Dalam perkara tersebut tampaknya dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 798 K/Pdt/2007, tanggal 22 Januari 2008 tidak ragu-ragu mengambil putusan cerai meskipun sebelumnya sudah pernah ada perdamaian dalam kasus yang sama.
Pada hal gugatan perceraian jika pernah berdamai bertentangan dengan pasal 32 PP No. 9 Tahun 1975 Jo Putusan MA No. 216 K/Sip/1953, tanggal 21 Agustus 1957 dalam pertimbangan hukumnya, gugatan baru tidak dapat diajukan lagi dan harus ditolak apabila antara suami isteri telah terjadi perdamaian.
Dalam perkara tersebut isteri menceraikan suami karena alasan percekcokan terus menerus. Awal percekcokan terjadi karena suami memiliki bukti foto mesra isterinya dengan laki-laki lain dikuatkan oleh sejumlah saksi bahkan isteri pernah pula digerebek bersama polisi dalam satu rumah. Suami dalam hal ini menduga isterinya telah berselingkuh.
Tampaknya apapun alasan pemicu percekcokan terjadi antara suami Isteri secara juridis jika percekcokan terbukti, maka perceraian beralasan hukum untuk dikabulkan pengadilan tanpa mempersoalkan siapa penyebat timbulnya percekcokan.
Jadi, menurut hemat penulis, ketentuan UU Perkawinan yang berlaku sudah memadai dan tidak perlu menghapus dan membatalkan penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf f sepanjang frasa :antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Sebab bagaimana pun juga hukum tidak mungkin memaksakan orang untuk mencintai pasangannya, ranah hukum hanya bisa mendamaikan.
*) Penulis adalah Advokat tinggal di Medan.