Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Tanah

23 April 2019   14:01 Diperbarui: 23 April 2019   14:20 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menggaruk-garuk kepala yang seketika terasa gatal. "Ah, tak apa-apa, Pak Haji!"

"Kau bingung kenapa Piyan menyerahkan surat tanah itu kepadaku agar di tempat ini dibangun masjid?" Haji Maulud seakan fasih menebak isi kepalaku. Tentu saja meski ragu-ragu, aku mengangguk juga. Haji Maulud mengatakan, Mas Piyan merasa dikejar-kejar terus oleh mendiang Ayah dalam mimpi-mimpinya. Bahkan ketika kondisi terjaga, seolah Mas Piyan tetap dimatai-matai. Untungnya setelah surat tanah berpindah tangan ke tangan Haji Maulud, Mas Piyan kembali merasa tenang seperti sediakala.

"Mau ke mana?" Haji Maulud bertanya saat melihatku kembali akan mengayuh sepeda.

"Mau ke rumah menemui Mas Piyan, Pak Haji!"

"Dia sedang mengambil uang sumbangan pembangunan masjid ini di rumah Pak Camat."

Aku melongo. Aku masih merasa tak percaya betapa sifat Mas Piyan berubah seratus delapan puluh derajat.

---sekian---

*Pertama kali terbit di Republika, 26 Februari 2012.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun