Perempuan macam apa aku ini. Â Aku tak pernah semarah ini ketika Aris pergi meninggalkan aku dan ketiga anakku demi menikahi perempuan yang kusebut jablai.
Aku menghargai pilihannya dan mungkin jablai itu memang lebih cocok untuknya. Â Secara sebagai perempuan biasa yang begitu mandiri aku tak pernah bisa bermanja-manja secara berlebihan.
Jadi, begitulah nasibku. Â Melanjutkan hidup dengan penuh keikhlasan. Â Tanpa bantuan, tanpa support dari Aris sedikit pun. Â Dan kami pun berjalan di dalam rel kami masing-masing.
Bertahun-tahun kami berpisah.  Ketiga anakku tumbuh  sehat dan dewasa.  Mereka mulai mempunyai keinginan sendiri.
Seperti hari itu, tanpa kuketahui sebelumnya ternyata anak-anakku menyambung kembali tali silaturahmi dengan Aris, ayahnya.
Walaupun sudah menduga bahwa suatu saat nanti itu terjadi, namun nyatanya aku cukup terkejut.
Semula mereka menyembunyikan hubungan itu dari aku, namun atas keinginan Aris akhirnya anak-anak itu menceritakan juga ke aku.
Saat itu Aris meminta dipertemukan denganku. Â Lalu demi menghormati anak-anak kami pun bertemu.
Aris yang kukenal, Aris yang kutinggalkan belasan tahun yang lalu tak lagi bisa kukenali. Â Tubuhnya yang dulu padat berisi kini terlihat kurus dan layu. Â Bahkan untuk sekedar membawa tubuhnya Aris tampak kerepotan.
Wajah tampannya benar-benar telah hilang. Usia yang sama denganku jadi nampak berjarak. Â Secepat itu Aris menua.
Perasaan cinta yang dahulu menggebu seperti sirna begitu saja. Â Entah sirna pada hari itu atau sesungguhnya tanpa kusadari aku tak pernah mencintai Aris lagi.