Mohon tunggu...
Riza Hariati
Riza Hariati Mohon Tunggu... Konsultan - Information addict

SAYA GOLPUT!!!! Tulisan yang saya upload akan selalu saya edit ulang atau hapus tergantung mood. Jadi like dan comment at your own risk. You've been warned!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanggung Beban Jadi Genius

21 Juni 2019   12:40 Diperbarui: 22 Juni 2019   11:30 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disekolah, mereka memerlukan tantangan yang kuat, pola pengajaran yang khusus, agar bakat mereka tidak mati. Banyak genius akhirnya seolah 'dihukum' oleh sistem sekolah. Karena dianggap sebagai anak-anak bodoh, suka melawan, kurang ajar, over acting, histeris dan sebagainya. Akhirnya bakat yang begitu baik malah sia-sia.

Demikian juga saat terjun ke masyarakat, jika mereka berada dilingkungan masyarakat dengan pemikiran tertutup dan saklek, yang hanya mempedulikan aturan-aturan standar, maka mereka bisa jadi outcast yang terbuang dalam lingkungan masyarakat. Jika orang tua tidak bisa memelihara bakat si genius, bukan kesuksesan yang didapat, melainkan anak-anak yang membuat mereka kecewa.

--

Heidi Gass Gable, dalam presentasinya di Ted X Talks, menceritakan pengalamannya membesarkan 2 orang anak genius, atau dalam istilahnya 'gifted'. Kedua orang anaknya mengalami overexcitability sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan sistem sekolah normal. Mereka menderita depresi berat sampai tidak mau lagi pergi ke sekolah. Padahal guru-guru disekolahnya sudah berusaha mengakomodasi mereka dengan berbagai perlakuan khusus.

Guru-gurunya, yang mengakui anak-anak itu sebagai genius, berusaha menyediakan berbagai sarana disekolah dengan kurikulum khusus yang lebih menantang. Mendatangkan pelajar dari universitas untuk berdiskusi dengan mereka. Menyediakan pelajaran yang didasarkan pada tema tertentu. *Beda yah sekolah di barat dengan kita...

Tetapi sensitivitas mereka yang berlebihan menyebabkan mereka menolak apapun yang berkaitan dengan sekolah. Setelah ditarik oleh orang tuanya dari sekolah pun, mereka tidak bersedia belajar dirumah. Tidak hanya itu, hampir selama setahun anak-anak itu menolak melakukan sosialisasi dengan siapapun. Tidak mau keluar rumah, tidak mau bermain dengan teman-temannya, bahkan tidak mau berkunjung kerumah kakek neneknya.


Orang tuanya, meskipun merasa khawatir, tidak memaksa mereka melakukan apapun. Selama setahun mereka hanya berada dirumah, bermain, ngoprek komputer dan sebagainya. Mereka ingin melupakan pengalaman disekolah.

Sampai akhirnya orangtuanya menemukan sebuah sekolah, dimana murid-muridnya diizinkan mempelajari apapun yang mereka diinginkan, kapanpun mereka inginkan, tanpa kurikulum tertentu, tanpa test tertentu. Guru hanya hadir disana dan memberikan masukan saat diminta. Setelah bersekolah disana, anak-anak itu mulai pelan-pelan kembali kepada kepribadian mereka yang normal.

Mereka mulai tersenyum kembali, mau bermain dengan teman-temannya lagi, bahkan ikut serta dalam berbagai organisasi didalam dan diluar sekolah. Mereka kembali menikmati proses belajar di sekolah. Hal yang dianggap sederhana oleh orang-orang normal tapi memerlukan usaha luar biasa bagi anak-anak ini. Bagi anak-anak genius, berusaha menjadi normal berarti mereka harus mengekang sebagian besar jati diri mereka, agar bisa diterima oleh masyarakat.

Tidak semua genius mengalami overexcitability, dan mereka yang tidak mengalami overexcitability tentu bisa lebih diakomodasi sekolah standar. 

Bukan maksud saya untuk menjelek-jelekan sistem sekolah kita yang menurut saya sudah cukup baik untuk kebanyakan anak-anak. Namun sekolah seperti ini kebanyakan justru bisa 'mematikan' seorang genius. Dan ini bisa menjadi gambaran, bahwa menjadi genius, belum tentu semudah yang dibayangkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun