak sama dengan opini yang hendak dikembangkan kelompok-kelompok pembunuh karakter ini.

Saya tahu persis proyek pembunuhan karakter ini dijalankan dengan sistematis. Yang untuk gusdur bahkan ada sandi-nya segala. Semoga Allah menyadarkan para opinion leader yang tidak baik itu jika mereka memang benar melakukan fitnah padahal tokoh-tokoh itu juga sedang memperjuangkan Islam, dan semoga saya yang disadarkan oleh Allah jika fitnah itu memang tidak ada dan tokoh-tokoh itu memang ingin merusak Islam.

Padahal, dalam dunia akademik, melihat suatu permasalahan dari berbagai sisi merupakan perwujudan semangat mencari kebenaran yang terwujud dalam literature review yang komprehensif (mempertimbangkan pendapat proponent ataupun opponent suatu teori atau thesis). Di dalam ajaran agama, berlaku adil dengan mendengarkan versi dari semua pihak sebelum memutuskan suatu perkara adalah nilai universal semua agama, lebih-lebih agama Islam. Lalu bagaimana ceritanya kok sekarang di negeri kita praktek pembodohan publik semacam ini menjadi merajalela di berbagai ruang diskusi publik tanpa ada upaya melawan arus praktek pembodohan ini secara memadai dari para cendekia. Oya saya mungkin lupa, kalau selain masyarakat awam kaum akademik banyak juga yang menjadi korban praktek pembodohan ini. Bahkan di antara mereka merupakan motor dan konseptor praktek tak mendidik ini. Kalau pembodohan seperti ini diterus-teruskan bisa kita bayangkan bagaimana generasi Indonesia 5 - 10 tahun mendatang.

Keprihatinan ini semakin terasa endesak untuk diperhatkan semua orang karena efek pembunuhan karakter secara sistematis dan massif seperti ini, tidak berhenti pada terlabelinya sang tokoh tertarget, tapi lebih jauh dari itu. Ia mendegradasi pentingnya nilai obyektifitas, mengaburkan antara mana kebenaran dan mana ketidakbenaran, pencarian alasan pembenar bagi tindakan salah, mempromosikan nalar atas dasar kepentingan dan pada akhirnya mengecilkan arti keadilan. Secara makro ini hanya akan melahirkan masyarakat tanpa pegangan dan berakhir pada hukum rimba.

Contoh kasus yang paling nyata dari imbas maraknya pembunuhan karakter ini adalah pandangan bias banyak anak bangsa terhadap perbuatan kurang ajar Munarman pada Prof Thamrin Amagola (menyiram minuman ke muka Prof. Thamrin Amagola di sebuah acara TV life). Bukti yang yang begitu benderang, perbuatan buruk, dan perangai arogan yang dipertontonkan di muka umum tanpa malu, malah dibela-bela banyak opinion leader dan termasuk diantaranya para pengajar, dicari-carikan alasan pembenarnya. Keadilan terasa seperti konsep yang tidak di kenal oleh bangsa ini. Gejala ini mirip dengan yang dihinggapi oleh media Amerika yang sudah begitu akrab dengan pemberitaan stigmatif, yang bahkan televisi sekelas Fox News dan lain-lain sampai tidak mau mendengar argumen Reza Aslan soal sejarah hidup Jesus dalam bukunya Zealot hanya karena ia seorang muslim (lihat di sini).

Kalau dirunut sumber pembodohan ini maka sebagian elit, sebagian ormas dan parpol-lah yang perlu disalahkan. Banyak diantara opini menyesatkan itu diengineering oleh elit, bukan grasroot. Grassroot kita secara natural adalah bangsa toleran, paham intoleran selalu didrive oleh elit. Media-media propaganda yang gemar memberi label berbau pembunuhan karakter bertebaran di internet, sedihnya berita-berita itu dibaca oleh banyak orang, disebar luaskan melaluisocmed oleh para pendukungnya sehingga diskusi atas berbagai masalah publik  di negeri kita turun kelas menjadi aksi dukung mendukung dengan logika kebenaran yang dijangkarkan pada kepentingan kelompok saja.

Seharusnya sifat pembunuhan karakter itu sudah jelas, praktek itu adalah praktek jahat, tidak perlu lihat latar belakang apapun, ia secara inheren adalah perbuatan buruk seperti halnya mencuri atau memperkosa orang. Marilah kita menjaga diri kita untuk tidak terlibat trend ini, dengan tidak ikut-ikutan share di status Facebook atau retweet berita-berita propagandis yang mengandung unsur pembunuhan karakter. Mari biasakan adu argumen dan mari hindarkan menyerang orang yang berargumen. Kalau tokoh-tokoh itu menyampaikan sesuatu dan yang lain tidak setuju, silahkan saja argumen dibalas dengan argumen, tulisan dengan tulisan, buku dengan buku, bukan dengan pembunuhan karakter.

Menyedihkan ketika bahkan para pendidik yang seharusnya jadi rujukan moral dan kebenaran, malah ikut terjebak dalam pusaran yang merendahkan intelektualitas, keadilan dan kemanusiaan ini. Jika mayarakat sudah tidak punya pegangan soal benar atau salah. Keadilan sudah demikian dikaburkan oleh kepentingan. Maka krisis intelektual ini akan segera menjelma menjadi krisis kemanusiaan.


Wallahu a'lam Bisshowab
Glasgow 01-08-2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun