Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Tetangga Kamar

17 Februari 2017   05:45 Diperbarui: 17 Februari 2017   06:46 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kami tinggal serumah. Kamarnya persis di sebelah kamar saya, hanyaberbatas tripleks. Kamar saya memiliki pintu dengan tirai berwarna putih takberenda. Kiriman ibu setelah dua minggu berada di sini. Sedang miliknya tidak adadaun pintu. Cuma tirai berwarna merah dengan renda putih di tiap tepinya. Kamarsaya selalu harum. Entah kamar dia.

Dua bulan berjalan, saya jadi tahu kebiasaan-kebiasaan dia.Beberapa di antaranya sama, yang lain tidak. Seperti kebiasaan dia tidur ketikamalam telah larut dan kebiasaan saya yang susah tidur jika belum tengah malam. Bedanyasaya rutin bangun persis setelah azan subuh. Sedang dia akan terus tidur danhanya mau bangun setelah saya selesai berpakaian, atau menyapu.

Usai minum, saya senantiasa meletakkan gelas di sebelahdispenser. Dia menyimpannya di depan, dengan mulut gelas merapat pada meja. 

Saya tekun masuk kamar setelah azan isya berakhir. Tidakbegitu dengannya. Dia baru akan masuk rumah jika sudah mengantuk dan bersiapuntuk tidur—setelah sebelumnya mengunci pintu belakang yang sering lupa sayatutup.  

Usai digunakan, saya menyimpan kunci rumah di atas mejadispenser. Lalu, apabila ingin menggunakan lagi, sering kali saya harusmencarinya bukan di tempat semula melainkan di dinding. Dia pastimenggantungnya di sana. 

Keluar rumah pertama kali setiappaginya selalu adalah saya. Tentu saja setelah menyapu lantai—tidak termasuklantai kamar dia. Dan masuk rumah terakhir kali setiap malamnya senantiasaadalah dia. Tentu saja setelah merapikan sandal-sandal di teras—termasuk sandalmilik saya. Saya mengetahuinya setelah setiap pagi pasti menemukansandal-sandal yang tertata rapi di bawah kursi teras rumah kami.

Dia kuat bercerita dan saya haruskuat-kuat mendengarkan cerita dia. Suatu hari dia pernah bercerita tentangtikus di rumah yang masuk ke dalam kelambunya. Dia tidak bisa menangani sebabsangat takut dengan hewan pengerat itu. Saking takutnya dia sampai menjerittidak tamat-tamat. 

Cerita yang berhasil membuat saya tertawa geli. Membayangkanseseorang dengan tubuh tinggi—sekitar dua jengkal dari saya, pemilik otot tegasyang terlihat jelas dari balik pakaian yang dikenakan, lelaki yang mempunyairahang kokoh yang membuat mata betah berlama-lama di sana, memerhatikan bibirkeriting yang kerap kali membuat pikiran gentayangan ke mana-mana, lantas bibirsexy itu berteriak hanya karena seekor tikus, membuat tawa saya retak. 

Tawa yang pada akhirnya menyibak perlahan sekat-sekat halus diantara kami. membuat kami yang semula canggung karena saling menjaga kesan baiksatu sama lain, menjadi tidak ragu lagi bercerita tentang apa pun, bahkan kisahpaling pribadi sekalipun, semisal bagaimana menjalin hubungan dengan lawanjenis, dari yang paling umum hingga yang amat intim.

Suatu hari, di balai-balai di bawah singkong karet depanrumah,  saya pernah dia tanyai posisipaling nyaman ketika tidur.

Saya menjawab, “Menyamping, dan Kamu?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun