Kumatikan tivi dan menyadari kesalahan. Mungkin Esti sudah pulang dan sedang mandi.Â
Ketika aku melongok ke kamar mandi, tak ada siapa-siapa di situ. Suasana kamar mandi samar tanpa penerangan lampu. Hampir maghrib, dan dadaku mulai bertalu-talu serupa beduk. Kenapa Esti belum pulang? Apa dia masih berteduh di kios depan lorong, berharap suaminya datang menjemput dengan dua buah payung?
Kupindahkan  kakak ke kamar. Dua buah payung di samping lemari, beralih ke tanganku. Sebentar kulihat si kecil. Celananya basah. Kuganti saja dengan pempers. Kemudian kubuatkan susu. Memasang posisi pentil dot ke mulutnya, dan mengganjal botol dengan popok, agar tak menggelinding.
Sekejap saja hujan menyambutku. Cuaca di luar benar-benar suram. Aku belum menghidupkan lampu dalam rumah. Belum menghidupkan lampu teras. Kukibaskan tangan. Menjemput Esti lebih penting. Terbayang lokasi depan lorong yang sepi, apalagi hujan begini.Â
Kios yang bertengger di dekat depan lorong sudah lama bangkrut. Terkadang ada juga orang duduk-duduk di sana; pemuda mabuk-mabukan yang tentu saja bisa menjadi penggoda yang ampuh. Atau pemerkosa? Atau pemutilasi? Aku bergidik.Â
Di depan lorong tak sesiapa selain desau angin yang seperti berpusing. Ada seorang perempuan bersandar di dinding kios. Tubuhnya seperti sangat dipepetkan untuk menghindari tempias dari atap kios.
"Maaf, tadi ada perempuan di sini?" tanyaku. Dia menoleh. Sepertinya enggan menjawab. Tatapnya yang memberitahuku. "Namanya Esti. Istriku."
"Esti? Bukankah...?" Dia menggantung ucapannya. Tubuh kami merapat. Dia menanyakan apakah aku sedang sakit? Kujawab, sehat-sehat saja.
"Aku ini Pingkan. Kenapa Mas menanyakan Esti?"
Pingkan? Nama yang aneh dan asing. Aku belum pernah mendengar nama itu. Sifat ramahnya membuatku harus tersenyum sekali-dua. "Dia belum pulang kantor. Harusnya bila naik taksi dari kantor ke mari, mungkin sudah lama dia sampai."
Pingkan menepuk-nepuk punggung tanganku. Entah kenapa darahku berdesir. Sekelebat bayangan Esti musnah. Apalagi dengan tawaran Pingkan mengantarku pulang ke rumah, semakin membuatku lupa diri. Aku hanya mengangguk. Mengekorinya serupa bebek betina mengikuti pejantan.