Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Tanah

23 April 2019   14:01 Diperbarui: 23 April 2019   14:20 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimanapun aku harus berjuang mempertahankan surat tanah itu. Ayah memiliki niat yang sangat luhur, mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid. Dia memang masih merahasiakannya kepada warga, termasuk kepada Haji Maulud. Tapi tiga bulan lagi berita ini akan santer dan membuat warga bertempik-sorak.

Tak hanya aku dan Mas Piyan yang mendengar wasiat Ayah. Ibu, Mbak Romlah, Wak Satir, juga mendengarnya sambil melepas sedu sedan. Lalu, alangkah berdukanya Ayah di alam barzah manakala mengetahui tanah wakafnya dijual Mas Piyan hanya untuk bersenang-senang. Mendiang Ayah pasti sangat kecewa kepadaku, mengapa tak sanggup menjalankan amanahnya yang agung itu.

Terbetik juga niatku untuk melanggar wasiat Ayah. Artinya, aku bukan bermaksud menyerahkan surat tanah kepada Mas Piyan. Melainkan sesegera mungkin menemui Haji Maulud. Sesegera mungkin melakukan serah terima surat tanah. Kalau sudah serah terima secara sah di hadapan petugas yang berwenang, plus beberapa warga,  Mas Piyan akan susah merebutnya kembali.

"Pokoknya tak bisa!" Aku berdiri. Pak Kamaludian, seorang tetanggaku yang bertugas di kepolisian, tiba-tiba muncul di ambang pintu. Apalagi kalau bukan mau mengajakku ke acara syukuran khitanan anak Pak Raihan. Kedatangan Pak Kamaludian sungguh membuatku berani menentang kehendak Mas Piyan. Itulah yang menyebabkan Mas Piyan buru-buru mendengus dan beranjak pulang. Aku tahu malam ini bisa selamat dari rong-rongan lelaki itu. Tapi tak tahu kalau besok lusa. Aku hanya bisa berserah diri kepada Allah.

* * *

Panas yang menyengat selepas mengajar di sekolahan, membuatku buru-buru mengayuh sepeda pulang ke rumah. Tapi belum sampai roda depan sepeda melewati pagar, istriku langsung menyongsong dengan wajah diliputi kepanikan. 

"Mas Piyan ngamuk, Mas! Cepatlah lihat ke sana! Aku takut Ibu kenapa-kenapa," lapornya sehingga membuat napasku tersengal. Aku sudah menebak perkara surat tanah itu bisa membuat Mas Piyan kalap. 

Tanpa banyak bicara, aku langsung mengayuh sepeda cepat-cepat. Kubayangkan Ibu akan ketakutan melihat perangai Mas Piyan. Ibu tentu hanya bisa menatapnya sambil bersedu-sedan. Mencegah anaknya yang pemberang itu agar tak mengamuk, sama saja berbicara kepada banteng yang terluka. Apa kata orang bila Mas Piyan tiba-tiba khilaf memukul Ibu!

Benar saja, di halaman rumah telah ada beberapa warga yang menonton. Sementara di gelanggang halaman rumah, sebuah tarian memalukan sedang diperagakan Mas Piyan. Dia memegang parang panjang. Menebas ke sana-ke mari sambil menceracau. Telah habis batang pohon pisang ditebasnya. Sebuah batang pepaya pun telah doyong. Aku takut kalau-kalau tak ada lagi yang bisa ditebas, Mas Piyan menebas orang-orang. Menebas Ibu!

Di tangga rumah, Ibu hanya mampu menangis sambil memukul-mukul pelan dadanya. Ketika Ibu menoleh ke arahku, dia langsung berdiri sambil menyeka air mata. 

"Mas Piyan, hentikan!" bentakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun