Bunyi besi terdengar beradu di ujung tiang bendera,
Kini, kibaran sang sangka tak lagi sama dengan esok pagi
Diam-diam aku bertanya dalam hati,
Berapa banyak orang mau mati demi kebebasan
Berapa banyak luka yang sudah mereka tanamkan
Aku tak mengerti, tentang sorak-sorai warga desa hari ini.
Mereka seakan tidak menghormati ayahku yang mati,
Karena melawan pengusaha sawit yang memasung hak kami.
Bulir air mata mulai menghiasi pipi, Aku tak ingin lagi berkata merdeka
di desa yang berhadapan dengan negara tetangga ini.
Aku merasa tidak bersalah menjadikan kebodohan sebagai guru
Aku lebih takut jika kepintaran mengkhianati jalan hidupku.
Kalau aku begitu apakah kau mau menghakimiku, sebelum senja berlalu?
Jawab aku, hai kau yang dikata Ibu pertiwi
Siapa yang bertanggung jawab dengan kesedihanku ini.
Siapakah ayah dari negeri besar ini?
Siapakah yang menaruh aral yang tak bisa kulalui?
Nadi-nadi tanganku mulai membeku,
Saat mengerti ibu pertiwi hanya diam terpaku.
Ilalang yang bercumbu di tepi sawah kemudian memanggilku,
Ia bersama angin menghibur asa yang hampir hilang dari dadaku
Rema ilalang seakan menunjuk diriku, yang masih berdiri menantang
Tetapi ia berbisik pelan dan hangat, bahwa
Semua yang muda adalah ayah bagi negeri ini dan
Semua yang muda adalah anak ibu pertiwi