Mohon tunggu...
Riza Hariati
Riza Hariati Mohon Tunggu... Konsultan - Information addict

SAYA GOLPUT!!!! Tulisan yang saya upload akan selalu saya edit ulang atau hapus tergantung mood. Jadi like dan comment at your own risk. You've been warned!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanggung Beban Jadi Genius

21 Juni 2019   12:40 Diperbarui: 22 Juni 2019   11:30 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak orangtua yang berharap agar memiliki anak yang berbakat, genius dalam satu bidang. Bahkan saking kepinginnya, tidak sedikit orang tua yang berilusi bahwa anaknya adalah genius dalam bidang tertentu dan harus dihargai sepantasnya. Kadang ini membuat kesal guru-guru yang harus menghadapi  ekpektasi berlebihan dari sang orang tua, karena sebetulnya anaknya biasa-biasa saja.

Genius adalah mereka yang luar biasa berbakat dalam berpikir atau menciptakan sesuatu, sehingga anak genius diharapkan kelak akan mencapai kesuksesan besar, mengharumkan nama keluarga. 

Orang beranggapan bahwa menjadi genius itu enak, tidak seperti kita yang harus berusaha keras dalam mempelajari sesuatu, mereka yang genius dianggap akan mudah mempelajari apapun yang diperlukan untuk sukses dalam pendidikan. Mudah mendapatkan sederet gelar dan prestasi, lalu kelak akan menjadi orang yang sukses dalam kehidupan.

Hal ini tidak sepenuhnya salah. Dalam penelitian sepanjang 45 tahun yang dilakukan oleh Universitas John Hopkins bekerja sama dengan Universitas Vanderbilt, atas sekitar 5000 anak berbakat dari seluruh Amerika. Kebanyakan setelah dewasa mereka memang jadi orang-orang yang berperanan penting di masyarakat. Ada yang menjadi Hakim, Ilmuwan, Miliarder, dll. Termasuk didalam penelitian ini adalah pendiri Facebook Mark Zuckerberg, Pendiri Google Sergey Brin dan Lady Gaga. 

Tetapi penelitian ini juga membuktikan bahwa diperlukan pendidikan dan bimbingan khusus agar para genius ini mencapai prestasi yang diperlukan. Misalnya anak genius yang lompat kelas akan memiliki peluang sukses 60% lebih besar ketimbang mereka yang tidak. Tanpa bimbingan yang tepat, seperti orang-orang normal, para genius pun bisa gagal dalam kehidupan.

Genius itu bagaikan bibit, sedangkan dunia dimana genius ini berada bagaikan lahan yang akan menghidupkannya atau malah mematikannya.

Meskipun genius ini punya keunggulan dalam berpikir dan berkreasi, tetapi mereka pun rentan terhadap banyak persoalan. Baik dari lingkungan sosial yang tidak bisa memahami bagaimana harus menyikapi para genius ini, maupun persoalan dari dalam diri mereka sendiri.

Sebuah survey yang dilakukan pada 3715 anggota Mensa (mereka yang ber IQ tinggi) menemukan bahwa 26.7% pernah didiagnosa mengalami mood disorder dan 20% dengan anxiety disorder. Para peneliti berpendapat bahwa ini disebabkan karena mereka yang genius memiliki hyperbrain alias otak super, sehingga meskipun cerdas tetapi juga jadi sangat sensitif terhadap berbagai stimulus dari luar.

Psikolog Kazimierz Dabrowski seorang Psikolog dari Polandia, menyatakan bahwa banyak (tidak semua) diantara anak berbakat mengalami overexcitability. Suatu kondisi dimana seorang anak menjadi sangat reaktif terhadap stimulus dari luar. Ada lima area dimana seorang genius mungkin akan mengalami satu atau lebih overexcitability : Psychomotor, Sensual, Intellectual, Imaginational, dan Emotional.

1. Psychomotor (Fisik)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun