Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ketika Esti Belum Pulang

22 Maret 2019   17:00 Diperbarui: 22 Maret 2019   17:04 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Kataku, "Aku tak bisa menjemputmu. Di sini hujan deras. Pulang naik taksi saja, gimana? Ada uang, kan?" 

"Mmm, ada! Okelah, tunggu aku di depan lorong sekitar jam.... Ah, ya, nanti kutelepon saja kalau sudah hampir sampai."

Klik!

Aku meletakkan horn telepon. Di luar hujan mengamuk. Sudut ruang kamar---pertemuan antara lantai dan dinding---mulai dirembesi air. Sebentar lagi pasti menggenang hingga sebatas mata kaki. Segera aku bersijingkat menuju dapur. Takut kalau si kecil yang tidur di boks bayi, terbangun.

Sejak tadi perutku  menggelepar. Pilihan terbaik dan tercepat adalah mie rebus. Barusan sebelum istriku menelepon, aku sudah menjerangkan air panas. Sambil bersiul-siul kumasukkan sebungkus mie. Kutambahkan sebungkus mie lagi karena seraut wajah kuyu dan rambut kusut muncul di pintu.

"Kakak mau mie juga?" Basa-basiku.

"Mama belum pulang, ya?" Kakak duduk di kursi. Wajahnya ditekuk. Aku telah berjanji mengajaknya menjemput Esti, sekalian membeli mobilan. Tapi hujan terlalu cepat datang. Tadi, kakak tidur lelap dibekap dingin. Jadi, kubiarkan saja dia dengan mimpinya. Mungkin itu pilihan terbaik selain perkara hujan yang mencegah langkah kami menjemput Esti. Kemudian urusan si kecil menjadi yang paling utama. 

"Mama pulang naik taksi. Kita tak jadi menjemputnya." Aku menuangkan mie ke dalam dua mangkok.

Hening tanpa suara bincang-bincang. Kami menyantap mie sambil mendecap-decap kepanasan. Kemudian kuputarkan video kesenangan si kakak. Kami sama-sama rebahan di atas sofa. Air yang merembes dari sudut rumah mulai menjangkau tengah lantai. Tumben, si kecil tak menangis minta susu. Mata kupejamkan. 

Tiktak jam entah kenapa kemudian membuatku tersentak. Telah lebih sejam aku terlelap. Tivi mendesis dengan layar berwarna biru. Si kakak tidur meringkuk di ujung kakiku. 

Aku terlambat menjemput Esti di depan lorong. Ini sudah lewat sejam setelah waktu biasa dia pulang kantor.

Kumatikan tivi dan menyadari kesalahan. Mungkin Esti sudah pulang dan sedang mandi. 

Ketika aku melongok ke kamar mandi, tak ada siapa-siapa di situ. Suasana kamar mandi samar tanpa penerangan lampu. Hampir maghrib, dan dadaku mulai bertalu-talu serupa beduk. Kenapa Esti belum pulang? Apa dia masih berteduh di kios depan lorong, berharap suaminya datang menjemput dengan dua buah payung?

Kupindahkan  kakak ke kamar. Dua buah payung di samping lemari, beralih ke tanganku. Sebentar kulihat si kecil. Celananya basah. Kuganti saja dengan pempers. Kemudian kubuatkan susu. Memasang posisi pentil dot ke mulutnya, dan mengganjal botol dengan popok, agar tak menggelinding.

Sekejap saja hujan menyambutku. Cuaca di luar benar-benar suram. Aku belum menghidupkan lampu dalam rumah. Belum menghidupkan lampu teras. Kukibaskan tangan. Menjemput Esti lebih penting. Terbayang lokasi depan lorong yang sepi, apalagi hujan begini. 

Kios yang bertengger di dekat depan lorong sudah lama bangkrut. Terkadang ada juga orang duduk-duduk di sana; pemuda mabuk-mabukan yang tentu saja bisa menjadi penggoda yang ampuh. Atau pemerkosa? Atau pemutilasi? Aku bergidik. 

Di depan lorong tak sesiapa selain desau angin yang seperti berpusing. Ada seorang perempuan bersandar di dinding kios. Tubuhnya seperti sangat dipepetkan untuk menghindari tempias dari atap kios.

"Maaf, tadi ada perempuan di sini?" tanyaku. Dia menoleh. Sepertinya enggan menjawab. Tatapnya yang memberitahuku. "Namanya Esti. Istriku."

"Esti? Bukankah...?" Dia menggantung ucapannya. Tubuh kami merapat. Dia menanyakan apakah aku sedang sakit? Kujawab, sehat-sehat saja.

"Aku ini Pingkan. Kenapa Mas menanyakan Esti?"

Pingkan? Nama yang aneh dan asing. Aku belum pernah mendengar nama itu. Sifat ramahnya membuatku harus tersenyum sekali-dua. "Dia belum pulang kantor. Harusnya bila naik taksi dari kantor ke mari, mungkin sudah lama dia sampai."

Pingkan menepuk-nepuk punggung tanganku. Entah kenapa darahku berdesir. Sekelebat bayangan Esti musnah. Apalagi dengan tawaran Pingkan mengantarku pulang ke rumah, semakin membuatku lupa diri. Aku hanya mengangguk. Mengekorinya serupa bebek betina mengikuti pejantan.

"Tapi, Esti?" Aku ragu-ragu melihat ke belakang. Kios menggunduk dingin. Pingkan telah membuka payung. Rambutku basah diterpa hujan.

"Buka payungnya, Mas. Esti mungkin pulang sebentar lagi." O, manisnya senyum Pingkan!

Entah kenapa pula tak timbul kecurigaan di benakku. Siapa tahu Pingkan itu suruhan orang. Sekarang ini ada-ada saja laku orang untuk mengkadali mangsanya. Seperti temanku yang sopir truk itu. Sebulan lalu truknya melintas di jalan lengang hampir pertengahan malam. Tiba-tiba ada perempuan cantik menyetop. Temanku mengerem, karena tak hanya hirau dengan kecantikan perempuan itu, terlebih kasihan membiarkannya berdiri menunggu angkutan di tengah gelap yang rapat itu.

Hasilnya, temanku bukannya mendapat rejeki, melainkan bencana. Belum setengah kilometer berjalan, truk dihentikan paksa oleh tiga orang bersenjata arit. Mereka menuduh temanku telah melakukan pencabulan kepada perempuan itu. Bila tak ingin digelandang ke perkampungan dekat situ, mereka meminta uang damai sekian ratus ribu rupiah. Akhirnya, temanku hanya bisa mengeluh dan uang jalannya ludes.

Begitupun, sungguh aku tak yakin Pingkan berlaku demikian kepadaku. Lihatlah, tak ada lelaki yang mencegat kami. Bahkan sampai di rumah, dia hanya sedikit mengeluh karena lampu depan masih padam. Mengeluh lagi ketika melihat seluruh ruangan dalam rumah masih gulita. Kakak menangis ketakutan di ambang pintu kamar. Si kecil sama sekali tak bersuara. Mungkin masih nyenyak tidur.

Aku masih cemas menunggu Esti. Ketelatenan Pingkan menyemarakkan dapur dengan aneka makanan malam, membuat bayangan Esti lamur. Tadi masih sempat Esti kutelepon. Hanya saja telepon Esti tak aktif. Mungkin hp-nya lagi lowbat.

Heran, kakak sangat akrab dengan Pingkan. Si kecil juga. Biasanya bila bertemu orang asing, si kecil suka menangis. 

Kami kemudian merubung di depan tivi setelah makan malam, dan sedikit kerja, aku dan Pingkan mengepel lantai. Hujan sudah benar-benar berhenti. Begitupun Esti belum pulang. Aku mengintip dari jendela. Hanya sepi di luar. Pingkan menawariku secangkir kopi. Katanya, anak-anak sudah tidur.

"Esti belum datang!"

"Sabarlah! Mungkin sebentar lagi." 

Aku hanya sibuk memikirkan Esti. Bukan sibuk memikirkan Pingkan, mengapa sampai jauh malam belum beranjak dari rumahku? Apakah dia tak punya rumah? Apa dia tak malu dianggap lacur, terutama olehku? Aku sebenarnya ingin menyuruhnya cepat pergi. Aku tak sanggup. Dia terlalu cantik untuk diusir. Lagi pula, ah.... Jangan berpikiran macam-macam, Karim! Ingat Esti! Teganya kau merajut malam dengan perempuan lain, sementara Esti di luar sana bertarung dalam dingin. Atau, adakah dia tengah merajut malam dengan lelaki lain?

Kepalaku bertalu-talu seolah dipukul palu. Samar kudengar Pingkan mengulangi tawarannya tentang secangkir kopi. Kemudian semua kubawa lelap.

Aku tersadar sudah berada di kamar tidur. Kakak ada di sebelahku. Meskipun kepalaku masih terasa pusing, namun suara orang yang berbincang pelan-pelan di luar sana, memaksaku membuka pintu. Lamat terdengar suara perempuan. Mungkin Esti, tapi mustahil. Atau perempuan itu; Pingkan. Dia tengah berbincang dengan lelaki. 

Hatiku kecut. Sebentar lagi tiba masaku mengalami seperti yang dialami temanku, si sopir truk itu. Mungkin lelaki itu adalah kawan Pingkan yang akan memerasku. Tapi tunggu, baiknya aku menyandar saja di dinding. Mendengar perbincangan mereka.

"Aku merasa bersalah, Pa. Mas Karim sesekali masih menganggap Mbak Esti masih hidup."

"Sabar saja Pingkan. Nanti, dia bisa lupa juga."

"Aku sudah menolak menjadi pasangan turun ranjang Mas Karim, tapi Papa bersikeras."

"Sudahlah! Yang penting usahakan dia tak mabuk-mabukan terus. Kau kan istrinya!"

"Hari ini dia juga mabuk berat. Dia tetap menunggu-nunggu Esti yang tak mungkin pulang lagi."

Apa yang mereka perbincangkan sebenarnya? Kepalaku bertalu-talu seolah dipukul palu. 

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun