Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PDIP, Megawati atau Puan, Tinggal Nunggu Giliran

7 September 2020   12:49 Diperbarui: 7 September 2020   12:51 43817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Repelita.com 

  Melihat ke belakang era Orde Baru, bagaimana perjalanan Golkar yang tidak menyebut dirinya sebagai partai politik, tapi kenyataannya menguasai dunia politik di Indonesia merupakan contoh nyata 'kelamnya' demokrasi politik di Indoesia.

Masyarakat waktu itu sangat takut, bahkan untuk memilih. Saya sempat mendengar cerita senior yang wajib milih Golkar dalam Pemilu. Mereka yang tidak nyoblos Golkar merasa terintimidasi. Hidup jadi dihantui rasa takut. Akhirnya lebih baik manut jika ingin selamat.

Begitu otoriternya perlakuan Golkar terhadap rakyat kecil, seolah-olah di negeri hanya ada satu partai yang bisa berkuasa. Bagaimana mungkin terjadi rasio 90%:10% antara partai Pemerintah dengan partai rakyat swasta? Sangat tidak bisa masuk di akal. Tetapi rakyat tidak mamu berbuat banyak.

Bagaimanapun, seperti kata Ustadz Abdul Somad (UAS). Semua ada masanya. Ketika dorongan perubahan tidak terbendung, saat itulah berakhirnya Orba.

Giliran PDIP

Golkar berakhir begitu mengenaskan, karena ditinggal begitu saja oleh rakyat yang cintanya semu pada Golkar. Berbondong-bondong rakyat pindah ke partai bergambar warna hijau (Islam) dan nasionalis (merah).

Ketika terjadi Reformasi, rakyat Indonesia, baik pegawai negeri (PNS) maupun swasta, merasa kini erannya suda beda. Kita mulai lega, karena udara kebebasan politik sudah mulai segar bisa kita hirup. Dipimpin oleh Amien Rais, Gus Dur dan Megawati rakyat menyamabut dengan suka cita.

Three in One ini merupakan tiga tokoh penggebrak pintu demokrasi, dari era Orde baru menuju Era Reformasi. Era di mana rakyat Indonesia memiliki kebebasan berekspresi. Kita bebas menyuarakan asirasi politik ke mana saja yang kita suka.

Era Transisi

Era Gus Gur, Megawati dan Habibie, adalah masa transisi di mana rakyat mulai belajar bagaimana bisa memanfaatkan arti kebebasan ini. Kita merasa sangat lega, karena tidak lagi ada kekuasaan otoriter yang membelenggu kebebasan berekspresi.

Sayangnya, kebebasan ini kebablas, sehingga tidak jarang terjadi konflik. Kita langgar norma-norma adat ketimuran, agama dan tradisi. Akibatnya lainnya adalah marak terjadi pelaporan karena pencemaran nama baik atau pelecehan, karena kita kurang pandai menjaga etika ini.

Ibaratnya, senior tidak ada harganya, guru kehilangan wibawa, ulama tidak lagi dihormati. Sebuah kondisi yang tidak terjad pada zaman Orba. Betapapun waktu itu Soeharto menerapkan sistem 'Tangan Besi dan sepatu Lars', tetapi sopan santun, etika dan hormat kepada senior, guru dan ulama, sangat dijunjung tinggi.

Jadi, ada sesuatu yang 'hilang' begitu Era Orba ini tumbang. Ada orang-orang yang rindu juga karenanya. Ternyata, Soeharto tidak sepenuhnya salah. Boleh jadi, rakyat kita saja yang belum siap menyambut apa yang disebut kebebasan di era Reformasi dan sesudahnya.

PDIP 'Bertaring'

Tanda-tanda PDIP mulai berkuasa muncul ketika terjadi perpecahan pada partai-partai Islam yang 'haus' akan kekuasaan. Partai-partai berwarna Hijau atau yang berlambang Ka'ba, Bulan Bintang dan sejenisnya, mulai berpencar mencari penggemar sendiri-sendiri.

Visi misinya ada yang murni menyurakan agama, ada yang mengedepankan gabungan agama nasionalis. Inilah yang menyebabkan perpecahan aspirasi umat Islam dalam partai. 

Jadi, bukan karena PDIP yang besar, tetapi partai-partai Islam yang mengecilkan diri, memecah diri terbagi dalam kelompok-kelompok kecil. Akhirnya terkesan PDIP 'mendominasi'. Padahal sebenarnya tidak.

PDIP tetap butuh dukungan umat Islam karena belum memenuhi syarat minimal maju ke kursi RI 1. Tidak ada cara lain bagi PDIP kecuali mendapat bantuan dari partai-partai Islam yang terpecah-belah tadi. Dari sinilah awal mengapa kemudian PDIP menjadi 'bertaring'.

Pada awalnya, PDIP masih sangat hati-hati dalam menarik minat massa agar bisa masuk dalam lingkaran partainya. Ini terjadi baik pada saat Megawati berkuasa maupun pada masa SBY.

Megawati bisa merobohkan Gus Dur karena bantuan Amien Rais. Megawati masih merasa 'berhutang budi' pada Amien sebagai kolega yang menumbangkan Soeharto. Oleh sebab itu, Mega belum bisa 'seenaknya' meskipun sudah menjabat sebagai Presiden. Ada kesan 'berhutang budi' pada Amien. Rasanya kurang elok jika Mega menunjukkan jati diri siapa sebenarnya Mega saat berkuasa.

Arogansi PDIP

Mega mulai berani frontal pada masa SBY.  Terlebih, mendapat dukungan dari Prabowo. Sosok kuat berbaju militer yang pernah diselamatkan Mega pada saat pengasingan di Yordan. 

Digandengnya Prabowo waktu era SBY bukannya tanpa agenda.  
Dua-duanya dapat untung. Mereka menandatangai Perjanjian Batu Tulis d Bogor tahun 2009. Di mana Mega harus membantu Prabowo di Pilres 2014. Namun Prabowo kalah. Mega berada di atas angin saat heronya terpilih, Jokowi.

Periode Jokowi ini adalah masa keemasan PDIP. Merasa di besar, tidak sedikit kader PDIP yang lupa. Ini bisa dilihat dari kasus KKN, dimana pejabat Korup banyak yang berasal dari PDIP.
Menurut (23/9/2014) , daftar Parpol penyumbang koruptor terbanyak adalah PDIP (157 kader), Golkar (113 kader), Demokrat (49) dan PAN (41 kader).

Pada tahun 2018 misalnya, dari 21 Kepala Daerah yang ditangkap KPK, 8 di antaranya dari PDIP (38%), 5 orang dari Golkar 23.8%, 2  (9.5%) dari PAN dan 2 (9.5%) dari Nasdem.

Selama periode 2014-2019 data dari Indonesian Corruption Watch (ICW), menyebutkan, partai politik yang paling banyak melakukan korupsi adalah Golkar, PDIP, PAN dan Demokrat berada pada 4 golongan korupsi besar (Databox, 15/9/2019).

Bumerang bagi PDIP

Sesudah korupsi, akhir-akhir ini ramai polemik Puan terkait Sumatera Barat, "Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung Negara Pancasila." Pernyataan ini menuai protes keras dari banyak kalangan (Tempo, 5/9/2020).

Pernyataan ini dianggap sebagai bentuk arogansi PDIP sehingga seorang tokoh Papua, Christ Wamea berharap semoga ke depan tidak hanya Sumbar yang tanpa PDIP, tapi seluruh Indonesia. Kader Demokrat ini menilai, PDIP sebagai sumber masalah (Repelita, 7/9/2020).

Dampak dari pernyataan Puan ini juga menampar PDIP yang resmi memutuskan mundur dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sumatera Barat (Repelita, 7/9/2020). Setelah pasangan calon gubernur (Cagub) dan wakil gubernur, Mulyadi-Ali Mukhni yang diusung PDIP, mengembalikan mandat ke partai besutan Megawati.

Ini merupakan sebagian bukti, jika PDIP tidak cerdas dalam menyikapi dan membina kadernya dengan baik, bukan tidak mungkin, nasibnya seperti yang disampaikan oleh Christ Wamea. Bisa jadi pula tumbangnya PDIP, Mega atau Puan tinggal menunggu giliran.

Malang, 7 September 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun