Mohon tunggu...
Prima Marsudi
Prima Marsudi Mohon Tunggu... Guru - Indahnya menua.

Wanita yang ingin jadi diri sendiri tetapi tidak bisa karena harus memikirkan orang-orang yang disayanginya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Amarah Pecundang

29 Agustus 2019   05:30 Diperbarui: 26 Februari 2020   10:57 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perempuan macam apa aku ini.  Aku tak pernah semarah ini ketika Aris pergi meninggalkan aku dan ketiga anakku demi menikahi perempuan yang kusebut jablai.

Aku menghargai pilihannya dan mungkin jablai itu memang lebih cocok untuknya.  Secara sebagai perempuan biasa yang begitu mandiri aku tak pernah bisa bermanja-manja secara berlebihan.

Jadi, begitulah nasibku.  Melanjutkan hidup dengan penuh keikhlasan.  Tanpa bantuan, tanpa support dari Aris sedikit pun.  Dan kami pun berjalan di dalam rel kami masing-masing.

Bertahun-tahun kami berpisah.  Ketiga anakku tumbuh  sehat dan dewasa.  Mereka mulai mempunyai keinginan sendiri.

Seperti hari itu, tanpa kuketahui sebelumnya ternyata anak-anakku menyambung kembali tali silaturahmi dengan Aris, ayahnya.

Walaupun sudah menduga bahwa suatu saat nanti itu terjadi, namun nyatanya aku cukup terkejut.

Semula mereka menyembunyikan hubungan itu dari aku, namun atas keinginan Aris akhirnya anak-anak itu menceritakan juga ke aku.

Saat itu Aris meminta dipertemukan denganku.  Lalu demi menghormati anak-anak kami pun bertemu.

Aris yang kukenal, Aris yang kutinggalkan belasan tahun yang lalu tak lagi bisa kukenali.  Tubuhnya yang dulu padat berisi kini terlihat kurus dan layu.  Bahkan untuk sekedar membawa tubuhnya Aris tampak kerepotan.

Wajah tampannya benar-benar telah hilang. Usia yang sama denganku jadi nampak berjarak.  Secepat itu Aris menua.

Perasaan cinta yang dahulu menggebu seperti sirna begitu saja.  Entah sirna pada hari itu atau sesungguhnya tanpa kusadari aku tak pernah mencintai Aris lagi.

Kuperhatikan sosoknya penuh kehati-hatian.  Aku tak ingin menunjukkan rasa ibaku.

Kami berbasa-basi sekedarnya.  Bukan karena tak ingin namun memang hanya itu yang dapat aku dan Aris lakukan.

Berbagai penyakit telah menghampirinya sepuluh tahun belakangan.  Kondisinya yang menurun dijadikan alasan oleh Jablai untuk menyelingkuhinya.

Berbulan kemudian,  aku tak memperoleh kabar lagi.  

Sampai di suatu sore, sang adik mengabarkan bahwa Aris telah tiada.  Tuhan telah memanggilnya pulang.

Untuk beberapa saat, aku terpaku tak tau harus berkata apa.   Sedihkah aku? TIDAK!  Benar-benar tidak!

Aku terlalu marah.  Aris tak boleh pergi begitu saja.  Aku merasa belum selesai dengannya.  Masih banyak tanggung jawab yang harus diselesaikan olehnya.  Kecurangan apa lagi ini?  Setelah bertahun-tahun ditinggalkan, aku harus ditinggalkan lagi.  Dan kali ini untuk selamanya.

Seharian aku berdiam di dalam kamar.  Berselimut tebal meski hatiku panas dan marah. Aku menangis namun air mataku adalah air mata kemarahan bukan kepedihan.

Tak ada kata yang dapat mewakili kemarahan ku hari itu.   Aku merasa dikhianati.  Aku dibiarkan berjuang sendiri di sisa hidupku ini.

Pagi ini aku mencoba tegak berdiri.  Berusaha melanjutkan apa yang sudah terlanjur dimulai.  Membawa segala amarah yang tidak tahu kepada siapa harus ditujukan

Sendiri seperti yang lalu, namun hatiku tak lagi pernah utuh, tak pernah lagi satu.  Hatiku benar-benar telah tercabik.  Hatiku benar-benar berdarah.

Carut marut hari ini harus tetap dijalani.  Aku masih marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun